Artis Terlibat Prostitusi Wajib Dapat Kompensasi, Rela?
Apalagi, jika merujuk UU TPPO, setiap korban wajib mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Fabian Januarius Kuwado/Kompas.com
TRIBUNNEWS.COM - Kriminolog sekaligus pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) perlu direvisi.
Peristiwa pengungkapan kasus prostitusi yang melibatkan artis Nikita Mirzani oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, kata Reza, menjadi dasar usulan revisi tersebut.
"Kelemahan mendasar ada pada UU TPPO. Jadi UU tersebut memang perlu direvisi," ujar Reza, Minggu (13/12/2015).
Kelemahannya, kata Reza, UU itu memosisikan pekerja seks seperti Nikita hanya sebagai korban.
Sementara, predikat pelaku tindak pidana perdagangan orang dibebankan kepada mucikari serta manajernya.
Namun, piranti hukum ini mengabaikan fakta bahwa Nikita dan pekerja seks lain, khususnya pekerja seks kelas atas, memiliki kehendak, secara sukarela, bekerja sama dan sengaja berencana menjadi pekerja seks.
Artinya, seharusnya pekerja seks seperti ini dikategorikan bukan hanya sebagai korban, melainkan sebagai bagian dari komplotan kejahatan itu sendiri.
Apalagi, uang hasil tindak pidana itu tentu dinikmati bersama-sama.
"Orang-orang seperti itu jelas tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang tereksploitasi sehingga secara substansif, mereka bukanlah korban, melainkan pelaku," ujar Reza.
"Apalagi, jika merujuk UU TPPO, setiap korban wajib mendapatkan kompensasi dan restitusi. Nah, silakan jawab, relakah jika si artis justru mendapatkan ganti rugi? Saya tidak rela!" lanjut dia.
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menggerebek aktivitas prostitusi di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (11/12/2015) sekitar pukul 21.00 WIB.
Artis Nikita Mirzani yang diduga menjadi pekerja seks diamankan dalam penggerebekan itu. Polisi juga menangkap O yang diduga sebagai mucikari dan F, manajer Nikita.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah menjual NM. Adapun NM dianggap sebagai korban.
Keduanya dikenakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.