Maskapai Belanda dan Sejarah Penerbangan Perintis di Papua
KLM memiliki kepentingan di sini karena memiliki rute ke Biak dengan Lockheed Constellation sebelum terbang menuju ke Sydney.
Editor: Malvyandie Haryadi
Merpati bermahkota
Pasca Perang Pasifik dan pengakuan kedaulatan Indonesia lewat KMB (Konferensi Meja Bundar) 1949, wilayah Papua masih merupakan bagian dari koloni Belanda.
Transportasi udara dinilai paling efisien dan cepat untuk menghubungkan kota atau desa terpencil di seluruh Papua, walaupun kondisi cuaca dan kontur wilayahnya patut diwaspadai bagi setiap penerbang perintis ini.
Pesawat kecil Cessna 180 milik KLu (AU Belanda) atau milik misionaris menjadi andalan transportasi di Papua tapi jumlahnya sedikit dan tidak rutin.
Karena itulah pemerintah setempat dengan bantuan investasi dari KLM mendirikan maskapai penerbangan pada tanggal 14 Juli 1955 bernama Nederlands Niew Guinea Luchtvaart Maatschapij atau yang dikenal sebagai Kroonduif (De Kroonduif NV), atau Merpati Bermahkota, burung endemik Papua.
KLM memiliki kepentingan di sini karena memiliki rute ke Biak dengan Lockheed Constellation sebelum terbang menuju ke Sydney.
Dengan NNGLM, penerbangan dapat diteruskan ke seluruh wilayah Papua ditambah kota-kota di Papua Nugini dari Lapangan Terbang Biak-Mokmer sebagai Pusat Operasi.
Sebagai modal pertama adalah dua unit de Havilland DHC-2 Beaver beregistrasi JZ-PAA dan JZ-PAB. Kemudian ditambah JZ-PAC dan JZ-PAD pada 25 September 1956.
Oleh Kroonduif, pesawat single engine kapasitas 2-3 penumpang ini dijadikan pesawat amfibi (Sea Beaver) dengan memasang sepasang floatagar agar dapat beroperasi di perairan/pantai.
Sayangnya setahun kemudian, terjadi kecelakaan yang pertama dialami Kroonduif. JZ-PAB jatuh saat survei di pantai dekat Merauke, tiga dari empat kru meninggal dunia. Kroonduif menggantinya dengan JZ-PAE yang operasionalnya sejak 14 Mei 1961.
PENULIS: Sudiro Sumbodo, Pemerhati Penerbangan
SUMBER: ANGKASA