Komentari RUU Permusikan, Professor Musik Amerika: Kasihan Musisi Indonesia Dibungkam
Pro kontra ruu Permusikan di Indonesia menarik perhatian Professor dangdut dan musik underground darI Amerika Serikat Jeremy Wallach.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Pro kontra Rancangan Uncang-Undang (RUU) Permusikan di Indonesia menarik perhatian Professor dangdut dan musik underground dari Bowling Green State University, Ohio, Amerika Serikat Jeremy Wallach.
Pria kelahiran Arizona, Amerika Serikat yang cukup fasih berbahasa Indonesia itu menyayangkan hadirnya RUU Permusikan tersebut.
"Jadi, kasihan kalau (musisi Indonesia) dibungkam gara-gara taktik politik begini," kata Jeremy Wallach saat berkomunikasi lewat aplikasi pesan Whats App kepada Tribunnews.com Senin (4/2/2019).
Hari ini, Jeremy Wallach tiba-tiba mengirimkan sebuah tautan tentang sebuah petisi daring berisi penolakan Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang Permusikan yang tengah hangat diperbincangkan.
Dalam petisi tersebut, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menilai sekurangnya ada 19 pasal bermasalah di dalamnya yakni pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21, 31, 32, 33, 42, 49, 50, 51.
Mereka juga bersepakat menilai bahwa tidak ada urgensi apapun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkan sebuah RUU Permusikan seperti ini.
Menurut mereka RUU tersebut adalah sebuah Rancangan Undang-Undang yang membatasi dan menghambat proses kreasi dan justru merepresi para pekerja musik di Tanah Air.
Jeremy yang datang ke Indonesia pada 1997 sampai 2001 untuk meneliti musik dangdut dan musik bawah tanah seperti punk, dan metal pun tampaknya merasakan hal yang sama dengan Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan.
Menurutnya saat ini lebih dari tiga puluh peneliti dari beberapa negara menaruh perhatian yang serius terhadap perkembangan musik di Indonesia.
"Lebih dari tiga puluh peneliti dari beberapa negara asing termasuk Korsel, Finlandia, Jepang, Belanda, Australia, Jerman, Amerika, Kanada, dan Itali berminat dengan musik independen Indonesia secara jujur dan serius," tulis Jeremy dalam pesan Whats App kepada Tribunnews.com pada Selasa (5/2/2019).
Musik yang diminati para peneliti asing itu pun menurut Jeremy bervariasi mulai dari dangdut, metal, punk, noise, atau hip hop.
Etnomusikolog dan antropolog nyentrik itu menilai, musik-musik itu adalah musik nasional Indonesia.
"Musik metal, punk, noise, indie, maupun hip hop adalah salah satu musik nasional Indonesia yang benar dan penting," kata Jeremy.
Satu di antara hasil penelitian lapangannya di beberapa kota besar di Indonesia pada 1997 sampai 2001, Jeremy menemukan bahwa rakyat di Indonesia adalah rakyat yang “cair” dan tidak kaku seperti di tempat asalnya, Amerika Serikat.
Hal itu ia dapatkan tidak hanya dengan duduk di perpustakaan, namun juga mendatangi konser-konser dangdut, punk, metal dan musik lainnya.
Tidak hanya itu, ia juga bahkan menuliskan pengalamannya nongkrong di warung-warung kopi, warteg, atau pos satpam untuk mengetahui bagaimana masyarakat Indonesia menikmati dan mengalami musik pada saat itu.
Bahkan saat itu, ia juga sengaja mendatangi klub-klub malam elit di beberapa kota besar yang biasa menampilkan hiburan berupa musik dangdut dari artis-artis ternama ibukota.
Secara umum, penelitian Jeremy memperlihatkan bahwa musik-musik populer di Indonesia misalnya dangdut, punk, dan metal yang sering dianggap kampungan oleh orang Indonesia sendiri justru termasuk ke dalam musik modern yang dapat dianggap sebagai simbol identitas nasional rakyat Indonesia yang “cair” dan beragam.
Hasil penelitiannya itu sudah dibukukan, diterjemahkan, dan diterbitkan Penerbit Komunitas Bambu berjudul "Musik Indonesia 1997 - 2001: Kebisingan dan Keberagaman Aliran Lagu".