Bedah Buku Kritik Sastra dan Model Pembelajaran Literasi yang Menggugah Siswa
Buku antologi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bahan bacaan tentang kritik sastra Indonesia terkini.
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, Jakarta - Kebangkitan kritik sastra telah dimulai. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah menjadi bidan untuk kelahiran baru atas kritik sastra yang lama tak terungkap dengan sistematis dalam sebuah buku lengkap seperti buku “Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang, dan Masyarakat, Sayembara Kritik Sastra” yang dibedah di Hotel Sultan, Rabu (17/11/2021).
Acara bedah buku dibuka resmi oleh Ketua Panitia, Dwi Pudyastuti, Pustakawan Badan Bahasa. Sebelum bedah buku ada penampilan musikalisasi puisi dari Komunitas Vanderwijck, Uhamka.
Buku Antologi Kritik Sastra yang dibedah tersebut memuat 20 naskah karya terpilih, termasuk tiga naskah pemenang Sayembara Kritik Sastra 2020 yang diselenggarakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, yang kemudian menerbitkannya.
Buku antologi ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan bahan bacaan tentang kritik sastra Indonesia terkini.
Pembahas dalam bedah buku antologi ini adalah pegiat budaya yang juga editor harian Kompas, Putu Fajar Arcana, dan peneliti sastra lisan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta Muhammad Novianto, salah satu kritikus sastra yang naskahnya masuk dalam 20 tulisan antologi ini.
Acara ini, diikuti langsung oleh para guru, pengurus taman bacaan masyarakat, pegiat seni dan budaya. Sedangkan melalui zoom, peserta lebih banyak lagi karena datang dari berbagai wilayah di Tanah Air.
Baca juga: Balai Bahasa Jawa Barat Sosialisasi Model Pembelajaran Sastra Sunda di Sekolah
Putu Fajar Arcana mengapresiasi terbitnya buku antologi kritik sastra ini. Mengapa?
Menurutnya, sudah lama buku tentang kritik sastra tak ada. Bahkan ketika diminta menjadi juri, dirinya bertanya dalam hati, ”Apakah masih ada kritik sastra, karena jujur saja, ranah ini makin ditinggalkan. Hal ini diperparah dengan matinya majalah sastra tahun 1980-an dan 1990-an, Horizon. Akibatnya, krtik sastra tak punya tempat,” ungkapnya.
Bli Can, sapaan Putu, lebih lanjut mengatakan, dari sisi naskah yang dibaca dan kemudian disaring menjadi 20 naskah terbaik, semuanya sudah mengarah ke bentuk penulisan sastra.
“Saya kagum, karena 20 tulisan yang akhirnya terangkum dalam antologi kritik ini, menulis kritiknya sudah seperti karya sastra itu sendiri. Sebaliknya tak menggunakan istilah atau bahasa ilmiah yang biasa digunakan untuk jurnal,” katanya.
Apresiasi juga disampaikan peneliti sastra lisan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Sasti Sunarti. Menurutnya, sayembara kritik sastra ini sangat penting, karena ruang untuk kritk sastra sangat terbatas.
Dia menyimpulkan, berdasarkan obyek kajian, kritik sastra ini meliputi situasi sastra dan kebudayaan Indonesia saat ini. Misalnya sastra lisan, sastra manuskrip, satra anak, sastra Peranakan, sastra perjalanan, dan sastra mutakhir.
Sedangkan Muhammad Novinato, yang merupakan pegiat sastra dan budaya di Komunitas Vanderwijck menceritakan bagaimana proses dirinya mengikuti sayembara kritik sastra ini.
“Saya berntung karena sebelum menulis kritik, panitia memberikan kesempatan kami mengikuti semacam workshop selama tiga kali oleh pemateri yang handal dalam hal kritik sastra,” katanya.