Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Melihat Cara Warga Kabupaten Bandung untuk Lestarikan Budaya Lokal

Dalam Nyawang Bulan tersebut, masyarakat menggelar berbagai kesenian Sunda dan sejumlah penampilan seni budaya.

Editor: Muhammad Renald Shiftanto
zoom-in Melihat Cara Warga Kabupaten Bandung untuk Lestarikan Budaya Lokal
TRIBUNJABAR.ID/NAPPISAH
Suasana gelaran Nyawang Bulan di Kampung Bunisari, Girimekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Sabtu (22/6/2024). 

TRIBUNNEWS.COM - Warga Kampung Bunisari, Girimekar, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat punya cara tersendiri untuk menjaga budaya kearifan lokal untuk tetap hidup di masa sekarang.

Warga Kampung Bunisari ini tiap pertengahan bulan Hijriah, rutin menggelar Nyawang Bulan.

Dalam Nyawang Bulan tersebut, masyarakat menggelar berbagai kesenian Sunda dan sejumlah penampilan seni budaya.

Nyawang Bulan sendiri digelar di area terbuka, seperti di alam bebas atau di hutan lindung.

Koordinator Nyawang Bulan, Edi Suhardi, mengatakan, kegiatan tersebut merupakan balutan penyatuan antara alam saat bulan purnama dengan manusia sebagai bentuk syukur atas yang telah diberikan Sang Pencipta.

“Namanya juga Nyawang Bulan, bertepatan dengan bulan purnama, tapi kadang tidak tepat dan dilaksanakan di malam Minggu," ujar Edi saat ditemui di lokasi pada Sabtu (22/6/2024) malam.

Edi menuturkan, Nyawang Bulan sudah berjalan tiga tahun. Kegiatan tersebut kental akan tradisi Sunda tempo dulu.

Berita Rekomendasi

“Tadinya berkonsep klasik dari mulai peralatan zaman dahulu, tidak semimodern, dan makanan yang dijual hasil tani daerah sini,” tuturnya.

Dikatakannya, dalam membungkus makanan menggunakan daun pisang dan wadah dari rotan.

Pihaknya secara tegas tidak menggunakan plastik dalam berniaga.

“Makanan tidak boleh ada pengawet, pewarna, diusahakan tidak pakai penyedap,” katanya.

Begitu sampai di lokasi, para pengunjung mendatangi tempat penukaran koin.

Pasalnya, sistem transaksinya pun tidak menggunakan uang rupiah, namun mengandalkan koin berbahan bambu yang dipotong secara melingkar.

“Satu koinnya dihargai Rp 2.500 dan pengunjung bisa menukarkan dengan harga makanan sesuai dengan harga yang dipatok,” kata Edi.

Mulanya, Nyawang Bulan diinisiasi oleh pemilik lahan untuk menghelat acara dengan konsep melestarikan kebudayaan Sunda.

“Ada pentas seni juga, kaulinan barudak (permainan anak-anak), Tari Jaipong. Setelah melaksanakan salat Isya, pertunjukan diganti dengan kecapi pantun, ciri khasnya ada kasepuhan,” katanya.

Edi menjelaskan, pada mulanya gagasan Nyawang Bulan terinspirasi dari tempat lain. Setelah rembuk warga, diakuinya, mereka masih awam dengan konsep yang diusung.

“Akhirnya kita studi banding ke Temanggung. Di sana ada Papringan, tapi konsepnya tidak terlalu mencontoh ke sana,” ujarnya.

Diharapkan, Nyawang Bulan dapat menjadi daya tarik wisatawan lokal maupun luar, ke depan. Sehingga, mampu menunjang ekonomi masyarakat dari setiap kunjungan.

“Pengunjung yang datang dari daerah jauh bisa menginap di sini dan selayaknya destinasi wisata lainnya,” ucapnya.

Daya tarik Nyawang Bulan rupanya mengundang Dedi Mulyadi atau Kang Demul mengunjungi Kampung Bunisari.

“Beliau ada waktu untuk berkunjung ke sini dan support kegiatan seperti ini,” kata Edi.

Meskipun digelar secara outdoor, cuaca tak menjadi hambatan untuk diadakan Nyawang Bulan.

“Jika hujan tetap saja diadakan, bila reda kembali lagi acara seperti semula. Kita juga harus percaya kepada spiritual, bukan meminta ke yang gaib tapi melalui perantaranya dari Gusti Allah. Biasanya kita ada pawang hujan, belum pernah ada gelaran terus bubar,” jelasnya.

Edi mengatakan, tren kunjungan tiap acara semakin tinggi. Namun tak sedikit warga sekitar yang masih enggan datang ke Nyawang Bulan.

“Bahkan pengunjung lokal bisa dihitung jari, tidak tahu kenapa. Mereka masih segan untuk datang. Banyaknya dari luar,” tuturnya.

Pada perhelatan Nyawang Bulan, kata Edi, banyak yang diambil dari sisi positif, di antaranya mengurangi sampah plastik dan mengonsumsi makanan yang sehat.

Sehingga, hal tersebut dapat menjadi kebiasaan warga dalam perilakunya sehari-hari.

“Bila dikembalikan pada zaman dahulu sepertinya lebih ramah kepada lingkungan dibandingkan sekarang,” katanya.

Hadirnya perhelatan seni yang ditampilkan diharapkan mampu menumbuhkan kecintaan daerah terhadap generasi muda.

“Pitutur pituduh sepuh artinya pepatah dan petunjuk orang tua harus diikuti. Ini bisa dimaknai cara orang tempo dulu bersyukur dengan lingkungan sekitar dengan mengambangkan potensi lokal,” tegas Edi.

Artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Cara Warga Bunisari Kabupaten Bandung Jaga Spirit Lokal Melalui Aktraksi Budaya Nyawang Bulan

Sumber: Tribun Jabar
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas