Besarnya Dampak Covid-19 Terhadap Industri Perfilman: Kru Film Memilih Bertani Hingga Bisnis Kuliner
Jika pun bioskop dibuka, maka jumlah kursi mungkin akan lebih sedikit dari biasanya, karena harus ada jarak untuk menghindari penularan virus corona.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
Orang di Netflix, yang paling banyak ditonton di Indonesia itu The Night Comes for Us, yang kedua Love for Sale. Love for Sale dibanding Dylan di bioskop ya jauh. Mungkin karakter penontonnya beda. Tapi kalau berbicara revenue, nilainya sekali pukul. Netflix angkanya lumayan oke.
Tapi tetap saja tidak sebanding dengan pendapatan 1 juta penonton. Dibanding dibeli sama tv gede. Kalau berbicara 'ngakalin' tidak ada. Ya bioskop harus buka normal. Kalau dibilang OTT berarti kan mindset awalnya nurunin budget.
Baca: Video TikTok Wanita saat Rekam Aksi di Hotel Viral dan Mengaku Selingkuh, Ini Fakta Sebenarnya
Indonesia budget memang tidak gede dibanding Hollywood. Atau Korea lah, karena secara market produser sudah sadar film akan tayang cuma di Republik Indonesia yang layarnya tidak banyak amat-amat. Mungkin ditambah Malaysia, Singapur. Singapur mungkin tidak pernah gede kecuali The Raid.
Karena faktor bahasa. Malaysia kan suka sama produk kita. Kalau dibandingkan Korea, dia tahu kalau filmnya di negara dia layarnya hampir 7 ribu-8 ribu, layar kita cuma 2 ribu. Box office Korea 34 juta penonton. Kita penonton 6 juta.
Berniat untuk banting stir?
Banting stir banget sih enggak, mati-mati banget sih enggak. Sebenarnya mati-mati banget juga enggak. Kalau misalnya ngomongin iklan Indosat yang di rumah aja itu kan masih jalan aja. Tapi kan buat apa kita buat iklan-iklan begitu.
Sebenarnya kalau dilihat dari sisi baiknya, kita jadi seperti didorong jadi lebih kreatif sih. Mikirin kontennya mau seperti apa. Reza kan bikin Sementara Selamanya, itu kan sebenarnya dia tidak mempertemukan orang itu.
Berniat membuat mini serial seperti itu?
Ada sih lagi coba nyari, tapi kan bentuknya tidak sebesar kalau kita mesti ketemu. Kalau syuting mungkin sampai sekarang cost bisa gede kayak misalnya kita syuting di studio. Saya juga kepikiran kemarin mau buat sesuatu yang seperti bentuk orang tidak terlalu banyak di tempat, cuma belum fix saja.
Yang kita lagi bikin The Vlog juga pengennya bikin sesuatu yang seperti itu. Cuma kepikir tidak sih, lu makin dibiarin bebas, liar, makin kreatif. Kalau diginiin kayak di negara komunis jadi makin susah. Yang lain kan pada susah banget. Indonesia tidak tahu ya, karena belum pernah dengar tiket bakal berapa. Mungkin kalau dinaikkan orang tidak terlalu ke bioskop sih.
Tren masyarakat karena WFH suka nonton dari rumah dibanding bioskop?
Kan tidak banyak orang berpikir bahwa bioskop itu sebuah experience kan. Ya kita tahulah film Indonesia secara skala memang tidak tinggi. Saya saja bukan orang yang nonton film sendiri. Saya males nonton di tv. Cuma dengan berpikir, "Nanti jangan-jangan film gw kayak FTV."
Baca: Jadwal Acara TV Minggu, 14 Juni 2020: Ada Daebak di Trans7 dan Film Aftermath di Trans TV
Saya pernah nonton film orang yang kayak FTV film dia. Jadi saya suka ngerasa jangan-jangan film saya kayak FTV kalau saya nonton di bioskop nih.
Sebenarnya bioskop kita butuh experience kan? Kayak nonton Avatar deh. Nonton di TV kan enggak ada enak-enaknya. Tapi kan berapa banyak orang yang punya perasaan seperti itu di Indonesia?