Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Seleb

Cerita Eet Sjahranie: Modal 'Tape' dari Kakak, Pulang Sekolah Langsung Sok-sokan Ngeband

Tapi saya juga kasih tahu latar belakang, sejarahnya, hero-hero saya, yang kebetulan mereka juga senang. T

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
zoom-in Cerita Eet Sjahranie: Modal 'Tape' dari Kakak, Pulang Sekolah Langsung Sok-sokan Ngeband
Tribunnews/Irwan Rismawan
Gitaris Band Edane, Eet Sjahranie berpose usai wawancara khusus di Kantor Tribun Network, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021). Tribunnews/Irwan Rismawan 

TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA-Gitaris EdanE dan mantan personel God Bless, Eet Sjahranie (59) sempat mengalami pasang surut dalam berkarya. Rock pernah berjaya juga pernah mengalami pasang surut. Seperti halnya perjalanan Eet di belantika musik tanah air.

Namun, hal itu dilaluinya hingga konsisten berkarya selama hampir empat dekade, sejak era 80 an. Penggemar gitaris AC/DC Angus Young ini 'main' ke markas Tribun Network di Palmerah, Jakarta. Eet mengenakan topi dan kaos hitam Edane yang melekat ditubuhnya.

Dalam sesi wawancara bersama Direktur Pemberitaan Febby Mahendra Putra, Eet menceritakan awal mula dirinya terjun ke dunia yang digelutinya saat ini, dunia rock."Saya sendiri tidak pernah kebayang bisa main di depan orang banyak dan bikin musik yang didengar orang," ceritanya, Kamis (25/2).

Pemilik nama lengkap Zahedi Riza Sjahranie ini belajar gitar secara autodidak. Berbeda dengan zaman now, Eet remaja belajar ngulik lagu hanya menggunakan 'kuping'. Katanya itu menjadi tantangan sendiri dizamannya."Zaman itu kita tidak pernah melihat langsung. Sekarang bisa lihat YouTube. Kalau dulu murni telinga. Karena tidak melihat secara mata, ya tersandung-sandung," kata Eet seraya tertawa.

News Director Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kiri) bersama Gitaris Band Edane, Eet Sjahranie usai wawancara khusus di Kantor Tribun Network, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021). Tribunnews/Irwan Rismawan
News Director Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kiri) bersama Gitaris Band Edane, Eet Sjahranie usai wawancara khusus di Kantor Tribun Network, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021). Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Karir profesionalnya dimulai ketika merekam Selamat Untukmu dalam Jakarta Rhythm Section bersama Fariz RM. Dari situ, ia terlibat dalam album Kharisma Indonesia karya Ekki Soekarno. Kemudian bergabung dengan God Bless hingga membentuk EdanE.

Kurang lebih sudah empat dekade Eet Sjahranie konsisten di jalur musik, terkhusus musik Rock. Gayanya tak berubah, tetap 'hitam-hitam'. Namun perjalanannya tak mudah dan sempat mengalami naik-turun dalam bermusik. Seperti apa ceritanya? Berikut petikan wawancara eksklusif bersama Eet Sjahranie:

Gitaris Band Edane, Eet Sjahranie berpose usai wawancara khusus di Kantor Tribun Network, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021). Tribunnews/Irwan Rismawan
Gitaris Band Edane, Eet Sjahranie berpose usai wawancara khusus di Kantor Tribun Network, Jakarta Pusat, Rabu (24/2/2021). Tribunnews/Irwan Rismawan (Tribunnews/Irwan Rismawan)

Anda puluhan tahun bermusik adakah pengalaman yang berkesan?
Terlalu banyak untuk diceritakan cuma yang jelas saya sendiri sempat kepikiran gitu tidak pernah kebayang bisa main di depan orang banyak. Bikin musik yang didengar orang cuma bisa bilang Alhamdulillah.
Lagu yang paling berkesan?
Saya hanya bisa menceritakan itu waktu saya mengerjakan album EdanE 170 Volts 2001. Di mana waktu itu pertama kalinya saya menjajakan materi yang saya punya ke para produser saat itu.

Baca juga: Cerita Pahit Gitaris Eet Sjahranie Saat Manggung, Dilempar Batu, Lukanya Masih Berbekas

Berita Rekomendasi

Sebelumnya saya tidak pernah mengenal poin-poin tadi. Dulu saya bergabung dengan God Bless saya masuk God Bless. EdanE awal ada almarhum Jimmy Doto itu memboyong kita masuk Airo, kemudian memboyong kita masuk Aquarius tanpa kesulitan apa-apa.

Di 2001 waktu itu Aquarius tidak lagi dengan kita. Dia mempersilakan saya untuk menawarkan ke tempat lain. Disitulah kesan yang saya dapat, pengalaman yang saya dapat juga banyak, yaitu berinteraksi dengan para produser. Berkaitan dengan materi yang akan saya jajakan ini.

Pengalaman saya bolak-balik untuk dapat memenuhi 'tuntutan' label. Bagaimana musik yang saya usung ini bisa penetrasi ke masyarakat melalui label ini, bisa masuk ke radio, bisa masuk ke tv, tapi tetap menjaga karakter yang kita usung. itu PR sih. Bolak-baliknya itu. Yang lagu ini ah kurang bagus, kurang ini, kurang itu.

Kalau lagu yang berkesan banyak. Cuma kalau poin itu membuat album tadi. Yang mana tidak pernah saya alami sebelumnya.

Baca juga: Badai Cedera Liverpool Belum Purna, The Reds Konfirmasi Absennya Jordan Henderson

Awal mulanya gimana Anda bisa terjun ke musik?
Kalau saya lihat balik lagi. Dulu-dulu sudah ada gejala seperti itu. waktu SD, saya ingat banget dapat kesempatan punya tape dari abang. Memutar kaset apapun lagu Indonesia, lagu Barat. Terus pulang sekolah sok-sok nge-band walaupun tidak bisa main band.

Singkat cerita, ketika saya bisa main gitar, saya perdalam sendiri sambil belajar dari teman-teman. Akhirnya kebawa terus. Waktu itu masih tinggal di Samarinda, Kalimantan.

Kapan Anda menginjak profesional?
Tepatnya 1987. Saya pertama kali rekaman dengan Fariz RM itu grup namanya Jakarta Rhythm Section. Tapi itu proyek punyanya Fariz RM. Saya mengisi pertama kali lagu judulnya Selamat untukmu. Itu di Jakarta. sudah pindah dari Samarinda. Waktu setelah lulus SMA 1982.

Semenjak dari situ, dengan Ekki Soekarno kemudian almarhum Iwan Madjid. Terus akhirnya lumayan sering di dunia rekaman. Dengan catatan waktu itu proyek Ekki Soekarno itu melibatkan banyak vokalis.

Jadi dia ada dua album solo, Kharisma Indonesia. Satu album ini melibatkan 9-10 vokalis. Ada Ikang Fawzi dan lain-lain itu gitarnya saya semua. Jadi kesannya saya main di mana-mana. Padahal cuma album itu.

Tapi di sisi lain karena itu nama saya 'dikenal' di dunia rekaman. Nah dari situlah mungkin abang-abang di God Bless. Dalam hal ini almarhum Mas Jockie Surjoprajogo lumayan notice. Bang Teddy Sujaya yang waktu itu mengajak saya membantu proyek-proyek mereka.

Baca juga: Kisah Sopir Wali Kota Solo Gibran, Slamet Ditunjuk H-1 Pelantikan, Berjanji Bertugas Dengan Baik

Jadi saya itu untuk God Bless 1989 setelah saya membantu Mas Jockie dan Bang Teddy. Mas Jockie coba menawarkan saya untuk posisi itu. Yang saya tidak tahu ceritanya ternyata Mas Ian Antono sudah keluar. Posisi itu ditawarkan ke saya. Dengan segala pertimbangan akhirnya saya terima.

Di satu sisi saya juga grogi, tapi di sisi lain senang dan bangga juga. Cuma tidak berani mengiyakan secara langsung. Setelah dipikir-pikir akhirnya ya sudah saya gabung. Saya dari 1989-1990 kegiatannya. Tapi officially dari 1989 sampai 2001. Bahkan Mas Ian 1997 sempat balik dan akhirnya ada dua gitaris. Mengeluarkan album Apa Kabar.

Nah itu gitarisnya berdua saya dan Mas Ian. Di 2001 saya harus memutuskan karena pihak Sony meminta saya untuk eksklusif ada di mereka atau tidak. Waktu itu kan saya terikat dengan God Bless, Log Zhelebour. Saya harus memutuskan. Akhirnya memutuskan EdanE. Jadi saya resign dari God Bless.
Anda keluarga pejabat, apakah keluarga mendukung musik untuk jalan hidup?
Mereka secara langsung tidak menyatakan support tapi tidak menghalangi. Tidak ada kendala di situ.

Baca juga: Sering Diminta Mengajar Musik, Tapi Selalu Menolak, Eet Sjahranie Ungkap Kekurangannya

Bagaimana Anda belajar gitar?
Autodidak. Jadi belajar sama teman-teman kemudian saya belajar sendiri. Dari abang juga, melihat dia main saya nyontohin. Dari situ berdasarkan kuping saja. Kalau skill sih mungkin tidak. Tapi saya tidak tahu mungkin karena orang saat itu lagi getol-getolnya. Zaman itu kita tidak pernah melihat langsung seperti sekarang lihat YouTube bisa langsung.

Jadi semuanya by ear. Langsung kalau dulu murni telinga. Ini mainnya gimana sih. Latihan, kita sering main, dengan sendirinya terlatih. Karena kita tidak pernah melihat secara mata, ya tersandung-sandung ha-ha.

Sempat mengalami pasang surut?
Berkaitan dengan album tadi. Jadi diperjalanannya EdanE di 1992 sampai akhirnya kita selesai di 1999 dengan Aquarius. Faktanya penjualan album kita grafiknya menurun versi label. Dengan kata lain, saya disitu justru down-nya. Dalam artian bukan karena turunnya, tapi pada akhirnya harus berbuat apa.

Label sudah menyerahkan kesempatan kita ke tempat lain. Jadi sudah tidak mau nih, saya harus nyari tempat baru. Di situ perjuangannya, di situ titik baliknya. Di mana saat itu juga saya baru berkeluarga. Segala sesuatunya harus saya handle semua ini.

Mungkin di situ sebenarnya kekuatan yang muncul di tahun 2001 dengan album EdanE 170 Volts. Kebetulan hits lumayan ramai. Saya tidak pernah mikirin puncaknya, tinggal tergantung dari sudut pandang mana.

Jadi ada dua versi, kalau bicara versi 1990an, album pertama dan kedua lumayan mendapat respon. Tapi justru tahun 2001 album 170 Volts yang membuat EdanE bisa dikenal lebih luas lagi.

Karena memang beberapa hal mungkin kita dianggap berkompromi dengan pasar. Di sisi yang lain kita menawarkan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada, yaitu tampil dengan lebih heavy, lebih metal.

Siapa idola Anda?
Jadi memang saya dengar banyak. Dari saya kecil, pengasuh saya dengerin musik, saya juga dengar. Musik daerah, musik Pop Indonesia, melayu, apapun. sampai Abang saya yang remaja dengar musik barat, saya juga dengar. Dari idola-idola abang saya yang akhirnya saya juga mengidolakan. Tapi memang ada yang pada akhirnya secara langsung ataupun tidak mempengaruhi.

Saya ambil nama tiga itu, Van Halen, kemudian Angus Young. Van Halen dengan gitarnya. Kalau Angus Young itu dengan Stage Act-nya. Kalau misalnya Dimebag di tahun 1990an, lebih pada Hardness dan Heavyness. Yngwie suka cuma tidak bisa kayak gitu ha-ha. (Jimi) Hendrix secara tidak langsung iya, karena itu lebih era ke abang saya.

Justru saya dengar istilah underground karena abang saya ngomong ini musik underground. Ternyata bahasa itu kebawa sampai sekarang. Mungkin pada saat itu di dunia dan Amerika musik yang bukan mainstream.

Setelah dikarir Anda sekarang, ingin meninggalkan jejak kepada keluarga untuk mewariskan keahlian Anda?
Wah kalau itu saya terus terang saya orang yang tidak perna terpikir untuk memberikan suatu legacy. Dan kebetulan pula anak-anak saya itu, entah dia melihat contoh, entah apa. Cowok tiga-tiganya bisa main gitar. Tapi tidak saya push untuk menjadi musisi.

Karena alasan sederhana, walaupun tidak menutup kemungkinan mereka melakukan hal yang sama bahkan lebih bagus. Itu mudah-mudahan seperti itu. Tapi saya pribadi tidak ingin mereka terbebani dengan imej ayahnya. Ngajarin saja tidak. Nanya yang teknis mungkin iya. Tapi kalau yang ngajarin lo main gitar harus gini harus gitu tidak.

Mereka mengikuti karya saya. Tapi saya juga kasih tahu latar belakang, sejarahnya, hero-hero saya, yang kebetulan mereka juga senang. Tapi saya tidak mengajari ini caranya, tidak.

Kalau musisi dalam negeri siapa idola Anda?
Sudah jelas Mas Ian Antono. Almarhum Oding Nasution, almarhum Albert Warnerin, lalu Soenatha Tanjung. Itu gitaris-gitaris lawas yang saya idolakan dulunya.

Anda pernah diskusi atau belajar dari mereka?
Yang jelas pengalaman ya. Saya bicara banyak dengan Mas Ian dan Bang Oding. Dua itu sih. Tidak belajar secara formal. Diskusi saja. Karena ketemunya sama-sama industri. Saya masuk industri, ketemu, disitulah kita discuss.

Tidak berencana mendirikan sekolah musik?
Itu kekurangan saya. Sebetulnya banyak yang dulu minta saya untuk ngajar. Saya bilang ini bukan soal mau atau tidak. Pertama, saya merasa tidak punya ilmu. Kalaupun saya ngajar saya harus punya tanggungjawab. Saya harus bikin kurikulum, disiplin sama waktu, nah itu saya tidak punya. Tapi saya tidak pelit ilmu, kalau situ nanya apa yang saya bisa lakuin, saya lakuin. Tapi kalau formil, dari jam sekian sampai jam sekian, harus punya kurikulum. Wah ampun.

Ketika ke Amerika apa yang Anda pelajari?
Sebetulnya saat itu saya ingin sekolah formal. Sekolah umum. Tapi akhirnya harus ambil keputusan, saya tidak mungkin di situ, karena saya tidak punya passion.
Kedua memang secara otak tidak mampu juga. Saya harus ngambil sesuatu untuk dibawa pulang. Waktu itu saya ngambil recording workshop, itu semacam kursus lah.

Ngambil satu tahun. Sebetulnya tujuannya bukan mau menjadi engineering. Tapi saya ingin tahu di rekaman kayak gitu. Jadi kalau pulang ke Indonesia, saya main musik, saya rekaman, saya tahu whats going on di studio. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas