Asa Anak Pulau Palue Sikka di Bawah Terang Lampu Tenaga Surya
Di pulau terpencil Palue Sikka NTT, tahun 2021 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) PT PLN sudah menerangi tujuh desa.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Laporan Reporter Tribun Flores.com, Gordy Donofan
TRIBUNNEWS. COM, MAUMERE - Bocah bernama Hilarius Febriano Ngaji (11) terlihat keluar masuk kamar dalam rumahnya di kampung Uwa, Desa Maluriwu, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (24/10/24) sekitar pukul 19.00 WITa.
Beberapa kali tangan kirinya menggaruk kepala sedangkan tangan kanannya memegang sebuah buku tulis dengan pulpen.
Tak lama mondar-mandir, ia menuju meja belajar. Ia membuka lembaran buku lalu sedikit menunduk.
Ia membolak-balikkan setiap lembar buku dan mencatatnya di bawa terang bola lampu surya 10 watt.
Siswa kelas VII SMP Rokatenda itu fokus belajar dan mengerjakan tugas. Suasana sangat hening membuat dia nyaman belajar malam itu.
Mengenakan kaus oblong berwarna merah marun dengan celana pendek hitam, ia tenang dan fokus. Sementara kedua orangtuanya sibuk menyiapkan makan malam di dapur.
Setelah hampir satu jam belajar, Hilarius berhenti sejenak untuk ikut santap malam bersama kedua orangtuanya.
Sesudah makan malam, ia kembali ke meja belajar untuk melanjutkan aktivitasnya. Hal itu yang saban hari dia lakukan sejak listrik masuk di Pulau Palue, Kabupaten Sikka, NTT.
Di pulau terpencil ini, tahun 2021 Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) PT PLN sudah menerangi tujuh desa.
Kini pelajar di sana tambah semangat belajar untuk menggapai cita-cita yang cerah seperti terang lampu surya PLTS.
"Setiap malam saya belajar. Sekarang sudah ada listrik jadi sangat senang, kalau dulu masih pelita semangat belajarnya kurang,"ujar Hilarius seusai belajar.
Jauh sebelum listrik masuk, dia bersama pelajar lainnya belajar diterangi pelita yang dibuat dari kaleng bekas diisi minyak tanah. Harga minyak tanah pun terbilang mahal, per liter mencapai 10 ribu rupiah.
Belajar menggunakan cahaya lampu pelita tentu tidak baik bagi kesehatan. Nyala sumbunya menghasilkan asap hitam pekat.
Kadang ia harus menghirup udara kotor sehingga mengganggu sistem pernapasan.
"Dulu tidak nyaman karena pakai pelita. Bangun pagi lubang hidung sudah hitam semua," kenang dia.
Meskipun saat itu pakai pelita, dia tak patah semangat untuk belajar. Ayah dan ibunya terus memberikan motivasi agar semangat belajar.
Doa dan harapan mereka rupanya terkabul ketika listrik PLTS masuk ke wilayah itu. Kampung tak lagi gelap gulita.
Di sudut-sudut kampung berdiri tegak tiang listrik. Malam hari sudah terlihat terang karena di depan teras rumah sudah ada lampu listrik.
"Kami harus semangat belajar. Cukup waktu SD empat tahun lalu itu yang kami sengsara, sekarang tidak lagi susah. Listrik sudah menyala, tidak bising dan kami senang, " ujarnya.
Warga Penuh Syukur
Ia berharap agar pemerintah terus memperhatikan daerah atau pulau terpencil. Apalagi generasi muda, karena mereka lah yang akan menjadi harapan kampung, bangsa dan negara pada masa yang akan datang.
"Cita-cita saya jadi guru. Harapan saya, semoga listrik terus menyala 24 jam sehingga kami semangat untuk belajar," harapnya.
Buah hati pasangan suami istri Marianus Pajo (44) dan Maria Margareta Nona (44) itu mengaku sejak listrik masuk ke pulau ia semakin giat membaca dan belajar.
"Kami ingin seperti anak-anak lain di Indonesia, merdeka dari sisi penerangan agar bisa belajar aman menggapai cita-cita kelak,"ungkapnya.
Pulau Palue terletak di lepas pantai Pulau Flores bagian utara dan masuk wilayah Kabupaten Sikka, NTT. Pulau terluar di Sikka ini memiliki sebuah gunung berapi bernama Rokatenda.
Menurut warga, Palue dalam bahasa lokal artinya mari pulang, dengan luas wilayahnya sekitar 41 km persegi serta memiliki penduduk sekitar 10.000 jiwa.
Kecamatan Palue terdiri dari 8 desa yaitu Maluriwu, Reruwairere, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole, Nitunglea dan Lidi.
Perjalanan ke pulau Palue biasanya menggunakan perahu motor dari pelabuhan Lorens Say Maumere dengan biaya Rp 40.000 per orang dan membutuhkan waktu 4-5 jam perjalanan.
Sedangkan jika menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Kewapante ke Palue biayanya Rp 49.000 per orang dan membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam.
Jika dari Pelabuhan Ropa Ende menuju Palue menggunakan perahu motor ongkosnya Rp 20.000 per orang dan waktu tempuh 1 - 1,5 jam.
Dari Mausambi Ende menggunakan perahu motor biayanya Rp.20.000 dengan jarak tempuh 1-1,5 jam perjalanan.
Selain Hilarius, ada pelajar lainnya yang merasakan dampak dari kehadiran listrik di wilayah itu.
Ia adalah Nesa Tia (16). Nesa begitu ia akrab disapa, hampir setiap hari belajar. Bagi Nesa, semangat belajar harus ada dari dalam diri seseorang yang ingin maju dan berkembang.
Ia mengaku sejak listrik masuk ke pulau, semangat belajar mereka semakin meningkat. Karena tidak lagi sibuk harus membuat lampu pelita, tapi langsung menghidupkan stop kontak. Kadang bangun pagi hari agak cepat supaya bisa belajar.
"Sangat senang. Kalau belajar sangat membantu. Terus terang dulunya hanya pakai lampu pelita atau lilin kalau tidak punya solar atau bensin untuk menyalakan genset,"ujarnya.
Ia mengaku belajar diterangi lampu pelita atau lilin sangat kesulitan. Karena harus memaksa mata melihat huruf-huruf dalam buku bacaan.
"Jujur, kalau belajar pakai lampu pelita atau lilin saya sangat sulit untuk membaca buku, apalagi kalau pakai lampu pelita, hidung kita biasanya hitam semua hirup asap," ungkapnya.
Kini, mereka sudah merdeka karena listrik di Palue sudah menyala 24 jam. Tak ada lagi gelap, hanya berharap tetap terang hingga selamanya.
Warga Palue, Sebastianus (39) mengaku warga disana tak lagi susah seperti dulu mencari listrik mengisi arus baterai handphone dan menonton televisi.
Berkat PLTS dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) rumah Sebas tak gelap lagi. Sudah hampir tiga tahun terakhir ini, warga sudah menikmati listrik PLTS.
"Kami menikmati listrik ini sudah hampir tiga tahun lebih. Kami sangat bersyukur,"ujar Sebastianus.
Sebastian Pulang Kampung
Ia bercerita tahun 2021 masih merantau di Batam mencari nafkah menghidupi keluarganya. Namun, sejak PLTS masuk Palue, ia pulang kampung membuka usaha warung di pelabuhan Uwa.
Secara ekonomi cukup menguntungkan, karena tidak lagi membeli kayu bakar menyalakan api. Kini listrik sangat membantu memasak air di dispenser, memasak nasi di rice cooker dan lainnya untuk kepentingan operasional warung.
Selain itu, saat sore hingga malam hari listrik menjadi sumber penerangan di tempat usahanya.
Ia bersyukur karena energi bersih seperti PLTS tidak membuat polusi udara. Warga hanya benar-benar melihat cahaya lampu tanpa mendengar suara bising.
Menurut dia, PLTS merupakan solusi cerdas atasi listrik di daerah pelosok termasuk Palue karena energi matahari sangat ramah lingkungan.
"PLTS ini sangat bagus, tidak ribet harus membeli bahan bakar, tidak bising dan bebas polusi udara. Artinya sangat ramah lingkungan. Ini merupakan keunggulan dari cahaya matahari," ujar dia.
Ia menyatakan tempat menyimpan panel surya berada di Desa Ladolaka dan tanahnya disiapkan oleh masyarakat. Luasnya lebih dari satu hektar.
"Ketika mendengar PLN ingin membangun PLTS di sini waktu itu, warga sangat antusias dan menyerahkan tanah secara cuma-cuma," ungkapnya.
Warga lainnya, Selestinus Laba (50) mengaku masyarakat sudah merasakan kemerdekaan. Sebab listrik sudah masuk di daerah itu. Negara sudah hadir menolong kesulitan yang dihadapi masyarakat.
"Soal prioritas kebutuhan masyarakat Palue saat ini adalah listrik. Masyarakat berterima kasih kepada Bapak Joko Widodo. Dengan adanya program kecamatan terang, kami masyarakat Palue merdeka. Kami menikmati listrik PLTS," ujar dia.
Ia mengatakan keberadaan PLTS ini tidak hanya untuk melayani kebutuhan penerangan akan tetapi bisa mendukung kegiatan ekonomi rumah tangga, kegiatan pendidikan seperti PAUD, SD, SMP SMA, mendukung kegiatan pelayanan kesehatan di Polindes, Pustu dan Puskesmas.
Selain itu mendukung kegiatan pelayanan keagamaan, kegiatan penyelenggaraan pemerintahan baik di tingkat desa dan kecamatan.
Tokoh masyarakat Palue, Emanuel Lengo (65) mengaku bersyukur cuaca di Palue lebih banyak musim kemarau sehingga pasokan cahaya matahari untuk panel surya sangat cukup.
Ia mengatakan masyarakat tentu sangat antusias ketika ada pembangunan di daerah pelosok. Listrik masuk desa tentu sebuah kebanggan luar biasa.
"Kami sangat bersyukur,"cetusnya.
Sementara itu petugas PLN di Pulau Palue, Saifula Bahri menjelaskan daya listrik untuk pembangkit listrik tenaga surya di Palue memiliki daya 760 Kwp.
Ia menyampaikan terima kasih karena masyarakat sangat antusias menerima kehadiran PLTS.
Setiap hari mereka bekerja prima memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat atau pelanggan.
"Daya aktualnya untuk PLTS Palue ini 760 KWp,"ujarnya.
Ia mengajak masyarakat untuk bekerja sama menjaga dan merawat fasilitas PLN. Jika ada kendala seperti tiang tumbang, mohon segera dilaporkan kepada petugas PLN agar cepat diatasi.
Ia mengaku bangga karena warga telah merelakan tanah untuk pembangunan PLTS dan berharap listrik tetap stabil di wilayah itu.
Sementara itu Sekretaris Kecamatan Palue, Bernadeta Roja (50) menyatakan hingga kini masyarakat sangat senang dengan kehadiran listrik.
Bernadeta yakin pemerintah tidak akan tutup mata dengan keadaan warganya. Ia menilai warga sangat bersemangat untuk menjalani kehidupan sehari-hari setelah PLN hadir di Palue.
Ia mengak mayoritas penduduk pulau Palue yaitu petani, peternak hingga nelayan serta wiraswasta.
"Terima kasih kepada pemerintah, PLN yang sudah memperhatikan pulau terluar dan terpencil. Kami tentu sangat bangga dengan kehadiran PLTS, " ungkap dia.
Tingkatkan Rasio Elektrifikasi
Manager Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Flores, Tri Handoko mengaku sangat bersyukur karena beberapa pulau terpencil di Sikka sudah dialiri listrik.
Listrik masuk tidak hanya untuk menerangi tapi ada dampak bagi kualitas pendidikan dan dari sisi ekonomi masyarakat.
"Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa akhirnya pulau Palue berhasil kita listriki sejak akhir tahun 2021 dengan daya terpasang PLTS sebesar 760 KWP dan konsumsi listrik saat siang hari sebesar 90 KW dan jumlah pelanggan sebanyak 1.912 pelanggan, ini menambah torehan baru bagi PLN UIW NTT untuk melistriki sampai dengan pulau terpencil sehingga bisa memajukan perekonomian dan pendidikan terkhusus di pulau Palue," ujarnya.
Ia menyebutkan rasio elektrifikasi dari kabupaten Lembata sampai kabupaten Manggarai Barat saat ini berada di kisaran 98,26 persen. Terkhusus di Kabupaten Sikka sebesar 98,45 persen.
"PLN akan terus melakukan pembangunan di beberapa wilayah sampai dengan dusun-dusun yang belum berlistrik," terang dia.
Ia juga menyebutkan di bawah PLN Unit Pelayanan Pembangkitan Flores ada 22 lokasi PLTS tersebar di Flores, rata-rata konsumsi pemakaian pada saat siang hari sebesar 70 kw, sedangkan di wilayah kabupaten Sikka ada 3 PLTS PLN yang terpasang di beberapa pulau seperti, Pulau Palue, Pulau Kojadoi dan Parumaan.
Ia juga menyatakan Flores memiliki tingkat iradiansi yang cukup tinggi, sehingga PLN juga membangun PLTS di lokasi-lokasi terpencil.
Selain itu, pihaknya sedang merencanakan proyeksi pembangunan PLTS hybrid atau yang terinterkoneksi dengan sistem besar, sehingga ini sangat membantu dalam rasio pembangkit energy baru terbarukan untuk mewujudkan net zero emission.
Ia mengaku PLN terus meningkatkan kolaborasi dengan pemerintah daerah setempat terutama terkait penyediaan lahan dan perizinan. Dengan kolaborasi dan dukungan dari pemerintah daerah sangat membantu dalam proses percepatan pembangunan PLTS di lokasi terpencil.
Ia mengajak semua pihak untuk memberikan dukungan terbaik kepada PLN sehingga bisa sampai ke lokasi-lokasi pemukiman warga yang belum terjangkau listrik, mulai dari survey sampai berhasil melistriki rumah-rumah warga.
"Tentunya proses di atas, kami lalui dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, stakeholder lainnya dan masyarakat setempat agar seluruh pekerjaan berjalan dengan lancar.”
Rasio Elektrifikasi Naik
General Manager PLN NTT, F Eko Sulistyono mengatakan, peningkatan rasio elektrifikasi merupakan bentuk komitmen PLN dalam memberikan layanan kelistrikan bagi masyarakat di NTT.
"Terhitung angka rasio elektrifikasi pada tahun 2017 sebesar 59,85 persen. Meningkat hingga 96,07 persen di bulan September 2024. Ini artinya bahwa dalam jangka waktu tujuh tahun bisa meningkat 36 persen, sehingga tinggal sisa sekitar 4 persen lagi yang perlu ditingkatkan dalam waktu dekat. Jadi mari kita bersama sehingga NTT bisa 100 persen,” ucap Eko saat Hari Listrik Nasional di Kupang, Senin 28 Oktober 2024.
Ia mengaku PLN NTT juga siap mendukung terwujudnya NTT yang berdaya saing dan berkelanjutan dalam bidang kelistrikan.
“Listrik sebagai sumber daya yang tidak hanya menerangi rumah-rumah tetapi menghidupkan asa dan impian anak-anak untuk belajar dan juga kepada masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan, melalui tema Hari Listrik Nasional “Energi Baru Untuk Indonesia Maju”, PLN Unit Induk Wilayah (UIW) NTT juga berkomitmen dalam inovasi energi baru terbarukan yang bersih untuk perlindungan lingkungan dan lapangan kerja.
Harus Kolaborasi
Sementara itu, Asisten II Setda NTT, Stefanus F Halla mengatakan, kondisi geografis berkepulauan menjadi tantangan utama dalam perluasan kelistrikan terutama di pedesaan, sehingga pemerintah meminta kerja kolaborasi dalam menjalankan bantuan listrik di NTT.
“Wilayah kepulauan, daerah perbukitan serta pola penduduk yang menyebar tidak terpusat, sehingga hal ini menyulitkan biaya untuk perluasan hingga ke pedesaan,"kata Stefanus.
Untuk mengatasi persoalan yang ada, kata Stefanus, maka dibutuhkan koordinasi dan kerja kolaborasi baik pemerintah daerah maupun pusat dan seluruh stakeholder.
Ia juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada PLN karena ikut berkontribusi membangun NTT secara khusus asa anak-anak dari pulau terluar yang memang membutuhkan listrik.(Tribunflores.com/Gordy Donofan)