Kisah Pasukan Elite Indonesia Merebut Irian: Bergantung di Pohon Hingga Rebus Sepatu karena Lapar
Belanda tidak menduga Indonesia mampu melakukan infiltrasi melalui udara. Menurut mereka, rimba Irian Barat yang begitu rapat tidak mungkin dimasuki
Editor: Malvyandie Haryadi
Dalam kontak senjata, lima anggota gugur yaitu KU I Adim Sunahyu, PU I Suwito, PU I Lestari, dua orang dari RPKAD yakni Sukani dan seorang lagi tak diketahui namanya. Komandan Peleton Letda Agus Hernoto tertembak di kedua kakinya dan ditawan Belanda.
Sedangkan PU II Pardjo, kaki kanannya tertembak namun dengan sisa tenaganya berusah menyelinap. Setelah Belanda pergi, Pardjo berusaha merangkak (karena tak sanggup berdiri) menuju tempat kelima temannya yang gugur. Dia hanya sanggup berdoa dan tetap bertahan hidup di situ sekitar lima hari di antara mayat teman-temannya yang mulai membusuk.
Sebuah kebetulan beberapa orang Papua lewat. Mungkin kasihan melihat Pardjo yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat.
Setelah beberapa hari dirawat, digotong lagi bersama-sama menyusuri pantai menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak. Di sini ia memperoleh perawatan medis sebelum ditahan. Pada saat penahanan itu ia mendengar melalui radio Belanda bahwa telah terjadi gencatan senjata.
Setelah menjalani interogasi, ia dikirim dengan kapal laut ke Biak dan dari sana dibawa ke penjara di Pulau Wundi. Di sinilah akhirnya ia bertemu pasukan Resimen Pelopor, Kapten Kartawi dengan pasukannya, pasukan Peltu Nana, Serma Boy Tomas, Kapten Udara Djalaludin, Letnan Udara I Sukandar dan kru pesawat Dakota T-440.
Operasi Banteng II
Penerjunan di Kaimana yang pertama terdiri dari tiga pesawat Dakota yang diterbangkan oleh Kapten Udara Santoso dengan kopilot LU II Siboen, LU I Suhardjo dengan LU II M Diran, dan LU I Nurman Munaf dengan LU I Suwarta.
Penerbangan ini dipimpin Kapten Santoso. Operasi ini menerjunkan satu tim gabungan PGT dan RPKAD (23 RPKAD, 9 PGT, dan satu perwira Zeni) di bawah pimpinan Letda Heru Sisnodo dan Letda Zipur Moertedjo sebagai pimpinan penghancur radar di Kaimana.
Setelah istirahat satu malam di Langgur, keesokan harinya 26 April 1962 pukul 04.45 waktu setempat, tiga Dakota lepas landas menuju sasaran di daerah Kaimana dengan terbang rendah dalam keadaan hujan.
Pada saat fajar menyingsing sekitar pukul 05.30, pesawat mendekati daerah sasaran sekitar l0 kilometer dari kota Kaimana yang terletak pada suatu lembah. Pertama-tama diterjunkan adalah logistik, baru kemudian satu per satu pasukan keluar dan mendarat di Kampung Urere.
KU II Godipun masih sempat melihat buih-buih berkejaran di pantai Kaimana sebelum bel tanda persiapan untuk terjun, memecah kesunyian subuh itu.
Karena masih gelap, umumnya tidak bisa menebak di mana akan jatuh. Yang terlihat hanya gundukkan hitam yang ternyata adalah hutan belantara dengan pepohonan menjulang tinggi bagaikan raksasa. Sampai di sini, malapetaka langsung menimpa mereka.
Hampir semuanya mendarat di puncak-puncak pohon yang tingginya sekitar 50 m. Situasi ini sedikit menguntungkan bagi yang membawa beban ekstra berat, seperti pembawa radio. Karena jika langsung mendarat di tanah, kemungkinan cedera sangat tinggi.
Dropping zone ini mereka ketahui sebagai wilayah Kampung Urere yang alias Pasir Putih. Karena jatuh di atas pohon, banyak di antara anggota mengalami cedera.