Kongres ke-19 Persatuan Produser Fim Indonesia Memanas
Dugaan praktik gratifikasi mengemuka pada pelaksanaan Kongres ke-19 Persatuan Produser Fim Indonesia (PPFI)
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dugaan praktik gratifikasi mengemuka pada pelaksanaan Kongres ke-19 Persatuan Produser Fim Indonesia (PPFI).
Dugaan ini muncul, setelah adanya pertanyaan dari peserta kongres tentang biaya yang dikeluarkan PPFI untuk pejabat Kemenparekraf sebesar Rp 36 juta.
“Jika benar terjadi pemberian semacam itu, sebaiknya segera dilaporkan ke KPK. KPK yang kemudian melakukan verifikasi dan menentukan, apakah pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau bukan,” ungkap Krisna Mukti, Anggota Komisi X DPR.
Di sisi lain, Krisna menyayangkan jika pemberian yang berkaitan dengan jabatan tersebut, dilakukan PPFI. Namun pada sisi berbeda, dia juga mengatakan, bisa jadi hal itu disebabkan ketidaktahuan bahwa pemberian tersebut berpotensi pada gratifikasi tadi.
“Jadi, sebaiknya memang harus berhati-hati,” kata Krisna.
Dugaan itu pula, yang menjadi salah satu alasan keluarnya dua anggota tim formatur, Ody Mulya Hidayat dan Chand Parwez Servia dari PPFI.
Menurut Chand Parwez, sebenarnya pertanyaan peserta kongres terkait pemberian kepada pejabat Kemenparekraf, tersebut, dipicu dari keterlambatan penyampaian bahan dan laporan pertanggungjawaban keuangan.
Laporan tersebut, menurut Chand Parwez baru diberikan pada hari kongres sehingga anggota tidak diberikan kesempatan sama sekali untuk mempelajari.
“Sangat mengkhawatirkan, apalagi pemberian kepada pejabat Kemenparekraf jelas-jelas merupakan perbuatan yang dilarang,” jelas Parwez.
Tidak hanya pemberian kepada pejabat Kemenparekraf. Keterlambatan penyampaian bahan laporan keuangan, juga memicu pertanyaan lain seputar besarnya biaya entertainment lebih dari Rp 90 juta.
Biaya tersebut, menurut Parwez sebelumnya juga tidak pernah dibicarakan dengan anggota dan sesama pengurus lain.
“Tahun 2014 lalu, kami para anggota PPFI juga dimintai sumbangan oleh Ketua Umum untuk organisasi, berkenaan dengan fasilitas pengembalian/keringanan Pajak Hiburan dari Pemda DKI. Tapi laporan keuangan yang kami terima, tidak mencatat sumbangan tersebut sebagai pendapatan lain-lain,” papar Parwez.
Dalam konteks itulah Parwez melihat, bahwa bahwa Kongres ke-19 gagal menjadikan PPFI sebagai wadah penyampaian apresiasi anggota, sebagaimana diamanatkan AD/ART organisasi.
Sesuai ketentuan Pasal 22 ayat 2 Anggaran Rumah Tangga PPFI, misalnya, bahan-bahan kongres wajib dikirimkan kepada anggota sekurang-kurangnya 15 hari sebelum pelaksanaan kongres.
Bukan cuma persoalan laporan keuangan. Hal lain yang memicu mundurnya Parwez dan Ody, adalah terkait mekanisme terpilihnya Firman Bintang, anggota lain tim formatur, sebagai Ketua Umum PPFI.
Menurut Ody, awalnya tercatat 46 pemilik hak suara pada voting pertama tentang mekanisme pemilihan formatur. Peserta kongres kemudian menyetujui bahwa hak suara yang tercatat adalah 46 votes dan tidak ada lagi tambahan hak suara untuk voting selanjutnya.
Anehnya, pada saat voting dilakukan untuk memilih tim formatur, tiba-tiba jumlah suara menggelembung menjadi 49 tanpa penjelasan yang transparan kepada peserta kongres.
“Hal ini menunjukkan bahwa ada usaha yang ingin memaksakan kemenangan dalam pemilihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak demokratis dan berbudaya,” kata Ody.
Ody menambahkan, di saat tim formatur sedang menyusun kepengurusan baru, tiba-tiba Firman Bintang yang juga Ketua Umum demisioner menyampaikan laporan tim formatur kepada kongres.
Setelah itu, secara sepihak Firman menyatakan, bahwa dirinya adalah Ketua Umum dalam kepengurusan yang baru dan meminta waktu satu minggu untuk menyusun ‘kabinet’ nya.
“Sebagai sesama tim formatur, kami tidak pernah menyepakati penunjukan beliau sebagai Ketua Umum,” kata Ody.
PPFI sendiri, seusai kongres menyatakan tekad untuk merebut kembali penyelenggaraan Festival Film Indonesia (FFI).
Sys NS dengan tegas menyatakan, “FFI itu milik PPFI dan harus dikembalikan ke PPFI. Mari Bung rebut kembali!”
Terkait tekad tersebut, pengamat film, Bowo Leksono mengatakan, siapapun penyelenggara FFI, hendaknya bisa memanfaatkan anggaran tersebut secara benar untuk kemajuan film tanah air.
Sebab, anggaran untuk FFI yang besarnya sekitar Rp 8-9 miliar, berasal dari APBN.
“Ini duit rakyat. Kalau tidak bisa menyelenggarakan FFI, sebaiknya uang tersebut diberikan saja kepada komunitas film di seluruh Indonesia, yang sudah jelas berjuang untuk film nasional,” kata Bowo, yang juga Direktur Cinema Lovers Community (CLC).