Begini Alasan Jaksa Tuntut Hukuman 3 Tahun Penjara ke Jerinx, Salah Satunya Ujaran Kebencian
JPU menyampaikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan Jerinx sehingga dituntut 3 tahun penjara atas perkara ujaran kebencian.
Penulis: Bayu Indra Permana
Editor: Choirul Arifin
"Apakah pernah dilakukan?," tanya jaksa Kejati Bali itu.
"Saya tidak pernah melakukan itu, karena selama ini yang saya baca di berita yang mengambil kebijakan regulasi tertinggi prihal kesehatan yang menyangkut IDI selalu di pusat. Makanya dari awal saya mention PB IDI Pusat. Bukan IDI Bali. Karena saya tahu pemegang kebijakan tertinggi untuk IDI adalah IDI Pusat. Kalau ke IDI Bali itu akan lebih lama lagi," jawab Jerinx santai.
Ditanya apakah dirinya pernah bertemu dengan orang IDI untuk menyampaikan hal tersebut.
Jerinx menyatakan beberapa kali bertemu dengan orang IDI, satu diantaranya adalah dr. Tirta.
"Untuk bertemu berdiskusi dengan orang IDI, sering. Salah satunya dr. Tirta. Diskusi kami lakukan secara live di instagram. Itu disaksikan 120 ribu lebih. Itu baik-baik saja tidak pernah ada permusuhan. Diskusi itu saya lakukan dua kali dan saya sudah sampaikan masalah tentang rapid ini. Saya bilang, dr. Tirta tolong sampaikan ke senior-senior dokter tentang rapid ini. Dia bilang akan menyampaikan, tapi masih terjadi," jawab Jerinx.
"Pernah mencari langkah lain, selain langsung menyampaikan atau memposting kalimat itu di instagram. Misalnya bersurat," kejar Jaksa Otong.
"Seperti saya sampaikan tadi, dua kali saya sudah berdiskusi dengan dr. Tirta. Dua kali berdiskusi, saya selalu tekankan rapid ini tidak valid. Sudah banyak dokter-dokter menyatakan tidak valid. Kenapa dipaksakan ke ibu-ibu hamil. dr. Tirta menyatakan akan menyampaikan ke PB IDI Pusat. Jadi saya sudah coba langkah tersebut," tegas Jerinx.
Kembali mengenai unggahan itu, Jerinx pun menyatakan, bahwa dirinya mengetahui ada aturan tertentu yang mengatur, seperti UU ITE.
"Akibat dari unggahan ini, saudara diproses sampai persidangan. Saudara menyesal tidak," tanya Jaksa Otong.
"Begini. Ketika IDI merasa sakit hati dengan kata-kata itu, saya minta maaf. Tapi maksud saya bukan untuk menyakiti hati mereka, bukan untuk membubarkan mereka. Tapi sebatas meminta tanggapan segera, karena ini menyangkut nyawa bayi," jawab Jerinx.
"Tapi saudara menyesal," tanya kembali Jaksa Otong.
"Yang saya rasa, kenapa proses diskusi atau mediasi tidak diadakan. Saya tidak mengerti kenapa saya sampai harus masuk penjara. Sampai IDI menjadi sorotan gara-gara kasus ini. Padahal kami sebenarnya tinggal diskusi saja. Sebenarnya argumen saya dari awal meminta respon masalah rapid. Itu tidak salah. Buktinya rapid sekarang dinyatakan tidak valid," papar Jerinx.
"Ini kita berbicara masalah nyawa. Kalau saya pribadi lebih baik saya dipanggil kacung daripada saya harus membunuh bayi orang lain dengan alasan syarat rapid. Itu saya," tegas Jerinx kembali.
Dilanjutkan Jaksa Bagus yang menanyakan klarifikasi dan validasi terkait komentar atau pesan singkat netizen diunggahan Jerinx.
Jerinx menyatakan isu rapid test pada ibu-ibu hamil atau mau melahirkan justru dibaca olehnya di media yang valid.
Seperti kejadian di Makassar dan Bandung.
"Saya baca di media. Berarti itu sudah terverifikasi di media. Mereka yang DM saya juga mengirimkan barang buktinya. Ada yang menyertakan foto. Itu jumlahnya ribuan tidak bisa saya cek satu per satu. Yang jelas, yang menjadi dasar kuat saya adalah kejadian di Makassar dan di Bandung," terangnya.
Ditanyakan kenapa unggahan itu ditujukan ke IDI.
Menurut Jerinx, IDI adalah lembaga yang paling punya pengetahuan dan akses untuk mengetahui apakah rapid itu valid atau tidak.
Pula ditanyakan apakah Jerinx sadar maksud dari unggahannya itu akan tidak sesuai maksud komentar yang muncul dari netizen atau pengikutnya.
"Sebelum saya mengunggah postingan itu, sudah banyak komentar-komentar (negatif) seperti itu. Tanpa saya memposting itu masyarakat sudah banyak yang mempertanyakan keberpihakan IDI. Ini kan media sosial siapapun bisa berkomentar. Saya men setting sosial media untuk publik. Jadi saya sudah tahu konsekuensinya," jawab Jerinx.
Perihal kesepakatan damai dengan dr. Tirta san IDI kembali disampaikan Jerinx.
"Saya sempat menyampaikan permintaan maaf melalui dr. Tirta. Saya bilang tolong sampaikan ke IDI Pusat saya minta maaf. Status itu saya tulis karena saya prihatin dengan ibu-ibu yang melahirkan," ujarnya.
"Selain menyuarakan terkait unggahan itu saya juga melakukan aksi nyata. Melakukan kegiatan yang meningkatkan imun. Menggelar konser gratis bersama istri saya, menghibur pasien dan nakes di Wisma Atlet Jakarta. Ini adalah bentuk empati saya terhadap nakes dan pasien agar lekas bangkit. Keputusan itu (konser) saya ambil setelah berdiskusi dengan dr. Tirta," cetus Jerinx lagi.
Dikorek kembali terkait apa yang melatari dirinya mengunggah kalimat itu.
Lagi, Jerinx menegaskan, bahwa dirinya konsen keselamatan nyawa ibu dan bayinya saat melahirkan.
"Konsennya akan nyawa bayi, karena bikin bayi kan susah. Banyak orang yang sudah bertahun-tahun menikah belum bisa punya anak. Ada ibu yang bayinya meninggal saat melahirkan karena prosedur rapid test," tegasnya.
Ditanya apakah ada kejadian ibu melahirkan dan anaknya meninggal karena prosedur rapid test.
Jerinx mengatakan, ada kejadian tersebut.
"Setelah saya ditangkap ada kejadian ibu melahirkan dan anaknya meninggal. Setelah saya dilaporkan, itu ada kejadian di Buleleng. Ibu dari anaknya yang meninggal sempat berkomunikasi mengirim pesan di Facebook saya," tuturnya.
"Setelah diperiksa sebagai saksi, saya berencana bertemu dengan ibu itu di Buleleng. Tapi pihak rumah sakit dan kepolisian lebih dulu berbicara ke rumah mereka. Dan mereka akhirnya tidak berani bicara. Akhirnya saya tidak jadi bertemu mereka. Beberapa hari kemudian saya ditangkap," imbuh Jerinx.
Lebih lanjut lagi, selain peristiwa ibu yang melahirkan harus kehilangan bayinya.
Ada keresahan Jerinx terhadap IDI dalam hal penanganan kesehatan di tengah kondisi rakyat yang terbelit pandemi.
"Ada berita yang saya baca itu dan membuat saya berkesimpulan jika IDI kurang tanggap terhadap situasi rakyat. Juga kurang percaya diri menggunakan segala ilmu pengetahuan tentang rapid ini. Ketika saya membaca, IDI menolak harga rapid test diturunkan. Itu mengindikasikan jika IDI kurang berpihak kepada rakyat. Situasi pandemi, ada yang di PHK. Kenapa IDI tidak mau menurunkan harga rapid. Sementara validasi rapid banyak terbukti tidak akurat," jelasnya.
Di sisi lain, penasihat hukumnya menanyakan terkait tugas dokter sepengetahuan Jerinx.
"Saudara memahami pelaksanaan penanganan Covid. Dari kemenkes, ke satgas kemudian dokter. Apa tugas dokter dari apa yang saudara pahami," tanya Sugeng Teguh Santoso.
"Yang saya tahu dari sumpah dokter, kewajiban utama dokter itu adalah mengutamakan keselamatan nyawa pasien," jawab Jerinx.
"Kalau dokter mengutamakan keselamatan pasien. Dalam pandangan anda rapid test ini apakah menghambat si pasien mendapat pelayanan kesehatan yang berpotensi membahayakan jiwa," lanjut Sugeng.
"Sangat menghambat," kata Jerinx.
Selain itu, kata Jerinx, itu juga menghambat terutama bagi ibu-ibu yang mau melahirkan dan membahayakan nyawa.
Terkait rapid test, sepengetahuan Jerinx menyebutkan sebagai screening mengetahui apakah reaktif atau non reaktif.
"Itu belum tentu pasiennya positif Covid. Jadi bukan alat penentu yang valid orang terkena Covid atau tidak," jawab Jerinx.
Kembali ditanya Sugeng, apakah Jerinx mengetahui ada dokter-dokter lain yang menyatakan rapid test itu tidak diperlukan sebagai syarat administrasi.
"Ada. Saya lupa nama perhimpunannya. Mereka para ahli yang mempelajari virus. Mereka menerbitkan surat edaran yang menyatakan rapid test itu bukan alat ukur yang akurat untuk dijadikan syarat administrasi mendapatkan pelayanan kesehatan," jawab Jerinx.
"Saya tambahkan, dari Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia juga menerbitkan surat edaran untuk tidak mewajibkan rapid test kepada pasien yang harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Itu diterbitkan sekitar bulan April atau Mei 2020," lanjutnya.
"Dalam pandangan saudara, apakah dokter sebetulnya bisa melawan ketentuan persyaratan rapid test," tanya Sugeng.
"Sangat bisa, karena diantara semua satuan institusi seperti kemenkes, satgas dan IDI itu, saya rasa dan saya tahu dari AD/ART juga, IDI yang paling punya akses pengetahuan, akses otorisasi. Jadi saya justru berharap IDI itu sebagai agent of change atau agen perubahan yang bisa membuat regulasi yang benar-benar berpihak kepada orang-orang yang perlu dibantu. Dalam konteks ini rakyat yang kurang mampu. Ibu-ibu yang akan melahirkan," jelas Jerinx.
"Lalu secara keilmuan, IDI harusnya punya penelitian sendiri. Jadi tidak selalu harus mengikuti narasi WHO, yang saat itu narasi WHO adalah covid ini sangat berbahaya, menular. Intinya menakutkan. Saya pikir, IDI membuat penelitian sendiri, bikin kesimpulan sendiri yang bisa lebih membantu rakyat yang banyak di PHK setelah pandemi," sambungnya.
Kembali menggenai unggahan kalimat yang berisi kata "Kacung".
Dikatakan Jerinx untuk segera mendapat respon.
IDI yang juga mempunyai media sosial harusnya tanggap merespon keluhan masyarakat dalam hal pelayanan kesehatan.
"Saya rasa sebagai institusi kesehatan yang memiliki media sosial. PB IDI punya akun instragram dan aktif. Sebagai petugas yang memberikan pelayanan kesehatan, saya rasa itu harus berbarengan dengan menjawab keresahan-keresahan masyarakat terutama masalah kesehatan. Apalagi langsung berhubungan dengan keilmuan mereka," ujarnya.
Dilanjutkan I Wayan "Gendo" Suardana yang menanyakan postingan tanggal 15 Juni 2020.
Dikatakan Jerinx bahwa unggahan itu tidak ditujukan kepada IDI.
"Tidak ditujukan kepada siapapun. Itu saya menjelaskan sebuah situasi yang saya rasakan seolah-olah ada skema atau kondisi yang memaksa kita merasa ketakutan yang berlebihan. Di sana banyak elemen yang terlibat untuk menciptakan sebuah kondisi ketakutan," jawab Jerinx.
"Postingan itu untuk mengajak masyarakat agar jangan takut berlebihan. Sedangkan kalimat "Wake the fuck up Indonesia" itu artinya ayo bangkit Indonesia. Buka matamu kita tidak boleh takut berlebihan," lanjutnya.
"Apa yang melatari saudara menginginkan Indonesia bangkit," tanya Gendo kembali.
"Karena melihat di lingkungan terdekat saya, keluhan-keluhan nitizen, artikel-artikel, rakyat menengah kebawah sangat merasakan dampak dari narasi ketakutan berlebihan. Mereka sudah di PHK lalu dipersulit ketika sakit," jelas Jerinx.
"Yang saya tahu dan baca juga dari beberapa artikel kedokteran, rasa takut itu bisa menurunkan imun. Sehingga kita akan jauh lebih mudah sakit. Bagaimana cara kita meningkatkan imun, yakni memberi semangat, memberi kabar positif," sambungnya.
Terkait dengan tuduhan membenci dokter, Jerinx langsung menampik.
"Saya secara personal tidak pernah benci kepada dokter siapapun dan jika saya dibilang tidak berempati sebelum unggahan saya dipermasalahkan itu, saya sudah menyampaikan duka cita atas gugurnya para nakes dan dokter dalam penangangan Covid. Dan saya berharap agar rakyat, nakes dan dokter jangan sampai diadu domba karena ketidak jelasan informasi. Makanya saya berharap ada diskusi. Sehingga rakyat tidak curiga kepada nakes dan dokter. Dan pihak dokter bisa memberikan informasi yang bermanfaat kepada rakyat," jawabnya.
Selain itu, dipersidangan tim hukum Jerinx menunjukkan tayangan sejumlah video yang merekam kegiatan Jerinx bagi-bagi pangan selama pandemi.
Video konser virtual terdakwa yang menghibur nakes dan pasien di Wisma Atlet Jakarta juga ditunjukkan.
"Sebagai orang Bali yang lahir di Kuta, tempat pertemuan berbagai ras dunia, bahwa manusia tidak perlu dibeda-bedakan," jawab Jerinx.
Jerinx kembali menyatakan tidak ada maksud melukai perasaan dokter.
Ia sengaja memilih kata yang unik dan berbau sastra dalam unggahannya, karena tidak lepas dari latar belakangnya sebagai musisi.
Jerinx lantas sedikit mengupas makna lagunya berjudul “Sunset Di Tanah Anarki”.
Katanya, lagu itu merekam kegelisahan rakyat di tanah yang sangat indah, yaitu Bali.
"Saya banyak belajar lirik lagu dipelajari dari Iwan Fals dan Franky Sahilatua," jelasnya.