Tahukah Anda tentang Kisah Miris di Balik Sejarah Pembangunan Patung Pancoran?
“Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani."
Editor: Malvyandie Haryadi
Dalam kondisi yang kurang sehat, Bung Karno kembali meninjau proses pemasangan. Seperti yang pertama, Edhi segera bergegas untuk turun dari atas, tetapi lagi-lagi dilarang oleh Bung Karno.
Bung Karno meminjam megaphone pasukan pengawal agar saya terus bekerja.
Mei 1970, Edhi mendengar kabar kalau Bung Karno akan melakukan inspeksi untuk ketiga kalinya. Akan tetapi hal itu ternyata tidak pernah terlaksana karena sakit Bung Karno semakin serius .
Pagi pukul 10.00 tanggal 21 Juni 1970, Edhi yang kala itu sedang berada di puncak Patung Dirgantara, melihat iring-iringan mobil jenazah melintas di bawah monumen.
Ternyata itu adalah iring-iringan mobil jenazah Bung Karno dari Wisma Yaso menuju Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Jenazah Bung Karno akan dibawa ke Blitar.
Badan Edhie lemas. Ia bergegas turun dan bersama rekannya Gardono, bergegas menuju Blitar untuk mengikuti upacara pemakaman Bung Karno.
Semingu setelah pemakaman Bung Karno, Edhie bersama tim pekerja monumen kembali ke Jakarta untuk melakukan pengerjaan akhir sekitar satu bulan.
Edhie meninggalkan monumen dalam kondisi yang belum diberi nama, belum diresmikan, dan masih memiliki utang.
Namun ia merasa ikhlas dengan apa yang telah ia kerjakan untuk seorang tokoh sebesar Bung Karno yang sangat ia kagumi. Tokoh yang sangat dekat dengan seniman dan menghargai seni.
“Saya rela demi rasa cintaku kepada bangsa dan negara dan cintaku kepada Bung Karno yang selalu mendorong dan membangkitkan keberanian saya untuk mewujudkan ide-ide dan mengerjakan karaya-karya monumental Bung Karno,” kata Edhi.
PENULIS: M. Akbar Linggaprana & Remigius Septian