Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Jemaah Aolia Lebaran 5 Hari Lebih Awal, Mbah Benu: Saya Kontak Batin dengan Gusti Allah SWT 

Pimpinan Jemaah Aolia, Mbah Benu membeberkan cara ia menentukan jatuhnya 1 Syawal 1445 Hijriah, bukan menelepon Allah tapi kontak batin.

Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Jemaah Aolia Lebaran 5 Hari Lebih Awal, Mbah Benu: Saya Kontak Batin dengan Gusti Allah SWT 
ist
KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau akrab dipanggil Mbah Benu, Pimpinan Jemaah Aolia menyampaikan permohonan maaf terkait pernyataannya yang menyebut soal menelepon Allah untuk mengetahui kapan tanggal 1 Syawal 1445 Hijriah. 

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Ratusan warga yang tergabung dalam jemaah Masjid Aolia di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membuat geger karena melaksanakan salat Idulfitri lebih awal, yakni pada Jumat (5/4) lalu.

Satu di antaranya di Masjid Aolia yang berada di Dusun Panggang III, Desa Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul.

Sedari pagi sekitar pukul 06.30 WIB, para jemaah Aolia baik laki-laki, perempuan, orang dewasa, dan anak-anak bergegas pergi ke masjid untuk melaksanakan salat ied.

Seruan takbir pun menggema sebelum salat dimulai.

Jemaah Aolia merayakan Idulfitri lebih cepat lima hari dibandingkan dengan penetapan Idulfitri Muhammadiyah yang jatuh pada 10 April 2024 mendatang.

Sedangkan, Pemerintah Indonesia sampai sekarang belum melakukan penetapan kapan jatuhnya awal bulan Syawal tersebut.

Tak hanya perbedaan perayaan Idulfitri, sebelumnya jemaah Aolia juga melaksanakan ibadah puasa lima hari lebih cepat pada 7 Maret 2024 dibandingkan hari penetapan dari pemerintah.

Potret jemaah Aolia yang akan melaksanakan salat Idulfitri, Jumat (5/4/2024)
Potret jemaah Aolia yang akan melaksanakan salat Idulfitri, Jumat (5/4/2024) (Istimewa)
Berita Rekomendasi

Jemaah Aolia dipimpin oleh KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau akrab dipanggil Mbah Benu.

Mbah Benu sendiri mengatakan ditetapkannya Lebaran jatuh pada hari Jumat 5 April itu berdasarkan keyakinan dari perjalanan spiritualnya.

"Penetapan ini berdasarkan keyakinan. Dan, jemaah Aolia bukan hanya ada di sini tapi tersebar di seluruh Indonesia," kata dia.

Mbah Benu kemudian membeberkan cara ia menentukan jatuhnya 1 Syawal 1445 Hijriah.

"Saya tidak pakai perhitungan, saya telepon langsung kepada Allah Taala, Ya Allah kemarin tanggal 4 malam 4, ya Allah ini sudah 29, 1 Syawal kapan, Allah Taala hadirko, tanggal 5 Jumat, lah makanya kalau disalahkan orang bagaimana, ya nggak apa-apa urusannya gusti Allah," ucap Mbah Benu menggunakan bahasa Jawa dalam sebuah video yang kemudian viral di media sosial.

Belakangan Mbah Benu mengklarifikasi ucapannya itu. Menurut dia, sebenarnya apa yang disampaikannya itu adalah sebuah istilah, bukan dalam arti sebenarnya bahwa dia menelepon Allah.

"Terkait pernyataan saya tadi pagi tentang istilah menelepon Gusti Allah SWT itu sebenarnya hanya istilah. Dan yang sebenarnya adalah perjalanan spiritual saya kontak batin dengan Allah SWT."

KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau akrab dipanggil Mbah Benu, Pimpinan Jemaah Aolia menyampaikan permohonan maaf terkait pernyataannya yang menyebut soal menelepon Allah untuk mengetahui kapan tanggal 1 Syawal 1445 Hijriah.
KH Ibnu Hajar Sholeh Pranolo atau akrab dipanggil Mbah Benu, Pimpinan Jemaah Aolia menyampaikan permohonan maaf terkait pernyataannya yang menyebut soal menelepon Allah untuk mengetahui kapan tanggal 1 Syawal 1445 Hijriah. (Istimewa)

Mbah Benu meminta maaf apabila pernyataannya telah menyinggung pihak lain.

"Apabila pernyataan saya yang menyinggung atau tidak berkenan, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, terima kasih," kata Mbah Benu.

Putra kelima Mbah Benu, Daud Mastein mengatakan pernyataan sang ayah merupakan kiasan semata.

Menurutnya, Mbah Benu mengaji dan melakukan amalan lainnya untuk menentukan awal dan akhir Ramadan serta kedatangan bulan Syawal.

"Ya ngaji, ya amalan dan itu merupakan salah satu karomahnya beliau," kata Daud.

Daud menyadari pernyataan sang ayah telah menimbulkan kegaduhan dari pihak-pihak yang menelannya mentah-mentah. Ia mewakili keluarga dan seluruh Jamaah Masjid Aolia tetap menyampaikan permintaan maaf untuk itu semua.

"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena telah menimbulkan kegaduhan, mari kita tetap jaga kerukunan antarsesama," ujarnya.

Baca juga: MUI Soroti Jemaah Aolia Salat Idulfitri Lebih Awal: Jangan Diikuti Itu Tak Benar

Lurah setempat, Sutarpan mengatakan, aktivitas puluhan warga yang tergabung dalam jemaah Aolia itu dilakukan sejak dulu. Warganya sudah terbiasa dengan penetapan hari raya idulfitri lebih awal yang ditentukan oleh jemaah Aolia.

"Kami sudah terbiasa dengan ini, sehingga jika mereka merayakan lebih cepat, warga di sini hanya bisa toleransi dan menghormati," ucapnya dilansir dari TribunJogja.com.

Dia mengaku, selama ini hubungan antara jemaah Aolia dan warga yang bukan jemaah terjalin harmonis. Warga saling memahami.

"Tidak pernah ribut-ribut. Kami di sini ya damai saja. Mereka ibadah ya silakan. Tidak ada yang merasa terganggu,"ujarnya.

Hubungan harmonis itu, kata Sutarpan, dapat dilihat saat perayaan Lebaran yang ditetapkan oleh pemerintah.

Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, mengatakan perayaan Idulfitri yang lebih awal dilakukan oleh ratusan jemaah Aolia merupakan keyakinan mereka dan harus dihormati.

"Itu keyakinan mereka dan kita harus hormati," ujarnya kepada Tribunnews.com, Jumat (5/4) malam.

Sementara terkait pernyataan Mbah Benu yang menelepon Allah, Ketua MUI Asrorun Ni'am menilai pernyataan itu merupakan sebuah kesalahan sehingga perlu diingatkan.

"Kasus di sebuah komunitas di Gunungkidul itu jelas kesalahan, perlu diingatkan. Bisa jadi dia melakukannya karena ketidaktahuan, maka tugas kita memberi tahu, kalau dia lalai, diingatkan," kata Ni'am kepada wartawan, Sabtu (6/4).

Baca juga: Penjelasan Lengkap Pimpinan Jemaah Aolia Gunungkidul Telepon Allah Dalam Penentuan 1 Syawal

Ni'am memandang praktik agama tersebut bisa dikatakan menyimpang jika dilakukan dalam kondisi kesadaran penuh. Menurutnya, jika mengikuti praktik tersebut hukumnya haram.

"Kalau praktik keagamaan itu dilakukan dengan kesadaran dan menjadi keyakinan keagamaannya, maka itu termasuk pemahaman dan praktik keagamaan yang menyimpang, mengikutinya haram," ujarnya.

Ni'am menyampaikan puasa Ramadan termasuk dalam ibadah mahdlah. Penentuan awal dan akhir ibadah telah ditetapkan oleh syariah. Menurutnya, Pelaksanaannya mesti berlandaskan ilmu agama serta keahlian.

"Tidak boleh hanya didasarkan pada kejahilan. ⁠Bagi yang tidak memiliki ilmu dan keahlian, wajib mengikuti yang punya ilmu dan keahlian. Tidak boleh menjalankan ibadah dengan mengikuti orang yang tak punya ilmu di bidangnya," katanya.(tribun network/ndg/rik/den/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas