Ine Febrianti untuk Sepiring Mi Aceh dan Secangkir Kopi Gayo
Betapa Ine Febrianti belum merasa sempurna memerankan monolog 'Cut Nyak Dien' sebelum tampil di Aceh. Ia berhasrat menikmati mie aceh dan kopi Gayo.
Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan Serambi Indonesia, Fikar W Eda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepiring mi aceh dilahapnya penuh semangat, sampai tetes kuah terakhir. Udara Jakarta panas Senin siang, 7 September 2015, tak membuatnya rikuh saat singgah di sebuah warung mi aceh tanpa pendingin ruangan di Jalan Teuku Cik Di Tiro II, Menteng, Jakarta Pusat.
Ditemani seniman musik Jassin Burhan dan pekerja teater Andra, artis kenamaan Indonesia, Ine Febrianti menyempurnakan ‘upacara siang’ itu dengan minuman penutup, secangkir kopi arabika dari Gayo.
"Ini pertama kali saya makan mi aceh dan minum kopi gayo. Saya benar-benar terkesan. Begitu nikmat,” kata She Ine Febrianti, yang baru saja kembali dari Magelang, Semarang dan Pekalongan dalam rangka tur monolog ‘Cut Nyak Dhien.’
Ia berhasrat, suatu saat bisa menjejakkan kaki di Aceh dan melahap mi aceh sepuasnya. Mengunjungi perkebunan kopi gayo dan merasakan aroma kopi yang segar.
“Saya sangat ingin berkunjung ke Aceh. Menghirup udaranya. Melakukan napaktilas perjalanan Cut Nyak Dhien,” kata ibu dua anak hasil perkawinannya dengan kameramen senior Indonesia, Yudi Datau.
Di warung kecil milik pengusaha Aceh, Zoel Sotex itu, Ine Febrianti menyempatkan diri berpose dengan peralatan pembuat martabak aceh dengan kuali datar.
“Sebuah pengalaman baru, siang ini, ketika saya menyantap mi aceh dan menyeruput kopi gayo,” cerita Ine. Berulang kali ia menghirup aroma kopi gayo sambil memejamkan mata. “Sungguh sangat harum kopi ini,” katanya sembari menarik napas dalam-dalam.
Ia pun membawa pulang sebungkus bubuk kopi arabika seberat 250 gram produksi Tigris Takengon.
She Ine Febrianti adalah artis panggung yang sejak setahun terakhir mendalami karakter sosok Cut Nyak Dhien, perempuan tegar dan perkasa dari Tanah Aceh. Penyair Rendra menyebut Cut Nyak Dhien sebagai ‘harimau yang tabah dan jelita.’
Cut Nyak Dhien adalah sosok perempuan sempurna. Pemimpin pasukan gerilya melawan kolonialis, perempuan religius dan ibu rumah tangga. Semangat Cut Nyak Dhien itulah yang dihidupkan kembali melalui karya monolog ‘Cut Nyak Dhien’ yang disutradarai dan dimainkan sendiri oleh Ine Febrianti.
Sepanjang Agustus 2015, monolog Cut Nyak Dhien dipentaskan di Magelang, Semarang, dan Pekalongan.
Di Magelang, pertunjukan berlangsung di Sekolah Taruna. Di Semarang, Cut Nyak Dhien dimainkan atas kerja sama Forum Wartawan Balai Kota (Forwakot) Semarang, Universitas PGRI Semarang, dan ‘Rumah Budaya Kawan Kita.’
Ribuan penonton memadati ruangan pertunjukan dan mengikuti secara seksama setiap detil adegan berdurasi 40 menit itu. Penonton tampak terpukau menyaksikan monolog Ine yang menceritakan kehidupan Cut Nyak Dien semenjak menikah dengan suami pertamanya, Teuku Ibrahim, sampai pembuangannya ke Sumedang.
Sepeninggal Teuku Ibrahim yang meninggal di medan perang, Cut Nyak Dien kemudian menikah dengan Teuku Umar dan terus mengobarkan perjuangan untuk mengusir penjajah dari Aceh.
Ine mengakui sangat terinspirasi dengan sosok Cut Nyak Dien yang juga pernah diangkat dalam film berjudul ‘Tjoet Nja’ Dhien’ dibintangi Christine Hakim.
“Cut Nyak Dien itu perempuan pejuang yang gagah berani. Tak melupakan perannya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai istri. Cut Nyak Dien itu pejuang yang lengkap,” jelas Ine.
Monolog ‘Cut Nyak Dien’ pertama kali dipentaskan di Galeri Indonesia Raya Jakarta pada 13 April 2014, dan dilanjutkan di Teater Ketjil Taman Ismail Marzuki selang beberapa waktu kemudian.
Meski telah melakukan penghayatan sangat baik terhadap sosok Cut Nyak Dhien, tapi Ine belum menganggapnya sempurna sebelum dirinya datang ke Aceh dan memainkan karya monolog itu di sana.
“Saya sungguh sangat ingin ke Aceh. Menghayati napas Cut Nyak Dhien. Saya ingin menapaktilasinya,” kata Ine.
Ia berencana akan masuk ke hutan Aceh Barat dan Tanah Gayo yang menjadi jalur lintasan Cut Nyak Dhien saat memimpin gerilyawan Aceh dalam perang kolonial.
“Cut Nyak Dhien adalah guru bagi semua kita, guru yang menegakkan perlawanan terhadap penindasan,” katanya lagi.