Mendikdasmen Ajak Kapolri Bahas Nasib Guru Supriyani, Tak Mau Ada Kejadian Serupa Lagi
Kasus guru Supriyani mendapat perhatian dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti.
Penulis: Nanda Lusiana Saputri
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Kasus guru honorer Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang dituding menganiaya muridnya, masih terus bergulir.
Kasus ini mendapat perhatian dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti.
Tindak lanjut dari kasus tersebut, Abdul Mu'ti bakal bertemu dengan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Keduanya akan membahas soal kekerasan dalam dunia pendidikan hingga nasib Supriyani.
"InsyaAllah dalam minggu-minggu ini kalau waktunya cocok kami akan bertemu silaturahmi dengan Kapolri."
"Membicarakan persoalan-persoalan kekerasan yang ada di dalam pelajar."
"Dan juga persoalan yang berkaitan dengan lagi-lagi pembinaan karakter," katanya saat ditemui di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, Senin (30/10/2024).
Abdul Mu'ti menjelaskan, kasus kriminalisasi guru bukan kali pertama terjadi.
Menurutnya, Supriyani adalah satu dari sekian banyak kasus hukum yang menjerat guru di Indonesia.
"Kasus yang seperti itu kan juga terjadi di tempat lain. Karena itu kami ingin menyelesaikannya dari hulu," jelasnya.
Ia tak ingin kejadian serupa terulang lagi di masa depan.
Baca juga: Pengakuan Kades soal Uang Damai Kasus Guru Supriyani: Diarahkan Kapolsek Baito, Permintaan Kanit
Sehingga, lanjutnya, perlu ada kejelasan di tataran kebijakan pusat.
Baik dari kebijakan hukum maupun kebijakan pemerintah.
"Kalau kasuistik terus itu kan akan terus-terus terjadi. Dan ini memang menjadi tantangan kita bersama-sama," ungkapnya.
Abdul Mu'ti mengatakan, penguatan pendidikan karakter bisa menjadi jawaban atas kasus ini, termasuk pelibatan komunitas di tempat tinggal anak.
Pakar Sebut Kriminalisasi yang Berlebihan
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri juga menyoroti kasus guru Supriyani.
Reza mengaku risau dengan kasus tersebut.
Ia menilai, kasus guru Supriyani telah dikriminalisasi secara berlebihan.
"Saya harus akui, saya dirisaukan oleh kesan kasus ini sudah menjadi semacam hyper criminalization, kriminalisasi yang overdosis," kata Reza, dikutip dari YouTube Nusantara TV, Senin (28/10/2024).
Ia menganggap, penahanan yang dilakukan terhadap Supriyani merupakan bentuk perlakuan yang melebihi takaran dan tidak sepatutnya dikenakan terhadap guru honorer itu.
"Ternyata apa yang saya anggap sebagai hyper criminalization antara lain terbukti."
"Terwujud dalam penanganan tersebut ternyata segedang sepenarian dengan penetapan hakim kemarin," ungkapnya.
Maksud dari penetapan hakim itu yakni terkait dikabulkannya penangguhan penahanan terhadap Supriyani.
Hal ini menunjukkan, kata Reza, penahanan sesungguhnya tidak perlu dilakukan terhadap Supriyani.
Baca juga: Sapu Ijuk 1,5 Meter Jadi Barang Bukti Kasus Guru Supriyani Aniaya Bocah SD Anak Polisi di Sultra
Lebih lanjut, Reza menjelaskan, hyper criminalitation ini berangkat dari kecenderungan otoritas penegakan hukum yang melihat berbagai macam situasi dari kacamata pidana.
"Jadi mudah sekali untuk mengatakan, 'oh ini pelanggaran hukum', 'oh ini kejahatan', 'oh ini pelaku kejahatan' dan seterusnya," terang Reza.
"Terlalu mudah menggunakan kacamata pidana," imbuhnya.
Padahal, menurut dia, untuk kasus-kasus yang efek pidananya relatif minor, tidak perlu menempuh langkah litigasi.
Litigasi adalah proses penyelesaian perkara melalui pengadilan. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
"Apalagi nanti pada penghukuman, masuk dalam lembaga pemasyarakatan, tidak harus seperti itu," paparnya.
Reza menjelaskan, ada langkah 'elegan' yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus guru Supriyani.
Yakni dengan restorative justice, sebuah upaya penyelesaian hukum dengan cara kesepakatan bersama.
"Pandangan saya tentang pentingnya restorative justice ini juga segendang sepenarian dengan komitmen Kapolri, Jenderal Listyo Sigit."
"Dalam komitmen ketujuh yang dia utarakan sesaat setelah dilantik sebagai Kapolri adalah betapa pentingnya personil Polri mengedepankan pendekatan restorative justice bukan litigasi," urainya.
Reza menegaskan, apa yang ia utarakan ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran terhadap kekerasan.
Menurutnya, dalam Undang-undang Perlindungan Anak sudah dijelaskan, kekerasan baik itu fisik, psikis, maupun seksual adalah pidana.
"Jadi tidak ada ruang pembenaran bagi kekerasan. Namun, apakah pada kasus ini telah terjadi atau justru tidak terjadi kekerasan, itu saya tidak tahu."
"Dan sepenuhnya itu saya serahkan kepada otoritas penegakkan hukum yang faktanya proses hukumnya sudah berjalan," tandasnya.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana, Kompas.com/Singgih Wiryono)