Berita Hoaks Disebut Jadi Sumber Narasi Negatif terkait Pengungsi Rohingya
Inilah tanggapan LSM internasional mengenai narasi negatif soal kedatangan pengungsi Rohingya
Editor: Muhammad Renald Shiftanto
TRIBUNNEWS.COM - Keberadaan pengungsi Rohingya yang berada di Aceh tuai pro dan kontra dari masyarakat.
Bahkan, aksi penolakan pengungsi Rohingya pun terjadi.
Di media sosial juga bereda narasi-narasi negatif mengenai kedatangan pengungsi Rohingya.
Menanggapi hal tersebut, Senior Legal Services Officer Jesuit Refugee Service (JRS), Gading Gumilang Putra mengatakan, narasi negatif yang berujung pada hoaks tentang Rohingya telah menyebar di seluruh media sosial.
JRS sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat internasional yang berfokus pada pengungsi dan berpusat di Roma, Itali.
“Narasi sistematis mengenai penolakan, kebencian, dan hoaks di medsos menjadi isu nasional,”
Baca juga: Pengungsi Rohingya di Aceh Jadi Tersangka TPPO, Dibayar Rp17 Juta untuk Satu Orang
“Sehingga di lapangan, kapal yang berlabuh tidak mendapatkan respon yang biasanya terjadi secara ad hoc maupun secara Perpres,” ungkap Gading dalam diskusi publik secara daring bertajuk “Mencari Solusi Persoalan Pengungsi Rohingya di Indonesia”, Senin (11/12/2023).
Di tengah situasi tersebut, lanjut Gading, lembaga kemanusiaan masih melihat warga yang memberikan bantuan makan dan pakaian, meskipun ada juga ketakutan saat menolong.
Di sisi lain, Gading tak menampik jika memang ada isu mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dikatakannya TPPO memang perlu penindakan, sayangnya smuggler trafficker (penyelundupan) menjadi opsi mengungsi karena tidak ada jalur aman dan legal.
Gading pun menyebutkan bahwa para pengungsi adalah korban, bukan pelaku.
“Karena narasi negatif yang beredar di media sosial, demonstrasi dan penghadangan terjadi. Beberapa pengungsi tertahan di pantai dan ada yang dibawa dari satu daerah ke daerah lain,”
“Pemberitaan di media sosial berdampak langsung bagi lembaga kemanusiaan dan pengungsi, serta kepada warga menjadi terpecah belah karena hoaks,” sesalnya.
Gading pun mengulas mengenai alasan Etnis Rohinghya mengungsi.
Dikatakannya, kelompok etnis muslim dari Myanmar itu tidak bisa pulang karena mengalami persekusi selama puluhan tahun.
Menurutnya, Etnis Rohingya menjadi populasi tanpa warga negara terbesar di dunia.
Sejak 1977-1978, mereka telah kehilangan kewarganegaraan.
Sementara pada tahun 1979 sempat ada repatriasi dari Bangladesh.
Kemudian pada 1982 ada konstitusi yang membuat mereka tidak memiliki status warga negara Myanmar.
Kerja paksa, pemindahan paksa, rudapaksa, dan berbagai penjajahan etnis membuat Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Namun karena tidak ada kejelasan dan sanitasi yang buruk, maka di Bangladesh-pun ditolak di kamp-kamp pengungsi.
Kondisi kamp sangat buruk dan kondisi mereka semakin rentan karena eksploitasi dan kekerasan.
Bahkan pada 2017 ada kampanye anti Rohingya.
Kemudian pada tahun 2021 karena kondisi Myanmar juga bergejolak termasuk kepada etnis lain, sedangkan di Bangladesh juga tidak layak karena akses pendidikan dan pekerjaan masih seperti penjajahan, maka Indonesia menjadi satu-satunya harapan, ketika mereka ditolak di Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara lain.
Gading lalu mengungkapkan riwayat kedatangan etnis Rohingya di Aceh.
Dalam catatan JRS dari tahun 2009 ada 28 kali kedatangan.
Gading juga menjelaskan pola penanganan berdasarkan Perpres No. 125 Tahun 2016 yaitu penemuan, penampungan, penanganan, hingga ke pengawasan keimigrasian.
Kolaborasi pemda, warga, lembaga kemanusiaan, dan lembaga internasional diperlukan terutama perlindungan terhadap pengungsi anak-anak dan perempuan.
“Sampai sekarang belum ada keimigrasian yang legal dan aman. Sesuai Perpres sebenarnya sudah clear dari tempat penemuan hingga ke shelter yang jauh dari pemukiman,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul Banyak Narasi Negatif Terkait Pengungsi Rohingya di Medsos, JRS: Warga Terpecah Belah karena Hoaks
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.