Pentas Trisara Tinayuh Menjaga Karya Seni Warisan Agar Tetap Hidup kata Eny Sulistyowati
ksistensi manusia penuh misteri. Itu sebabnya menyoal manusia tak pernah ada habisnya. Apalagi menyangkut pencapaian kesempurnaan manusia
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eksistensi manusia penuh misteri. Itu sebabnya menyoal manusia tak pernah ada habisnya. Apalagi menyangkut pencapaian kesempurnaan manusia (hanggayuh kasampurnaning urip), berjiwa besar, dan selalu mengusahakan kebaikan sejati (berbudi bawaleksana ngudi sejatining becik).
Konon manusia merupakan miniatur alam raya. Jika alam memiliki elemen; rohani, khayali, dan jasmani, maka pada manusia elemen tersebut juga terwujud dalam bentuk; roh, nafsu (diri), dan jasad (tubuh). Aspek rohani manusia akan mencapai puncak evolusi, ketika ia telah mencapai kesatuan dengan Tuhan-nya.
Di sinilah peringkat manusia menjadi hamba (abid)-Nya yang baik, sekaligus menjadi pemimpin (khalifah) di muka bumi, serta bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Menempatkan ‘Jatidiri’, ‘Kebijaksanaan,’ dan ‘Keteguhan’ menjadi pusaka kekuatan hidup.
Inilah pesan moral lakon wayang yang diangkat ke atas pentas, oleh kelompok seni Wayang Orang (WO) Sriwedari, di Gedung Pewayangan Teater Kautaman Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Minggu, (04/03/2018).
“Trisara Tinayuh” menceritakan sosok Arjuna Ksatria, lelananging jagad yang menyandang tiga pusaka utama; Pasopati, Pulanggeni, dan Sarotama. Ketiga pusaka inilah yang menjadi kekuatan ‘Jatidiri’, ‘Kebijaksanaan,’ dan ‘Keteguhan’ bagi dirinya dalam mengemban amanah ‘Memayu Hayuning Bawana’ (nilai luhur kehidupan).
Namun saat Arjuna (Irizal Suryanto) mencapai titik kemuliaannya ia lupa diri. Hal ini yang membuat Prabu Kandha Buwana (Billy Aldy Kusuma) dendam kesumat. Kemudian ia berupaya menghancurkan Kesatria Madukara. Puncaknya, suatu hari ke tiga pusaka raib, Arjuna justru menimpakan masalah ini kepada orang-orang di sekelilingnya.
“Trisara Tinayuh” seakan hendak memotret kondisi sosial politik bangsa yang kurang stabil akibat krisis multidimensi. Terjadi degradasi kepercayaan; pemimpin yang kehilangan wibawa, degradasi moral; koruptif, penyalahgunaan narkoba, seks bebas, serta berbagai kondisi lain yang dihadapi masyarakat saat ini.
“Trisara Tinayuh” menampilkan para aktor dan aktris Wayang Orang, antara lain; Billy Aldy Kusuma, S. Sn (Prabu Kandha Buwana), Guntur Kusuma Widigdo, S. Sn (Prabu Anom Kandha Dewa), Mila Restu Wardati, S. Sn (Dewi Nawang Wulan), Rahma Putri Paramita, S. Sn (Dewi Nawang Siti), Mahesani Tunjung Seto, S. Sn (Pt. Kandha Maruta).
Sanggita Setiaji Widyadarma, S. Sn, dan Nur Diatmoko, S. Sn (Yaksa Cakil), Heru Purwanto, S. Sn (Bb. Gondhang Jagad), Dhestian Wahyu Setiaji, S. Sn (Bb. Gondahng Dewa), Diwasa, S. Sn (Semar), Aby Baskoro (Gareng), Prihat Natalis Nugraha (Petruk), dan Kirno (Bagong)
Irizal Suryanto (Raden Arjuna), Eny Sulistyowati. S.Pd, MM (Dewi Sembadra), Rukayah (Dewi Srikandi), Agus Prasetyo, S. Sn (Prabu Kresna), Sulistyanto, BA (Prabu Baladewa), Perdana Pandu Kumara, S. Sn (Prabu Puntadewa), Zamrud HJW (Raden Werkudara), dan Didik Wibowo, A. Md (Raden Gathutkaca).
“Trisara Tinayuh” disutradarai, Agus Prasetyo, S. Sn, dan Dalang, Heri Karyanto, S. Sn. Penulis Naskah, Billy Aldy Kusuma, S. Sn, Penata Tari, Mahesa Tunjung Seto, S. Sn, Sanggita Setiaji Widyadarma, S. Sn, Noviana Eka Pertiwi, S. Sn. Penata Karawitan, Pujiono, S. Sn, dan Nanang Dwi Purnama, S. Sn.
Penata Rias dan Busana, Sri Lestari Purnowirastri, S. Sn, dan Harsini Retno Setyowati, serta Penata Panggung/Artistik, Irwan Riyadi, S. Sn, dan Sutrisno, S. Sn. Swarawati/Sinden, Dwi Rahayu, Dini Sekarwati, Sri Sekar Rabulla, S. Sn, dan Rita Erma Wahyuningsih.
Aduk Emosi Penonton
“Trisara Tinayuh” menjadi seni pertunjukan yang menawarkan pengalaman lengkap bagi penikmatnya. Seni kolektif; dari mulai keindahan bermusik, bertutur, bercerita, berperan, gerak dan tari, hingga seni visual; seni rupa, yang melengkapi citra estetis pertunjukan.
“Trisara Tinayuh” mampu mengaduk-aduk emosi penonton. Tidak hanya terhenti pada cerita dan karakter, melainkan unsur entertain yang membuat pergelaran ini menjadi hidup. Misalnya penampilan para Punawakan; Diwasa (Semar), Aby Baskoro (Gareng), Prihat Natalis Nugraha (Petruk), dan Kirno (Bagong), mampu menyegarkan suasana ketika penonton sedang larut dalam cerita yang serius.
Penonton juga dimanjakan dengan deretan penari yang terampil, energik, dan memesona. Terutama ketika adegan perang yang menampilkan sosok Yaksa Cakil (diperankan Sanggita Setiaji Widyadarma, dan Nur Diatmoko), juga kerap mendapatkan applause penonton.
Pergelaran “Trisara Tinayuh” diproduksi oleh Dinas Kebudayaan Surakarta Jawa Tengah. Pementasan wayang orang ini merupakan program reguler yang digelar Teater Wayang Indonesia (TWI). Didukung sejumlah elemen organisasi pewayangan, antara lain SENA WANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia), PEWANGI (Persatuan Wayang Orang Indonesia), Tri Ardhika Production, dan Yayasan Kertagama.
Kepala Bidang Humas SENA WANGI, Eny Sulistyowati S.Pd , MM, mengatakan bahwa, pertunjukan ini adalah bagian dari usaha, menjaga karya seni warisan masa lampau agar tetap hidup, berkembang, dan dipelihara sebagai bagian dari sosio-budaya masyarakat Indonesia.
“Upaya pelestarian ini kita harapkan dapat menjadi kekuatan sebagai modal untuk menghadapi penetrasi budaya global. Tapi kita tetap terbuka terhadap budaya bangsa lain, tentu yang sejalan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia,” tutur Eny, yang mengatakan pihaknya tengah mempersiapkan ‘Festival Wayang Internasional’ yang akan digelar di Jakarta.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.