Terkait Kematian dr Risma Aulia, Majelis Rektor PTN Indonesia Siap Jadi Mediator Selesaikan Masalah
MRPTNI siap menjadi mediator antarinstitusi yang terlibat pada PPDS melalui pendekatan yang menjembatani kepentingan semua pihak
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma terus menjadi sorotan.
Sejumlah pihak meminta agar kasus ini terang benderang, termasuk berbagai kabar lainnya seperti kasus punggutan terhadap korban.
Kasus meninggalnya dr Aulia Risma menjadi sorotan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI), sedangkan kabar terbaru Kuasa hukum keluarga korban, Misyal Achmad minta polisi untuk memeriksa para senior korban atau dokter residen selama pelaksanaan program di RSUP Kariadi Semarang.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Prof Dr Ir Eduart Wolok ST MT menyatakan, pihaknya siap menjadi mediator dalam membantu penyelesaian masalah yang ada.
"MRPTNI siap menjadi mediator antarinstitusi yang terlibat pada PPDS melalui pendekatan yang menjembatani kepentingan semua pihak, guna menemukan solusi terbaik yang mendukung program pemerintah, dalam pemenuhan jumlah tenaga dokter di tanah air khususnya dokter spesialis," kata Eduart Wolok dalam keterangan, Selasa (10/9/2024).
Eduart meminta agar semua pihak dapat menjaga kemandirian kampus.
Baca juga: Fakta Baru Kematian Dokter Aulia Risma Lestari: Diminta Senior Setor Rp 20 sampai 40 Juta Per Bulan
Penegasan ini menjadi respons setelah sebelumnya Kementerian Kesehatan telah memberhentikan program studi Anestesi dan Reanimasi Undip serta penghentian aktivitas klinik Dekan FK Undip, Yan Wisnu Prajoko, di Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr Kariadi.
Penghentian ini dilakukan karena Kemenkes ingin melakukan investigasi atas kematian dr ARL yang diduga akibat perundungan dan bunuh diri.
"MRPTNI mengajak semua pihak yang menjadi mitra untuk sama-sama menjaga kemandirian kampus agar tercipta penyelenggaraan pendidikan yang kondusif untuk menghasilkan lulusan yang lebih baik ke depan," kata Rektor Universitas Negeri Gorontalo.
Terkait dengan kasus yang terjadi di Undip, Eduart mengatakan, pada prinsipnya sejak tahun 2022 sudah menerapkan regulasi Zero Bullying.
Implementasi regulasi tersebut, lanjutnya, terdapat peserta didik yang menerima konsekuensi dari regulasi tersebut.
"Untuk itu MRPTNI mendukung penuh upaya dari pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk mencegah dan menindak tegas tindakan perundinngan (bullying) sesuai dengan mekanisme yang diatur oleh masing-masing kampus," kata Eduart.
MRPTNI saat ini memiliki 144 anggota, yang meliputi 67 Perguruan Tinggi Akademik, 44 Perguruan Vokasi (Politeknik Negeri), dan 24 Universitas Islam Negeri di Indonesia.
Juru bicara Undip dan FK Undip, dr. Sugeng Ibrahim, M.Biomed (AAM) menyambut positif dukungan dari pimpinan rektor PTN se Indonesia tersebut.
Terkait dengan penyelesaian masalah di Undip, ia memberikan perumpamaan bagaimana negeri ini berperang melawan korupsi.
"KPK berdiri sejak Desember 2003, atau 11 tahun lalu, tapi sayangnya korupsi masih marak terjadi di Indonesia. Apakah KPK-nya yang dibubarkan? Demikian juga dengan praktek bullying di perguruan tinggi kita, apakah Universitas Negeri harus dibubarkan juga? Hal yang sama dengan mantan Sesditjen Farmalkes (Kefarmasian dan Alat Kesehatan) Kemenkes yang diperiksa KPK saat ini sebagai saksi terkait dugaan pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) di Kementerian Kesehatan yang merugikan negara Rp 3 triliun, apakah Kemenkes juga harus dibubarkan?" kata Sugeng di Semarang, Selasa (10/9/2024).
Sementara, kuasa hukum keluarga dr Aulia Risma, Misyal Achmad meminta polisi untuk memeriksa para senior korban atau dokter residen selama pelaksanaan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di RSUP Kariadi Semarang.
Baca juga: Kemenkes Dampingi Keluarga Dokter Aulia Risma Laporkan Dugaan Perundungan di PPDS Undip ke Polisi
Dikutip dari Tribun Jateng, para dokter residen ini perlu diperiksa karena diduga ada pelanggaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam proses pengajaran.
Dugaan pelanggaran pengajaran itulah yang dirasakan oleh almarhumah dr Aulia Risma Lestari.
"Harapannya semua saksi diperiksa termasuk dokter konsulen atau dokter senior yang mengajar di dokter spesialis. Sebab, mereka yang menyerahkan proses pengajaran PPDS ke dokter residen atau murid dari dokter konsulen," ujar Masyal saat dihubungi,Selasa (10/9/2024).
Dia mengungkapkan, dokter konsulen menyerahkan proses pengajaran ke dokter residen karena ada dugaan gajinya kecil.
Di sisi lain, pembuat program pengajaran adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
"Jadi tidak ada SOP yang benar untuk pengajaran," bebernya.
Dia menuturkan, pihak keluarga juga berharap dari kampus Undip baik Rektor, Kepala Prodi Anestesi dan lainnya ikut diperiksa.
Pemeriksaan terhadap mereka perlu dilakukan karena ibu korban telah melaporkan adanya sistem kerja yang overtime hampir 24 jam yang dialami korban tetapi tak ditanggapi serius oleh Kepala Prodi.
"Biar saksi-saksi dulu yang diperiksa disusul nanti seniornya. Selepas itu, harapnnya Rektor Undip dan Kaprodinya akan dipanggil. Mereka yang bertanggung jawab," ujarnya.
Ibu Mendiang dr Aulia Risma Diperiksa
Perkembangan terbaru lainnya, Nuzmatun Malinah, Ibunda mendiang dr Aulia Risma Lestari akan diperiksa kembali di Polda Jawa Tengah pada Rabu (11/9/2024) pagi.
"Semua barang bukti seperti handphone, rekaman dan keterangan para saksi di Polrestabes Semarang semua ditarik ke Polda Jateng," ungkap Misyal.
Sebelumnya, Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah telah melakukan pemeriksaan sebanyak 17 saksi atas kasus kematian dr Aulia Risma Lestari mahasiswi PPDS Undip Semarang.
Belasan saksi tersebut terdiri dari keluarga almarhumah (ibu dan tante), Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Sisanya, para saksi berasal dari teman-teman satu angkatan korban yang berjumlah 10 orang.
Baca juga: Ayah Dokter Aulia Risma Lestari Meninggal Dunia di RSCM Setelah Drop Karena Kematian Putrinya
Polisi belum menyentuh senior korban maupun pihak Undip dan rumah sakit RSUP Kariadi tempat magang korban.
"Iya ini teman seangkatan dulu yang diperiksa untuk membuka informasi. Setelah itu, penyidik nanti akan menunjukan siapa yang akan diperiksa selanjutnya berdasarkan dinamika perkembangan penyelidikan," ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah Kombes Artanto, di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Selasa (10/9/2024).
Polisi mulai bergerak menangani kasus ini selepas Nuzmatun Malinah (57), ibunda mendiang dr Aulia Risma membuat laporan ke Polda Jateng pada Rabu (4/9/20234).
Laporan yang dibuat ibu mendiang berkaitan dengan dugaan tindak pidana perbuatan tindak menyenangkan, penghinaan dan pemerasan.
Kepolisian tak hanya memanggil para saksi.
Sejumlah bukti-bukti yang dibawa ibu korban dan Kemenkes turut didalami.
Termasuk bukti transfer buku rekening yang diduga disetorkan korban ke para seniornya.
"Iya ada bukti itu. Kami masih dalami apakah bukti itu bisa menjadi barang bukti atau tidak," ungkap Artanto yang enggan menyebut jumlah nominal transferan tersebut.
Selain bukti transfer, polisi juga mendalami tangkapan layar, invoice pemesanan, dokumen perkuliahan dan lainnya.
"Kami masih melakukan klarifikasi dan sinkronisasi antara data dengan keterangan saksi maupun fakta di lapangan sehingga proses penyelidikan terus berlanjut," papar Artanto.
Pihaknya dalam menangani kasus ini intensif melalukan koordinasi dengan Kemenkes dan Kemendikbudristek. Koordinasi ini untuk memastikan adanya bukti-bukti lain yang bisa dianalisa.
"Kalau soal potensi adanya korban lain, itu ranah Kemenkes. Kami masih fokus ke penyelidikan kasus ini," katanya.
Sementara, Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Suharnomo meminta polemik dan perdebatan terkait kematian mahasiswi PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) Anestesi dan dan Reanimasi dihentikan sampai ada hasil penyidikan resmi dari kepolisian.
Dia meminta jajaran civitas akademika berhenti berpolemik dan berdebat tentang peristiwa kematian mahasiswa PPDS Fakultas Kedokteran UNDIP.
Alasannya, menunggu sampai ada hasil penyidikan resmi dari kepolisian.
"Stop sekarang juga. Tidak usah membuat pernyataan-pernyataan dan tidak usah terpancing,” katanya dalam keterangan resmi yang dikeluarkan Undip. (TribunJateng/iwan Arifianto/*)
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Dugaan Pelanggaran SOP pada Kematian Mahasiswi Undip: Kuasa Hukum Desak Polisi Periksa Senior Korban