Komnas Perempuan 'Colek' Kemenag Imbas Pengasuh Ponpes Nikahi Santriwati Tanpa Izin Ortu di Lumajang
Komnas Perempuan menilai terjadinya kasus pengasuh ponpes menikahi santriwati tanpa izin orang tua di Lumajang buntut kurang sosialisasi dari Kemenag.
Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mencolek Kementerian Agama (Kemenag) terkait kasus pengasuh pondok pesantren yang menikahi santriwati berumur 16 tahun tanpa seizin orang tua di Lumajang, Jawa Timur.
Awalnya, Siti Aminah menyinggung terkait larangan perkawinan pada usia anak.
Dia mengungkapkan bahwa sebenarnya pelarangan itu lantaran anak belum dapat mengambila keputusan hukum dan memahami risiko perkawinan terhadap kesehatan reproduksinya hingga hak bebas dari kekerasan.
"Setiap orang melaksanakan perkawinan dan membentuk keluarga. Hak ini dijamin dalam (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B Ayat 1), juga UU HAM dan UU Perkawinan yaitu perkawinan berdasarkan pilihan dari mempelai.
"Karenanya kemudian dilarang melakukan perkawinan pada usia anak, karena anak belum dapat mengambil keputusan (hukum) dan belum memahami sepenuhnya resiko dari perkawinan anak terhadap Kesehatan reproduksi maupun pemenuhan hak dasar lainnya seperti hak atas Pendidikan dan hak untuk bebas dari kekerasan," katanya dalam keterangan tertulis, Minggu (30/6/2024).
Lalu, Siti menyinggung terkait pemaksaan perkawinan di lingkungan ponpes berkaca dari kasus di Lumajang.
Dia pun menyebut Kemenang seharusnya melakukan sosialisasi terkait menjadikan pesantren sebagai ruang aman dari kekerasan bagi anak seperti santriwati yang menuntut ilmu di sana.
"Untuk mencegah pemaksaan perkawinan di lingkungan pondok pesantren, selain penegakan hukum, tak kalah penting adalah Kemenag melakukan sosialisasi di kalangan pesantren, akan pentingnya menjadikan pesantren sebagai ruang aman dari kekerasa dan mengingatkan kewajiban untuk melindungi anak/santriwati dari setiap bentuk kekerasan," paparnya.
Baca juga: Pengakuan Ayah di Lumajang usai Putrinya Dinikahi Siri Pengasuh Ponpes, Bertemu saat Pengajian
Selain itu, Siti Aminah juga menilai masih kurangnya sosialisasi dari Kemenag di ponpes terkait Peraturan Menteri Agama (Permenang) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
"PMA 73 sepertinya belum disosialisasikan di pesantren," ujarnya singkat.
Lebih lanjut, Siti Aminah menganggap kasus yang terjadi di ponpes di Lumajang masuk dalam tindak pidana kekerasan seksual, khususnya terkait pemaksaan perkawinan yang tertuang dalam Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS.
"Kasus ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, khususnya tindak pidana pemaksaan perkawinan yang dilarang dalam Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," kata Siti Aminah kepada Tribunnews.com, Minggu (30/6/2024).
Berikut isi dari Pasal 10 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS:
(1) Setiap Orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan.
(2) Termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. perkawinan Anak;
b. pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau
c. pemaksaan perkawinan Korban dengan pelaku perkosaan.
Siti Aminah juga menyebut pelaku juga telah melanggar UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 32 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak.
Alhasil, dia merekomendasikan agar kepolisian menerapkan kedua undang-undang tersebut kepada pelaku.
Selain itu, sambungnya, diharapkan pula agar pihak kepolisian untuk memulikan kondisi korban.
"(Pelaku) juga melanggar ketentuan dalam UU Perlindungan Anak, yaitu melakukan persetubuhan dengan seorang anak."
"Karenanya kami merekomendasikan kepolisian menerapkan UU Perlindungan Anak dan UU TPKS dalam kasus ini, dan merujuk korban ke lembaga layanan pemulihan korban di Lumajang.
Kronologi Nikah Siri, Pelaku Iming-imingi Korban Uang Rp 300 Ribu
Kasus pernikahan tanpa diketahui orang tua ini berawal dari kesaksian ayah korban berinisial MR yang memperoleh kabar bahwa sang anak tengah hamil.
Dia pun kaget karena merasa belum pernah menikahkan putrinya dengan siapapun.
Lantas, MR mencari informasi lain terkait kebenaran hal tersebut.
"Awalnya, tetangga ramai bilang anak saya hamil, saya kaget, kan enggak pernah saya nikahkan,”
“Setelah saya tanya ternyata memang tidak hamil," cerita MR di rumahnya, Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jumat (28/6/2024), dikutip dari Tribun Jatim.
Baca juga: Sosok Pengasuh Ponpes di Lumajang yang Nikah Siri dengan Gadis Tanpa Wali, Korban Diberi Rp 300 Ribu
Singkat cerita, MR pun mengetahui anaknya yang masih berusia 16 tahun dinikahi secara diam-diam oleh seorang pengurus ponpes berinisial ME.
MR menyebut bahwa anaknya tidak pernah menjadi santriwati di ponpes tempat pengurus itu bekerja.
Namun, sambungnya, korban memang kerap mengikuti pengajian di ponpes tersebut.
Lantas MR mengungkapkan sang anak akhirnya mengaku sempat diiming-imingi uang Rp 300 ribu jika mau dinikahi oleh ME.
Putri MR pun luluh dan akhirnya bersedia dinikahi oleh ME secara siri.
"Ngakunya dijanjikan mau disenengin (disenangkan) dan dikasih uang Rp 300.000."
"Saya tidak tahu kalau ternyata sudah nikah siri," ucap MR.
ME Jadi Tersangka
Ternyata pernikahan siri ini sudah terjadi pada 15 Agustus 2023 lalu.
Kini, ME pun telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pernikahan siri ini.
"Sudah kami tetapkan tersangka pada Kamis (27/6/2024) kemarin," ujar Kasatreskrim Polres Lumajang, AKP Achmad Rochim ketika dikonfirmasi, Jumat (28/6/2024).
Namun, ME belum ditahan oleh polisi.
ME masih akan dipanggil perihal penetapan status tersangka pada kasus ini.
Sebagian artikel telah tayang di Tribun Jatim dengan judul "Pengasuh Ponpes di Lumajang Jadi Tersangka, Buntut Pernikahan Siri dengan Gadis 16 Tahun"
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)(Tribun Jatim/Erwin Wicaksono)