Dari Pengalaman Main Film Sokola Rimba, Prisia Nasution Ungkap Permasalahan di Desa
Film Sokola Rimba menceritakan tentang realita kehidupan anak-anak yang belum mendapatkan haknya untuk menempuh pendidikan di bangku sekolah.
Editor: Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM - Artis peran Prisia Nasution menceritakan pengalamannya menjalani proses syuting film Sokola Rimba di provinsi Jambi pada 2013.
Di balik proses produksi tersebut, menurut Prisia Nasution, ada satu persoalan di desa yang harus ditangani serius, yakni Sumber Daya Manusia (SDM).
"Permasalahan ada di orang desa sendiri. SDM di desa sudah siap, tapi mereka minder sama turis. Jadi, adat dan budaya mereka ditinggalkan," kata Prisia seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (30/12/2021).
"Enggak mau pakai sarung, kain tenun, malah pakai jeans. Nah orang-orang kota yang datang ke desa itu justru yang pakai sarung mereka," ungkap Prisia melanjutkan.
Baca juga: Suka Manjat, Prisia Nasution Sampai Bikin Wall Climbing di Rumah
Sokola Rimba menceritakan tentang realita kehidupan anak-anak yang belum mendapatkan haknya untuk menempuh pendidikan di bangku sekolah.
Dalam film besutan sutradara Riri Riza tersebut, Prisia Nasution berperan sebagai perempuan bernama Butet Manurung yang mengajarkan baca tulis kepada anak-anak masyarakat Suku Anak Dalam (Orang Rimba).
Berangkat dari perannya tersebut, pemilik nama lahir Prisia Wulansari Nasution itu baru sadar, setiap desa memiliki permasalahan masing-masing.
Prisia Nasution berpendapat, SDM sebaiknya dikelola dengan bijaksana agar masyarakat desa percaya diri memperkenalkan desanya kepada wisatawan yang berkunjung.
Baca juga: Prisia Nasution Tegaskan Orang dengan Gangguan kejiwaan Harus Dirangkul dan Dibantu
"Saya bantu SDM anak-anaknya, kalau ada turis ke sana, bagaimana kalian handle, kita bentuk anak-anak ini sebagai tuan rumah. Enggak ada atasan atau bawahan. Jadi mereka yang datang adalah tamu dan kalian tuan rumah," kata Prisia Nasution.
Pendapat Prisia tersebut direspons baik oleh Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Pria yang akrab disapa Gus Halim ini menyatakan, budaya desa harus bisa dieksplor dan menjadi pijakan utama dalam perencanaan dan pembangunannya.
"Kaitannya dengan budaya, kita ingin setiap desa terus mengeksplor budaya aslinya. Saya selalu menegaskan bahwa perencanaan dan pembangunan desa jangan sampai keluar dari akar budaya. Itu berarti harus dieksplor terus," tegas Gus Halim.
Dia mencontohkannya seperti Pantai Plentong, Indramayu, yang dikelola BUMDes Ujunggebang Kecamatan Sukra Kabupaten Indramayu.
Gus Halim mengungkapkan, tempat itu berawal dari pembuangan sampah kemudian disulap menjadi menarik ini sudah didatangi 3.000 pengunjung setiap bulannya sebelum pandemi Covid-19.