Ipda Rudy Soik Blak-blakan Soal Sanksi Pemecatan Usai Ungkap Mafia BBM, Merasa Ditekan Saat Sidang
Ipda Rudy Soik, anggota Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) blak-blakan soal pemecatan dirinya dari anggota Polri setelah mengungkap kasus BBM ilegal.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, KUPANG - Ipda Rudy Soik, anggota Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) blak-blakan soal pemecatan dirinya dari anggota Polri setelah mengungkap kasus Bahan Bakar Minyak (BBM) ilegal.
Ipda Rudy Soik dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dalam sidang kode etik profesi Polri yang digelar di ruang Direktorat Tahti Lantai II Polda NTT, Kamis 10 Oktober 2024.
Menyikapi hal tersebut, Ipda Rudy Soik mengaku kaget.
Ia mengaku dirinya tidak hadir dalam sidang yang berangsung Jumat (11/10/2024) beragendakan pembelaan sekaligus putusan.
Alasan dirinya tidak menghadiri sidang karena merasa ditekan saat memberikan keterangan.
“Saya tidak hadir. Karena sejak hari pertama saya sudah sampaikan ke komisi sidang agar saya tidak ditekan dan tidak diintimidasi secara kewenangan. Saya merasa ditekan dalam memberikan keterangan,” kata Ipda Rudy Soik kepada POS-KUPANG.COM, Sabtu, 11 Oktober 2024.
Baca juga: Ipda Rudy Soik Sebut Pemecatannya setelah Ungkap Mafia BBM Hal Menjijikkan: Saya Benar-benar Ditekan
Berdasarkan putusan, Ipda Rudy Soik dinilai terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan BBM dengan cara melakukan pemasangan police line di lokasi milik Ahmad Anshar dan Al Ghazali Munandar di Kelurahan Alak dan Fatukoa, Kupang, NTT
Menyikapi hal tersebut, Ipda Rudy Soik mengatakan pemasangan police line, harus ada serangkaian cerita yang mendasari hal tersebut dilakukan.
Namun, saat sidang dirinya hanya diberi kesempatan menjelaskan tentang tanggal 27 Juni 2024, hari dilakukan pemasangan police line tersebut.
Baca juga: Ipda Rudy Soik Anggota Polda NTT yang Berjuang Ungkap Mafia BBM Dipecat, JarNas Anti TPPO Mengecam
“Seharusnya kenapa saya memasang police line pada tanggal 27 itu yang harus perlu dijelaskan. Tetapi saya tidak diberi ruang untuk menjelaskan sampai akhir,” kata Ipda Rudy Soik.
Dijelaskan Rudy, dia diberikan kesempatan untuk menanyakan kepada seorang pemilik tempat dipasang police line tersebut dimana kondisinya tidak ada minyak dalam drum.
“Jadi saya bertanya apakah Krimsus pada tanggal 27 saya pergi, kamu menjelaskan kepada saya bahwa minyak Krimsus itu ilegal, dia mengakui dalam sidang," kata Ipda Rudy Soik.
Ia lantas bertanya lagi soal beberapa fakta kepada pemilik lokasi penimbunan BBM tersebut.
"Apakah kamu juga pernah memberikan anggota uang senilai Rp 15 juta sebelum saya datang, dia mengakui itu," ujarnya.
Namun, dalam sidang tersebut justru pertanyaan langsung dihentikan karena dianggap melebar.
"Saya sampaikan tetapi langsung di cut dan dibilang kamu jangan melebar ke mana-mana,” kata Rudy menirukan teguran yang diterimanya saat sidang.
Menurut Rudy sikap seperti itu menandakan dalam sidang tersebut tidak mencari fakta dan konstruksi, yang seharus digali sebagai fakta persidangan.
“Jadi terkesan saya melanggar SOP pemasangan police line. Makanya saya bertanya, kok itu dianggap berbelit-belit. Saya kan tanya kalau seandainya saya salah dalam pemasangan police line itu, lalu yang benarnya di mana. Perlihatkan kepada saya dan jelaskan aturannya mana,” kata Ipda Rudy.
Rudy menegaskan yang harus diketahui bahwa dirinya tidak serta merta ada di tempat Ahmad atau Algajali lokasi pemasangan police line.
Sebelum pemasangan telah dilakukan serangkaian penyelidikan atas dugaan tindak pidana.
“Itukan ada surat tugasnya. Pelaksanaan kegiatan itu saya juga melapor pada atasan," katanya.
Dalam sidang pun Ipda Rudy Soik mengaku menyampaikan hal itu ke komisi sidang.
"Harusnya pengawasan pimpinan terhadap saya itu langsung dari Polresta. Saya melaksanakan tugas ini saya lapor dua tingkat ke atas,” katanya.
Berbicara tentang etika, lanjut Ipda Rudy Soik, banyak penyimpangan yang dilakukan oknum Polri yang lebih buruk dari sekadar pemasangan Police line.
“Kalau bicara tentang etika, masih banyak penyimpangan yang dilakukan oknum Polri lebih buruk daripada yang tertuduh kepada saya. Saya pasang police line terkait mafia minyak yang ada di Kota Kupang menggunakan barcode nelayan, kok saya bisa di sidang PTDH. Ini sesuatu yang membuat saya kaget," katanya.
Menurut dia, Propam memberikan sanksi PTDH terhadap dirinya mengartikan bila yang dituduhkan terbukti.
Padahal, menurut perwira pertama polisi ini, fakta sidang harusnya bisa menunjukkan prosedur mana yang dirinya langgar.
"Kalau bicara tentang korelasi sprint tugas, bukan saya sendiri yang bertugas. Kalau saya memerintah anggota saya, saya bertanggung jawab atas anggota itu. Tetapi kalau mereka melihat secara korporasi. Mereka tahu ada jenjang di atas saya," katanya.
"Saya tidak pernah menyudutkan siapapun. Tetapi sebagai warga negara yang taat hukum, kita ikuti prosesnya artinya ini belum bersifat final,” ujarnya.
Sementara itu, Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy mengatakan dalam sidang diputuskan Ipda Rudy Soik melanggar pasal 13 ayat 1, Pasal 14 (1) hrf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang pemberhentian Anggota Polri junto pasal 5 ayat (1) huruf b,c dan pasal 10 ayat (1) huruf (a) angka (1) dan hrf d Perpol 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
“Sidang dilanjutkan pada hari Jumat tgl 11 Oktober 2024 pukul 08.00 Wita dengan agenda pembacaan tuntutan, pembelaan (pledoi). berdasarkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/38/X/2024 tanggal 11 Oktober 2024, menjatuhkan sanksi administrasi berupa PTDH dari dinas Polri,” ujar Ariasandy, Sabtu (12/10/2024).
Dijelaskan Ariasandy, dalam proses pemeriksaan sidangnya, Pendamping (Kuasa Hukum) Ipda Rody Soik menanggapi secara lisan tuntutan penuntut yang pada intinya:
Pertama, meminta maaf kepada institusi Polri atas perbuatan terduga pelanggar karena telah mencoreng nama baik Institusi Polri, dan tindakan terduga pelanggar yang tidak kooperatif, tidak sopan dalam persidangan hingga meninggalkan ruangan persidangan;
Kedua, bahwa selaku pendamping tidak akan mengajukan pembelaan lagi karena terduga pelanggar sendiri tidak kooperatif dalam persidangan, meninggalkan ruang sidang, tidak bersedia mendengarkan penuntutan dan putusan hingga persidangan dilanjutkan tanpa kehadiran terduga pelanggar di persidangan (in absentia);
“Dalam mengambil keputusannya, majelis sidang Komisi Kode Etik mempertimbangkan persangkaan, tuntutan dan tanggapan dari pendamping terduga pelanggar sebagaimana tersebut di atas dan penilaian terhadap seluruh fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan,” jelasnya.
Fakta yang terungkap dalam persidangan berupa keterangan para saksi atas nama Ahmad Anshar, Algajali Munandar, AKP Yohanes Suhardi SSos MH,Ipda Andi Gunawan, Aipda Ardian Kana, Bripka Jemi O Tefbana, Briptu Dewa Alif Ardika, dan Kombes Pol Aldinan RJH Manurung SH SIK MSi pada intinya membenarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Akreditor, baik oleh terduga Pelanggar maupun kuasa hukumnya.
Menurut Ariasandy mereka mengakui bukti dan fakta tersebut, tidak mengajukan bukti atau pembelaan selain meminta maaf dan mengakui adanya perbuatan yang merugikan Institusi Polri.
Saat persidangan sedang berlangsung Ipda Rudy Soik keluar dari ruangan sidang, di saat pembacaan tuntutan dan tidak bersedia mendengarkan tuntutan dan putusan.
“IPDA RS telah melakukan perbuatan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur, ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak dengan melakukan pemasangan Police Line (garis Polisi) pada drum dan jerigen yang kosong di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar beralamat di Kelurahan Alak dan Fatukoa,” kata Ariasandy.
Tempat dilakukan pemasangan Police Line lanjutnya, tidak terdapat barang bukti dan bukan merupakan peristiwa tindak pidana.
Tindakan tersebut tidak didukung dengan administrasi penyidikan.
Hasil sidang tindakan Ipda Rudy telah melanggar Kode Etik Profesi Polri sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1), dan pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri dan/atau pasal 5 ayat (1) b, c dan pasal 10 ayat (1) huruf a angka 1, dan huruf d Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Bahwa dalam proses sidangnya tidak ada fakta yang meringankan, hanya ada fakta yang memberatkan yaitu:
Pada saat pelanggaran terjadi dilakukan secara sadar, kesengajaan dan menyadari perbuatan tersebut merupakan norma larangan yang ada pada Peraturan Kode Etik Polri, dan perbuatan terduga pelanggar tersebut dapat berimplikasi merugikan dan merusak citra kelembagaan Polri;
Terduga pelanggar dalam memberikan keterangan tidak kooperatif dan berbelit-belit dan tidak berlaku sopan di depan persidangan Komisi.
Selain itu, Ariasandy mengatakan terduga pelanggar pernah melakukan pelanggaran disiplin sebanyak 3 (tiga) kali dan Kode Etik Profesi Polri 1 (satu) dengan putusan Disiplin dan Kode Etik Profesi Polri sebagai berikut :
Laporan Polisi Nomor: LP-A/50/VI/HUK.12.10./2024/Provos tanggal 27 Juni 2024 dengan keputusan hukuman Disiplin Nomor: KEP/02/VIII/2024 tanggal 29 Agustus 2024 dengan sanksi Teguran tertulis, Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun dan Pembebasan dari jabatan selama 1 (satu) tahun;
Laporan Polisi Nomor: LP-A/55/VII/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 7 Juli 2024 dengan keputusan hukuman Disiplin Nomor: KEP/03/IX/2024 tanggal 11 September 2024 dengan sanksi Teguran tertulis dan Penempatan pada tempat khusus selama 14 (empat belas) hari;
Laporan Polisi Nomor: LP-A/66/VIII/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 7 Agustus 2024 keputusan hukuman Disiplin Nomor: KEP/04/IX/2024 tanggal 18 September 2024 dengan sanksi Teguran tertulis;
Laporan Polisi Nomor: LP-A/49/VI/HUK.12.10./2024/Yanduan tanggal 27 Juni 2024 dengan Putusan sidang Kode Etik Profesi Polri Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024 dengan sanksi Penempatan pada tempat khusus selama 14 (empat belas) hari dan mutasi bersifat demosi selama 3 (tiga) tahun.
Hasil putusan sidang Banding Komisi Kode Etik Polri pada tanggal 9 Oktober 2024 dengan menjatuhkan sanksi dari putusan Komisi Kode Etik Polri menambah putusan sanksi berupa mutasi bersifat demosi selama 5 (lima) tahun terhadap Putusan Sidang KKEP Nomor: PUT/34/VIII/2024 tanggal 28 Agustus 2024.
“Berdasarkan pada keyakinan Komisi Kode Etik Polri yang didukung sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah, bahwa pelanggaran Kode Etik Profesi Polri benar-benar terjadi dan terduga pelanggar yang melakukan pelanggaran."
"Sesuai dengan fakta hukum sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, maka Komisi berpendapat persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat 1 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 telah terpenuhi sehingga sah secara hukum bagi Komisi untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi,” tutupnya.
(Poskupang.com/ Rosalia Andrela)
Artikel ini telah tayang di Pos-Kupang.com dengan judul Ipda Rudy Soik Tanggapi Putusan Sanksi PTDH
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.