Kemala Atmodjo Nilai IBOS Tidak Mendesak Diterapkan: Ada Kecemasan Jadi ''Business Intelligence''
Integrated Box Office System (IBOS) Bisa Jadi Alat Korsel untuk Kuasai Bisnis Film Indonesia.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pembentukan Integrated Box Office System (IBOS) oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) guna mengakomodasi hibah senilai 5,5 juta dolar dari Korea Selatan terus menuai kritik.
Pengamat Industri Perfilman Nasional Kemala Atmojo menilai IBOS tidak mendesak diterapkan di Indonesia.
Kondisi perfilman Tanah Air saat ini, Kemala mengingatkan, justru sedang berada dalam masa puncak.
Tren positif ini telah berlangsung sedari 2016.
“Penonton film perlahan-lahan juga meningkat dan diharapkan terus meningkat. Jadi kondisi perfilman kita tidak dalam kondisi sekarat. Maka tidak ada urgensinya menerapkan IBOS,” kata Kemala di Jakarta.
Perihal keterbukaan informasi, Kemala menjelaskan, telah diatur dalam UU Perfilman.
Dalam aturan, misalnya, pelaku usaha bioskop wajib melaporkan data perolehan penonton kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan secara berkala.
“Aturannya tidak berbunyi, melapor kepada publik, apalagi harus realtime. Jika ada tuntutan transparansi itu harus jelas alasannya, jelas dasar hukumnya,” ungkap pria yang kin tinggal di Bali itu.
Perihal dugaan IBOS dimanfaatkan Korea Selatan untuk mencari pasar di Indonesia, Kemala memaklumi.
Apalagi, sambungnya, jika dihubungkan dengan keinginan Korea Selatan memasuki industri film di Indonesia.
“Bahkan ada juga yang mencurigai desakan penerapan IBOS menjadi bagian dari kegiatan business intelligence. Sebab begitu sistem ini diterapkan, maka pihak yang berkepentingan tahu potensi pasar kita, film seperti apa yang laku, dan seteranya,” tutur Kemala.
Apalagi sesuai aturan, jelas Kemala, rumah produksi sebagai perusahaan swasta tidak diwajibkan memublikasikan data kepada publik.
Apalagi, rumah produksi tidak menggunakan uang publik dan uang negara.
“Jadi tidak harus mengumbar isi perutnya ke semua orang. Lalu, bisa saja data penonton itu dianggap memiliki nilai sehingga masuk kategori rahasia dagang yang dilindungi. Lalu UU Perfilman sudah jelas mengatakan bahwa laporanya secara berkala kepada Menteri. Bukan instan atau realtime kepada publik,” kata Kemala.
Perihal rencana penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud), Kemala mengingatkan, peraturan menteri tidak bisa melampui undang-undang.
Lantaran dalam UU Perfilman telah diaturan mengenai laporan jumlah penonton, menurut Kemala, peraturan menteri sebaiknya sekadar turunan.
“Jadi (peraturan menteri) menjadi aturan lanjutan yang menentukan' berkalanya itu berapa lama, satu bulan sekali atau dua bulan sekali. Kalau peraturan menteri mengatur bahwa laporan harus disampaikan ke publik dan harus instan, itu ya melampaui apa yang sudah diatur UU,” imbaunya.
Sementara untuk memajukan industri perfilman nasional, menurut Kemala terletak pada kualitas film.
“Sudah banyak buktinya bahwa film yang nyambung dengan keinginan masyarakat selalu dipenuhi penonton,” ungkapnya. (*)