Dosen UTM Sebut Carok dalam Sejarah Budaya Madura adalah Kesepakatan Duel Satu Lawan Satu
Carok sekarang bukan lagi persoalan harga diri, tetapi nuansanya juga sudah bergeser lebih ke persoalan politik bahkan sekedar perebutan kekuasaan
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan wartawan TribunMadura.com, Ahmad Faisol
TRIBUNNEWS.COM, BANGKALAN – Dari sudut pandang sejarah budaya Madura disebutkan bahwa carok dilandasi persoalan harga diri, kesepakatan duel satu lawan satu, mendapat ‘restu’ dari keluarga kedua belah pihak hingga tentang keikhlasan.
Ini diperkuat oleh hasil riset Latief Wiyata yang menyebutkan bahwa sebenarnya terjadinya carok itu 90 persen karena harga diri, persoalan perempuan dan sudah ada perjanjian antara kedua belah pihak dan sisanya tentang persoalan perebutan lahan seperti tanah.
Namun saat ini terjadi pergeseran yang sangat jauh sehingga berujung tindakan kriminal seperti kemarin empat lawan dua.
"Sebenarnya itu bukan carok tetapi lebih kepada persoalan kriminal, dendam-dendam berujung tindakan kriminal menggunakan sajam," kata Ketua Pusat Penelitian dan Inovasi Sosial Budaya Madura (LPPM) Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Iskandar Dzulkarnain kepada Tribun Madura, Selasa (16/1/2024).
Carok sekarang bukan lagi persoalan harga diri, tetapi nuansanya juga sudah bergeser lebih ke persoalan politik bahkan hanya sekedar perebutan kekuasaan.
"Fenomena carok sekarang dilakukan dari belakang, bergerombol membunuh satu orang. Dari perspektif sejarah budaya Madura, itu sebenarnya bukan definisi carok,” ungkap Iskandar.
Dikatakannya, ada kepercayaan masyarakat Madura jaman dulu bagi pihak yang salah dan akhirnya kalah dalam duel carok maka tidak ada dendam namun jika pihak yang benar ternyata kalah dengan posisi wajah menghadap ke atas, anak laki-laki atau saudara laki-laki dari pihak yang benar namun kalah harus melakukan balas dendam.
Baca juga: Sosok Hasan Busri dan Wardi Pelaku Duel Carok Madura, Bukan 2 vs 4 Tapi 10, 5 Kabur 1 Disuruh Pulang
Apabila pihak yang benar meninggal dengan wajah menghadap ke bawah atau dengan tubuh tersungkur, itu berarti sudah ikhlas dengan kekalahannya.
Pihak pemenang dan benar akan mengantar jenazah lawan ke rumah keluarga pihak yang kalah, disitulah keikhlasan maksudnya.
Di situ akhirnya muncul rasa kebanggan bahwa dia berada di pihak yang benar dan menang,
Iskandar memaparkan, apabila pihak yang salah kemudian kalah dalam carok kemudian jenazahnya diantar oleh pihak yang benar dan menang ke rumah keluarganya, itu sudah menjadi hal yang sudah biasa.
Keluarga dari pihak yang salah menerima dengan ikhlas, arahnya lebih ke perilaku sportif. Hanya saja sekarang arahnya lebih dikriminalkan, akhirnya siapapun yang bawa senjata tajam akhirnya dianggap tindakan kriminal.
“Orang yang melakukan carok itu sudah siap semuanya, mulai bekal secara keilmuan, bekal keluarga mengikhlaskan dia ‘berperang’ karena ada rasa malu di keluarga. Kenapa rasa malu itu muncul, karena di Madura itu pola pemikirannya Tanean Lanjeng, itu erat juga juga kaitannya,” paparnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.