Chattra Borobudur Tinggalan van Erp Dibongkar dan Akan Dipasang di Puncak Candi
Tim BRIN dan Ditjen Bimas Budha Kementerian Agama RI saat ini Tengah mempersiapkan pembongkaran dan pemasangan chattra di Balai KoOnservasi Borobudur.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYAKARTA – Kabar telah beredar di sejumlah komunitas sejarah, pada 18 September 2024 akan digelar upacara peresmian pemasangan chattra Candi Borobudur.
Undangan acara ini sudah tersebar dengan kop Ditjen Bimas Budha Kementerian Agama RI, yang ditandatangani Dirjen Bimas Budha, Drs Supriyadi MPd.
Tajuk acaranya adalah peletakan paratama chattra di pelataran Candi Borobudur. Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto direncanakan akan hadir di Candi Borobudur.
Kepala Sub Koordinator Museum dan Cagar Budaya Borobudur (dulu Balai Konservasi Borobudur), Wiwit Kasiyati, mengatakan pembongkaran chattra saat ini dilakukan untuk mendukung kajian teknis dan Detal Engineering Design (DED).
Mengenai rencana kegiatan peresmian pemasangan chattra pada 18 September 2024, Wiwit mengaku tidak tahu menahu. “Kami tidak tahu, silakan ditanyakan ke Kemenag,” balas Wiwit Kasiyati.
Baca juga: Chatra Borobudur akan Dipasang, Umat Buddha Sambut Gembira
Baca juga: Jokowi Ajak Anak dan Cucu Berakhir Pekan di Candi Borobudur
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno: Perayaan Waisak di Candi Borobudur Dongkrak Okupansi Penginapan
Tim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Ditjen Bimas Budha Kementerian Agama RI saat ini Tengah mempersiapkan pembongkaran dan pemasangan chattra itu.
Pada Selasa (3/9/2024) hingga Kamis (5/9/2024), seperti disaksikan Tribun di lapangan, persiapan teknis pengukuran, pendokumentasian, dan persiapan bongkar telah dilakukan di MCB Borobudur.
Pertemuan sejumlah pihak juga digelar di sebuah hotel di Magelang, termasuk menghadirkan Pak Werdi, pensiunan Balai Konservasi Borobudur.
Pak Werdi ini menjadi satu-satunya orang yang tersisa yang memahami dan sekaligus pernah merekonstruksi chattra Borobudur sejak tahun 1995.
Dalam beberapa hari terakhir, Pak Werdi secara khusus dimintai bantuan untuk membongkar dan memasang kembali chattra itu.
Pendekatan intensif kabarnya dilakukan pihak ketiga, atau kontraktor yang mendapat tugas untuk proyek pemasangan chattra ini.
Ahli pencari dan penyusun batu Candi Borobudur yang pensiun sejak 2010 ini merasa dirinya di posisi sangat sulit.
Ia yang pernah jadi anak buah Prof Dr Soekmono saat pemugaran Borobudur sejak 1973 mengamini pendapat pakar sejarah klasik itu.
Menurutnya mengutip pendapat Prof Dr Soekmono, stupa induk Borobudur tidak memiliki chattra, meskipun ada relief di candi ini yang memperlihatkan bentuk chattra.
Arkeolog dan ahli sejarah Dr Daud Aris Tanudirjo mengingatkan para pihak mengenai sikap dan pendapat para ahli yang hingga hari ini belum ada kata putus tentang chattra Borobudur.
Jika ada pihak yang ingin memaksakan kehendak memasang chattra di stupa induk Borobudur, maka sebaliknya harus ada kajian final yang komprehensif.
Di kalangan Budhis pun menurut Daud Tanudirjo juga pendapatnya masih terbagi. Ada yang ingin cahttra dipasang, tapia da juga yang menganggap tidak perlu dipasang di Borobudur.
Sebab, kata Daud Tanudirjo, kehadiran chattra di stupa puncak Borobudur bisa mempengaruhi otentisitas bangunan itu.
Secara arkeologi, tidak ada bukti kongkret di stupa puncak itu pernah dipasangi simbol payung. Jika dipaksakan, hal ini bisa berpengaruh ke status Borobudur sebagai World Heritage UNESCO.
Polemik Lama
Chattra di stupa induk Candi Borobudur menjadi polemik selama puluhan tahun, sejak Theodore van Erp merestorasi candi Budha itu pada tahun 1907 hingga 1911.
Chattra hasil rekonstruksi van Erp pada tahun 1931 sempat dipasang di stupa induk, tapi diturunkan kembali.
Theodore van Erp merasa ragu menyusul kritik dan kontroversi apakah Candi Borobudur berchattra atau tidak.
Van Erp mengganggap belum memiliki dasar dan bukti-bukti kuat di stupa puncak pernah ada chattra atau simbol payung di bangunan suci Budhist.
Dalam khasanah bangunan suci Budhist, chattra merupakan bagian dari stupa yang berbentuk payung bersusun tiga.
Letak chattra berada paling atas. Secara umum, stupa tersusun dari alas membulat yang ditinggikan dan diletakkan di bawah kubah.
Lalu pada bagian atas kubah terdapat harmika atau tanah berpagar juga as roda atau batang untuk menopang chattra.
Chattra menyimbolkan perlindungan bumi dari kekuatan jahat. Selain itu, chattra juga bermakna sebagai objek persembahan surgawi dan juga penanda anggota keluarga kerajaan.
Jumlah chattra di atas stupa pada masa India kuno adalah tiga belas. Jumlah ini merupakan lambang penghormatan bagi raja penguasa dunia atau kerajaan yang memiliki daerah kekuasaan yang luas.
Meskipun demikian, berdasarkan maksud dan tujuan didirikannya stupa, budaya lokal, keterampilan dari perajin lokal serta keyakinan masyarakat setempat dapat menyebabkan beragamnya bentuk bagian-bagian stupa (alas, kubah, harmika, dan payung).
Oleh karena itu, bentuk dan gaya arsitektur stupa dapat berbeda-beda, baik antar daerah maupun antar negara.
Perbedaan-perbedaan itu bisa dilihat di negara-negara Asia yang pengaruh ajaran Buddha kuat atau berkembang, seperti India, Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Nepal, dan Tibet.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, desakan agar chattra dipasang di stupa induk Candi Borobudur kian menguat.
Kementerian Agama RI lewat Ditjen Bimas Budha menjadi leading sector yang mempromosikan wacana itu lewat berbagai forum.
Di situs Kemenag RI pada 22 Februari 2024 dipublikasikan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrebang) Tingkat Nasional 2024 Direktorat Bimbingan Masyarakat Buddha di Jakarta.
Disebutkan di artikel itu sejumlah akademisi dan pemerhati candi mendorong agar pemasangan chattra atau payung di puncak Candi Borobudur segera diwujudkan.
Mereka menilai kehadiran chattra diyakini akan memberikan banyak dampak positif bagi umat Buddha, baik di Indonesia maupun dunia.
Chattra mengandung banyak makna filosofis yang sangat mendalam melebihi aspek kesejarahan dan arkeologis.
Hadir dalam diskusi tentang chattra ini antara lain Stanley Khu, dosen Antropologi Universitas Diponegoro Semarang, Prawirawara Jayawardhana (Pemerhati Buddhis Nusantara) dan Hendrick Tanuwijaya (pemerhati Candi Borobudur).
Stanley Khu berpandangan sekarang sudah tiba waktunya untuk memahami Candi Borobudur tidak hanya sebagai candi dalam konteks historis atau arkeologis.
Chattra menurut Stanley Khu berpotensi untuk secara simbolik mewakili imajinasi kolektif umat Buddhis tentang ruang sakral mereka.
"Patut diingat bahwa dalam tradisi keagamaan manapun, ruang sakral berikut ornamen-ornamen pelengkapnya sebagai aspirasi umat serta bangkitnya kesadaran dan kepedulian pemuda-pemudi Buddhis di Indonesia terhadap isu chattra dan kemungkinan pemasangannya di stupa Borobudur dapat dibaca sebagai kebutuhan mendasar umat beragama untuk membayangkan sebuah cara hidup ideal yang bajik dan bermakna, baik bagi diri mereka maupun pihak lain, " terangnya.
Sementara menurut Prawirawara Jayawardhana, chattra memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat jelas serta mendalam di dalam Buddhisme. Keutamaan itu terbukti baik menurut tradisi teks Pali maupun Sanskrit, maupun Sutrayana dan Tantrayana.
“Konsep payung sebagai pelindung bagi makhluk-makhluk suci, bisa ditemukan antara lain mulai dari Mucalindasuttam, hingga Lalitawistara Sutra, Gandawyuha Sutra, Karmawibhangga Sutra, Jatakamala hingga berbagai kisah di dalam Awadana. Dan kebetulan sekali pula, Candi Borobudur menyimpan catatan atas sutra-sutra tersebut dalam bentuk ukiran-ukiran relief di dindingnya,” terang Prawirawara.
Dia menyoroti selama ini, polemik pemasangan chattra hanya dibahas dari satu sisi keilmuan arkeologi.
Menurut dia, sudah saatnya jawaban atas polemik ini juga dicari dari sisi filosofis Buddhisme itu sendiri karena pada dasarnya Candi Borobudur itu adalah dibangun berdasarkan filosofi Buddhisme.
Sedangkan penulis buku Hendrick Tanuwijaya menyampaikan chattra adalah simbol dari 'cakrawatin' atau pemimpin yang bisa menyejahterakan rakyatnya secara duniawi dan spiritual.
Menurut dia, kalau chattra terpasang maka akan menjadi spirit kuat dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.
"Kita akan menjadi anak muda emas dalam istilah Buddhis kita sebut Cakrawatin Emas menuju kejayaan," ujarnya.
Dengan menaikkan chattra di Candi Borobudur, tandas Hendrick, sejatinya menjadi simbol tekad umat untuk mencapai cita-cita Indonesia emas.
Dengan dipasangnya chattra melambangkan Borobudur kembali bukan monumen mati namun monumen hidup yang bisa digunakan dan juga sebagai pusat peradaban.(Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.