Jelang Akhir Hayatnya, Sapardi Djoko Damono Hanya Minta Minum Teh Hangat
Di saat-saat menjelang akhir hayatnya, Sapardi Djoko Damono hanya meminta kepada keluarganya menyediakan teh hangat sebagai sarapan.
Penulis: Bayu Indra Permana
Editor: Anita K Wardhani
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Bayu Indra Permana
TRIBUNNEWS.COM, BOGOR - Di saat-saat menjelang akhir hayatnya, Sapardi Djoko Damono hanya meminta kepada keluarganya menyediakan teh hangat sebagai sarapan.
Sapardi yang kala itu dirawat di RS Eka Hospital, BSD Tangerang Selatan, menolak diberikan sarapan. Ia hanya ingin meminum segelas teh hangat.
Permintaan terakhir maestro sastra ini disampaikan Bawuk, putri bungsu Sapardi usai mengantarkan kepergian sang ayah di TPU Giritama, Bogor.
"Biasa kan pasti ads sarapan di rumah sakit, lalu dikasih teh hangat segala macam. Tapi makannya sudah sulit kan, jadi sempat ditanya 'mau apa?', bapak jawab 'mau minum teh' gitu sih," kata Bawuk di TPU Giritama, Bogor, Minggu (19/7/2020).
Baca: Sang Pencipta Hujan di Bulan Juni Berpulang, Ini Profil Sastrawan Sapardi Djoko Damono
"Ibu sih yang ngasih. Sedikit minum juga, ditawarin yang lain-lain udah nggak mau 'udah teh aja' kata," lanjut Bawuk.
Sebagai anak, Bawuk merasa bersyukur bisa menemani di saat-saat terakhir sang ayah di rumah sakit.
Karena delama beberapa hari Sapardi dirawat, dirinya cukup kesulitan untuk menemani karena aturan jam besuk dari pihak rumah sakit.
"Untungnya kemarin maksa untuk nemenin. Ada saat tadi pagi (bapak meninggal)," terangnya.
Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Minggu (19/7/2020) pagi sekira pukul 09.17 WIB di RS Eka Hospital, BSD Tangerang.
Sapardi meninggal di usia ke 80 tahun dan meninggalkan tiga orang anak.
Baca: Sosok Sapardi Djoko Damono di Mata Para Mahasiswa dan Dosen FIB UI, Cara Berpikirnya Memukau
Baca: 5 Buku Sapardi Djoko Damono Paling Populer, Hujan Bulan Juni hingga Yang Fana Adalah Waktu
Profil Sapardi Djoko Damono
Melansir dari laman Wikipedia, Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940.
Ia merupakan sastrawan besar Indonesia, sekaligus akademisi dari Universitas Indonesia.
Sapardi Djoko Damono tercatat sebagai lulusan SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955.
Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958.
Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.
Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, Sapardi Djoko Damono pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison.
Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun.
Sapardi Djoko Damono pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999, kemudian menjadi guru besar.
Saat itu pula Sapardi Djoko Damono juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia,
Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.
Semasa hidupnya, Sapardi Djoko Damono aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Penghargaan Sapardi Djoko Damono
Pada tahun 1986, Sapardi Djoko Damono mendapatkan anugerah SEA Write Award.
Tahun 2003, Sapardi Djoko Damono menerima penghargaan Achmad Bakrie.
Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.
Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.
Karya-karya Sapardi Djoko Damono
Duka-Mu Abadi (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
Trilogi Soekram (2015; novel)
Hujan Bulan Juni (2015; novel)
Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
Suti (2015, novel)
Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
Yang Fana Adalah Waktu (2018;novel)