5 Fakta Paparan KNKT soal Investigasi Lion Air JT 610, Kronologi Pesawat Jatuh hingga Sensor Rusak
Hari ini, Rabu (28/11/2018), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil investigasi awal kecelakaan Lion Air PK-LQP JT 610.
Penulis: Daryono
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Hari ini, Rabu (28/11/2018), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) membeberkan hasil investigasi awal kecelakaan Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610.
Pada Kamis pekan lalu, KNKT juga membeberkan hasil investigasi awal atas jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di depan rapat Komisi V DPR RI.
Sebagaimana diketahui, pesawat Lion Air JT 610 tujuan Jakarta-Pangkalpinang itu jatuh di perairan Karawang pada 29 Oktober 2018.
Dalam kecelakaan ini, sebanyak 189 penumpang dinyatakan seluruhnya tewas.
Baca: Dua Rekomendasi KNKT untuk Lion Air
Lantas bagaimana hasil investigasi awal KNKT atas penyelidikan jatuhnya pesawat Lion Air JT 610?
Berikut ini Tribunnews.com merangkum fakta-fakta pemaparan KNKT:
1. Kronologi jatuhnya pesawat
KNKT memaparkan kronologi jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP melalui pembacaan sebagian data pada kotak hitam atau blackbox.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menyebutkan, data yang ia dapatkan memperlihatkan pesawat mengalami stall atau kehilangan daya angkat sehingga terjatuh.
"Garis merah di sini menunjukkan pesawat alami stall atau stick shaker."
"Jadi kemudi di sisi kapten pesawat bergetar mengindikasikan pesawat akan alami stall," jelasnya pada rapat kerja bersama Komisi V DPR, Menhub Budi Karya Sumadi, Basarnas, BMKG dan lainnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
Ia melanjutkan, terdapat fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dalam pesawat, yang berfungsi untuk mencegah hidup pesawat naik terlalu tinggi (angle of attack) dan alami stall.
Namun, berdasarkan catatan black box, ketika MCAS hendak menurunkan hidung pesawat saat terjadi angle of attack, sang pilot diduga berusaha menaikkannya kembali.
Kondisi ini mengakibatkan pesawat kehilangan daya angkut dan terjatuh.
"Jadi setelah trim down, dilawan pilotnya trim up, terus sampai dengan akhir penerbangan. Beban kemudi jadi berat kemudian pesawat turun," paparnya.
2. Hidung pesawat Lion Air turun otomatis 24 kali dalam 11 menit
Dalam laporan awal investigasi KNKT disajikan data dari kotak hitam Flight Data Recoreder (FDR) yang menunjukkan, sebelum jatuh, hidung pesawat Lion Air JT610 turun secara otomatis hampir 24 kali dalam 11 menit.
Pilot dan kopilot berulang kali berupaya untuk membawa pesawat naik kembali, sebelum akhirnya kehilangan kontrol.
Baca: KNKT Ungkap Pesawat Lion Air Alami 6 Kerusakan, Pilot Mengeluh Kendali Terasa Berat Saat Penerbangan
Pesawat kemudian menukik dengan kecepatan sekitar 700 kilometer per jam, sebelum akhirnya menghantam laut.
Data FDR Lion Air JT610 bisa dilihat di foto di bawah ini.
Perhatikan grafik biru TRIM MANUAL dan grafik orange TRIM AUTOMATIC.
Hidung pesawat turun lebih dari 20 kali dalam 11 menit (grafik oranye).
Grafik biru menunjukkan upaya pilot membawa hidung pesawat naik kembali.
Laporan awal KNKT dari pembacaan data FDR ini konsisten dengan penyelidikan Boeing soal sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).
MCAS adalah sistem otomatis yang mencegah pesawat stall atau kehilangan daya angkat dengan menurunkan hidung pesawat secara otomatis, meski dalam kondisi terbang manual (Autopilot OFF).
Meski demikian, MCAS bukan satu-satunya faktor penyebab jatuhnya Lion Air JT610.
Kepala Subkomite Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo sendiri dalam jumpa pers di kantor Kemenhub, Rabu (28/11/2018), mengatakan bahwa insiden ini merupakan multiple failure.
"Pilot menghadapi berbagai kerusakan dalam waktu yang sama," kata Nurcahyo.
Faktor lain yang masih diselidiki saat ini adalah sensor Angle of Attack (AoA) dalam pesawat.
Sensor mirip sirip kecil yang berada di samping hidung pesawat ini mendeteksi sudut angle of attack (kemiringan hidung pesawat) saat terbang.
3. Saat penerbangan sebelumnya, Lion Air PK-LQP alami kondisi serupa tapi bisa diatasi pilot
Dalam penerbangan sebelumnya, yaitu rute Denpasar-Jakarta, pesawat ini menurutnya turut mengalami kondisi serupa.
Namun, sang pilot mematikan MCAS untuk menghindari konflik ketika hidung pesawat berusaha dinaikkan.
Dari kejadian itu, pabrikan pesawat Boeing membuat petunjuk untuk seluruh operator penerbangan pesawat.
Petunjuk itu merekomendasikan agar pilot mematikan MCAS ketika terjadi hal serupa.
"Prosedur yang dia (pilot penerbangan Denpasar-Jakarta) lakukan belum ada sebelumnya. Dia punya inisiatif sendiri matikan automatic trim."
"Pilot-pilot tidak diberi training seperti itu," kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono saat rapat kerja bersama Komisi V DPR, Menhub Budi Karya Sumadi, Basarnas, BMKG dan lainnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11/2018).
4. Bermasalah sejak tiga hari dengan enam masalah.
Melansir Kompas.com, Pesawat Lion Air PK-LQP ternyata sudah bermasalah sejak tiga hari sebelumnya.
Dalam tiga hari, ada enam masalah yang dialami pesawat itu.
Hal ini diketahui oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi ( KNKT) berdasarkan data perawatan pesawat.
"Dari data perawatan pesawat, sejak tanggal 26 Oktober, tercatat ada enam masalah atau enam gangguan yang tercatat di pesawat ini," kata Ketua Sub Komite Investigasi KNKT Nurcahyo Utomo saat merilis temuan awal jatuhnya pesawat, di Kantor KNKT, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (28/11/2018).
Baca: KNKT: Lion Air PK-LQP Terbang dengan Masalah dari Denpasar Menuju Jakarta Selama 1,5 Jam
Nurcahyo mengatakan, enam masalah yang terjadi itu berkaitan dengan masalah indikator kecepatan dan ketinggian pesawat.
Masalah itu masih terus terjadi sampai penerbangan terakhir sebelum pesawat jatuh, yakni pada rute Denpasar-Jakarta pada 28 Oktober.
Hingga akhirnya, pesawat jenis Boeing 737 Max 8 itu jatuh di perairan Karawang saat menempuh rute Jakarta-Pangkal Pinang.
"Ini yang tercatat dalam buku perawatan pesawat," kata Nurcahyo.
5. KNKT duga kerusakan sensor AoA jadi penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK LQP
Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo mengatakan adanya dugaan kerusakan pada sensor Angle of Attack (AoA) yang menyebabkan pesawat itu kehilangan daya angkat hingga jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 lalu.
Sensor AoA dipasang di bagian depan pesawat dan dekat dengan hidung pesawat serta diletakkan di bagian kanan dan kiri.
“Kami masih mencari tahu kenapa AoA sebelah kiri lebih besar dari sebelah kanan hingga sebesar 20 derajat yang terjadi terus menerus selama rekaman Digital Flight Data Recorder (DFDR), sehingga stick shaker sebelah kiri terus aktif, stick shaker itu indikator yang menunjukkan pesawat bisa mengalami stall atau kehilangan daya angkat,” jelas Nurcahyo di depan awak media.
Nurcahyo kemudian menjelaskan, second in command (SIC) atau co-pilot sempat berkomunikasi dengan petugas pemandu penerbangan bahwa pesawat mengalami “flight control problem” dan bertanya mengenai ketinggian pesawat.
“SIC sempat bertanya kepada petugas pemandu penerbangan tentang ketinggian pesawat serta kecepatannya yang ditunjukkan di layar radar petugas pemandu lalu lintas penerbangan,” imbuh Nurcahyo.
Problem kontrol penerbangan yang dialami pilot juga terekam di DFDR.
“DFDR mencatat saat sirip pesawat dinaikkan maka trim Aircraft Nose Down (AND) otomatis aktif diikuti input pilot untuk melakukan trim Aircraft Nose Up (ANU), trim AND dihentikan saat sirip pesawat diturunkan,” ungkapnya.
“Kejadian itu terus menerus terjadi selama rekaman berlangsung dan DFDR berhenti melakukan perekaman sekitar 12 menit dan 54 detik setelah pesawat lepas landas dari Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatt,” ucapnya.
Nurcahyo mengatakan keanehan terjadi saat sensor AoA sebelah kiri menyatakan, pesawat berpotensi stall tetapi AoA sebelah kanan tidak.
Nurcahyo juga mengatakan, pihaknya juga akan berkomunikasi dengan Boeing selaku produsen pesawat itu apakah memang ada alat otomatis yang dipasang di pesawat untuk menurunkan atau menaikkan hidung pesawat agar pesawat tidak kehilangan daya angkat.
“Kami masih belum tahu apakah ada alat sensor otomatis itu, kami akan segera mengunjungi Boeing selaku produsen pesawat,” pungkasnya.
Nurcahyo mengatakan, temuan yang disampaikan KNKT hari ini merupakan laporan awal, yakni laporan yang didapat setelah 30 hari usai kejadian kecelakaan.
Laporan ini bukan merupakan kesimpulan tentang kecelakaan.
"Jadi ini adalah mengenai fakta, di dalamnya tidak ada analisis dan kesimpulan, karena faktanya belum semuanya terkumpul," kata dia.
(Tribunnews.com/Daryono)