Penyakit Menular Seksual Sifilis: Ini Tahapan dan Gejala Infeksinya
Selain HIV, salah satu penyakit menular seksual yang terus meningkat setiap tahunnya adalah sifilis, sering disebut Raja Singa.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Selain HIV, salah satu penyakit menular seksual yang terus meningkat setiap tahunnya adalah sifilis, sering disebut Raja Singa.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang dapat merusak organ tubuh.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sepanjang bulan Juli hingga September 2019, ada sekitar 1.586 pasien sifilis, yakni penyakit yang disebabkan oleh Infeksi Menular Seksual (IMS).
Baca: Dibebastugaskan karena Dianggap Hina Presiden, Dosen Unnes Pertanyakan Hal Ini
Baca: Pria Ini Lem Vagina sang Istri Setelah Tuduh Berselingkuh
Pasien ini berasal dari berbagai kelompok risiko seperti wanita pekerja seks, pria pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki (LSL), injection drug user (IDU), waria, pasangan berisiko tinggi, dan pelanggan pekerja seks.
Namun, Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M.Epid mengungkapkan pria cenderung lebih banyak menderita sifilis dibandingkan wanita.
“Karena banyak laki-laki yang ternyata LSL, sekarang sudah banyak gay dan dia menularkan kepada pasangannya juga yang laki-laki, sehingga laki-laki lebih banyak (tertular) dibandingkan dengan perempuan,” ujar Wresti saat ditemui dalam seminar media Sifilis, Silent Disease, Si Perusak Organ di Jakarta (12/02/2020).
Lalu, siapa saja yang berisiko tertular sifilis?
Menurut Wresti, sifilis dapat ditularkan dari orang yang memiliki banyak pasangan atau berganti-ganti pasangan dan melakukan kontak seksual melalui vagina maupun oral.
Selain itu, penularan sifilis juga terjadi saat berbagi jarum suntik dengan pengidap sifilis dan seorang ibu hamil yang menderita sifilis dapat menularkannya kepada janin di kandungan.
Tahapan dan Gejala Sifilis
Wresti juga menjelaskan, sifilis memiliki empat stadium atau tingkatan, di antaranya sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten, dan sifilis tersier.
1. Sifilis primer
Pada sifilis primer, bakteri memperbanyak diri pada tempat inokulasi dan membentuk chancre atau lesi pada kulit keras, biasanya berdiameter antara satu hingga dua cm.
Selama stadium ini, lesi yang muncul tidak menyebabkan nyeri atau sakit, sehingga dapat hilang dalam tiga hingga enam minggu.
Walaupun tidak menyebabkan nyeri, Wresti tetap menganjurkan para penderita segera berobat ke dokter agar bakteri sifilis tidak menyebar ke organ lain.
“Luka (sifilis primer) tidak nyeri sama sekali dan tergantung lokasinya, tapi kalau diobati cepat, kompilkasinya sedikit, banyak kasus yang bisa diobati,” sambungnya.
Bahkan, jika tidak segera diobati, kondisi tersebut juga mempermudah penularan HIV yang masuk melalui luka sifilis pada tubuh seseorang.
2. Sifilis sekunder
Setelah luka tersebut tidak diobati dan hilang dengan sendirinya, sifilis akan menyebar ke kelenjar getah bening setempat lalu masuk ke dalam pembuluh darah. Kondisi ini merupakan tahapan sifilis sekunder dengan lesi yang menetap hingga beberapa bulan.
Gejala yang sering muncul seperti bercak kemerahan khususnya pada tangan dan kaki, limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah bening.
Sedangkan gejala konstitusi atau umum seperti flu serta sakit kepala, mucous patch, kodiloma lata, alopesia atau rambut rontok tiba-tiba, dan gejala neurosifilis atau infeksi otak maupun sumsum tulang belakang.
3. Sifilen laten
Tahapan ketiga adalah sifilis laten, di mana bakteri mulai mengenai banyak organ tubuh. Pada tahap ini, sifilis tidak terdapat lesi dan terjadi tanpa gejala dalam 12 bulan pertama. Untuk mengetahuinya, diperlukan tes serologi reaktif.
4. Sifilis tersier
Pada tahapan yang paling berbahaya yaitu sifilis tersier, terjadi infeksi pembuluh darah yang dapat menyebabkan gejala seperti kebutaan, kerusakan jantung, otak, syaraf, tulang, hati, tuli bahkan kematian.
“Kalau sudah syaraf disebut neurosifilis, kalau sudah kena jantung disebut cardiosifilis, kalau ibu ke janin disebut sifilis kongenital, gejala di kulit pada sifilis lanjut disebut gumma, gejalanya tidak hanya di kulit, tapi bisa juga mengenai organ lain” ujar CEO Klinik Pramudia, dr. Anthony Handoko, SpKK, FINDSV.
Pengobatan sifilis pada ibu hamil
Jika Anda mengalami gejala di atas, maka disarankan untuk segera mengobatinya ke dokter. Dokter akan melakukan wawancara, lalu melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium hingga menentukan terapi yang cocok bagi pasien penderita.
“Setelah Anda didiagnosa sifilis, obat utamanya adalah Penisilin, kita harus bersyukur karena Penisilin masih sensitif terhadap bakteri,” sambung Anthony.
Ketika seorang ibu menderita sifilis, maka janin yang dikandungnya juga akan menderita penyakit tersebut. Kondisi ini disebut sefilis kongenital yang menyebabkan kematian janin atau kecacatan setelah janin dilahirkan.
Untuk mengetahui sifilis kogenital, Wresti menganjurkan untuk para ibu hamil untuk melakukan tes sifilis.
“Kemenkes sudah punya program untuk ibu-ibu hamil supaya dicek sifilis, dicek HIV, dan cek hepatitis, yang disebut program triple elimination” ujar Wresti.
Jika seseorang telah sembuh dari sifilis, bukan berarti dia menjadi kebal terhadap bakteri Treponema pallidum. Sebab, pasien tersebut masih berpeluang kembali menderita sifilis.
Pasien dengan gejala sifilis yang muncul kembali, memiliki peningkatan empat kali lipat mungkin gagal dalam pengobatan sebelumnya atau terinfeksi kembali, sehingga harus diberikan pengobatan yang lebih serius.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Penyakit Menular Seksual Sifilis, Kenali Tahapan dan Gejala Infeksinya"