Kualitas Sutradara Perempuan di Indonesia Masih Dipandang Sebelah Mata
Tidak hanya terhadap filmnya, ketidaksetaraan gender di perfilmann Indonesia masih dialami oleh para sutradara perempuan.
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Film tidak hanya menjadi sumber hiburan bagi masyarakat. Namun kerap pula menjadi rujukan sebagai sumber informasi.
Sebab, film punya potensi besar untuk memengaruhi cara pikir setiap orang. Bahkan film dapat menjadi tren hingga panduan dalam berkehidupan sehari-hari.
Namun, bias gender, kekerasan bullying hingga objektifitas pada perempuan sering ditampilkan pada film.
Kurangnya budaya kritis di Indonesia memandang pandangan di atas sehingga terbentuk menjadi benteng yang kuat.
Tidak hanya terhadap filmnya, ketidaksetaraan gender di perfilmann Indonesia masih dialami oleh para sutradara perempuan.
Satu di antaranya dari sutradara perempuan terkenal di Indonesia yaitu Nia Dinata.
Baca juga: Nia Dinata Angkat Fenomena Kehidupan Remaja Papan Atas Jakarta di Serial Gossip Girl Indonesia
Diawali menjadi seorang jurnalis di media swasta, kemudian beralih ke dunia periklanan.
Di sana, Nia menjadi seorang asisten sutradara dalam pembuatan iklan.
Selama di sana, Nia mengungkapkan jika dirinya kerap mendapatkan pelecehan seksual berupa cat calling.
"Saya sering dapat chat calling. Selain itu kalau dipuji terkait fisik aku enggak suka. Semua orang suka dinilai dari kualitas. Ketika dibilang pintar, kuat, punya solusi bagus dan sebagainya," ungkapnya pada acara Talkshow yang dilakukan lewat zoom oleh LeTSS Talk, Minggu (21/3/2021).
Saat bekerja Nia mengaku tidak suka dipuji lebih kepada penampilan fisik.
Ia lebih menyenangi apresiasi dikarenakan kualitas kerja. Makanya, setiap mendapatkan perlakuan seperti itu, Nia tidak tinggal diam.
Nia langsung meminta para pelaku untuk berhenti melakukan hal itu.
Tidak sampai di sana, saat mulai terjun ke dunia perfilman, Nia sempat tidak mendapatkan kepercayaan mengemban tugas. Alasannya karena ia sedang hamil anak kedua.
Di sini Nia merasa kesal. Karena orang-orang beranggapan jika perempuan hamil tidak dapat bekerja secara profesional.
Sejak saat itu ia pun membuktikan lewat film Cau Bau Kan yang keluar pada tahun 2000.