Kisah Siege of Jadotville, Nasib Pasukan yang Dilupakan
Alkisah, saat itu Angkatan Bersenjata Irlandia yang masih baru dan tak berpengalaman itu ingin menunjukkan kontribusinya kepada dunia.
Editor: Mohamad Yoenus
TRIBUN-VIDEO.COM - Bicara soal film perang, akhir-akhir ini mulai bermunculan karya sinema berbau militer berkualitas yang justru ditayangkan langsung di layar kaca (direct to viewer) tanpa sempat mampir ke bioskop.
Jika kanal seperti HBO memiliki konten eksklusif seperti Band of Brothers dan The Pacific, Netflix yang menjadi pemain baru di kancah aplikasi film berlangganan ternyata juga sudah memiliki film aksi menarik yang diproduksi secara inhouse.
Salah satu film aksi militer yang menarik adalah The Siege of Jadotville (2016) karya sutradara Richie Smyth yang mengambil kisah nyata pengepungan kontingen pasukan penjaga perdamaian PBB asal Irlandia di Kongo pada 1961.
Alkisah, saat itu Angkatan Bersenjata Irlandia yang masih baru dan tak berpengalaman itu ingin menunjukkan kontribusinya kepada dunia. Salah satu caranya adalah dengan berkontribusi pada pasukan perdamaian PBB yang dikirim untuk menstabilkan Kongo.
Negeri yang pernah dikenal sebagai Zaire tersebut pada dekade 1960an adalah ironi. Negerinya kaya mineral, tetapi sekaligus jadi kutukan.
Provinsi Katanga, yang sangat kaya mineral langka, termasuk Uranium, berkontribusi pada jalannya sejarah dengan menjadi sumber bahan baku bom atom yang menyasar Hiroshima dan Nagasaki.
Moishe Tshombe dan partai CONAKAT mengumumkan kemerdekaan Katanga dari Kongo, yang didukung penuh oleh para pengusaha Perancis, Inggris, dan Belgia yang ingin mengamankan bisnisnya.
Dengan latar belakang itulah kontingen Irlandia yang dipimpin oleh Commandant Pat Quinlan (Jamie Dornan, Fifty Shades of Grey) dan kompi A yang dipimpinnya ditugaskan ke Katanga. Sang Danki pandai tetapi naif.
Pat Quinlan terlalu banyak berteori dari buku-buku biografi para Jenderal perang yang dibacanya, tetapi anak buahnya sendiri ragu pada kemampuan pemimpinnya yang sangat ingin membuktikan diri itu. Untungnya ada Sersan Jack Prendergast (Jason O’Mara) yang piawai menjembatani sang komandan dengan anak buahnya.
Di Katanga, 156 prajurit Irlandia tersebut disambut dingin oleh para penduduknya yang justru mendukung para pengusaha dan industrialis Eropa untuk memerdekakan diri dari Kongo.
Keadaan diperparah dengan keberadaan ribuan tentara bayaran yang dikirim diam-diam oleh rezim Charles de Gaulle yang ingin mempertahankan bisnis Perancis di Kongo. Para tentara bayaran tersebut, yang dipimpin oleh Rene Faulques (Guillaume Canet), dibayar untuk mempertahankan dan mengamankan tambang.
Markas kontingen PBB yang berlokasi di desa Jadotville tersebut sangat jauh dari kata ideal. Tidak ada perkubuan, hanya ada beberapa rumah, gudang, dan kapel. Lokasi itu bahkan dibelah oleh jalan kasar dan dipunggungi bukit sehingga mudah untuk diserang.
Persenjataan dan perlengkapan yang dibawa oleh prajurit juga boleh dibilang jauh dari modern untuk standar Perang Dunia II. Setiap prajurit hanya membawa senapan seperti Lee Enfield, FN FAL, senapan mesin Bren, dan pistol mitraliur Carl Gustav. Tidak ada senjata berat kecuali mortir 60 mm.
Para tentara Irlandia yang diperkirakan tidak akan bertempur ini ternyata masuk dalam pusaran nasib yang tidak dapat mereka tentukan sendiri.