Ibu Oetari dan Kisah Tanah Pamulang Equestrian Center Yang Tergerus
Pada usianya yang bulan depan menapak ke 86 tahun ibu Oetari Soehardjono mestinya sudah tak lagi terbebani banyak pikiran
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pada usianya yang bulan depan menapak ke 86 tahun ibu Oetari Soehardjono mestinya sudah tak lagi terbebani banyak pikiran.
Istri dari mendiang Mayjen Soehardjono, ketua umum kedua di kepengurusan pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) itu, seyogyanya tinggal menikmati masa sepuhnya yang menyenangkan.
Merawat sekitar 70-an ekor kuda yang merupakan hasil pembiakan dari Pamulang Equestrian Center (PEC), sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya sejak puluhan tahun terakhir.
Pamulang Equestrian Center membentang di sisi kiri dan kanan jalan raya Pamulang, Tangerang Selatan.
Beberapa tahun lampau kedua sarana berkuda PEC tak dipisahkan oleh jalan utama seperti selebar sekarang ini. Perkembangan pembangunan di kawasan inilah yang akhirnya membuat jalanan pemisah sarana berkuda ini melebar sedemikian rupa, memakan sebagian lahan di sisi kiri dan kanan PEC.
Karena terpakai untuk kepentingan umum, ibu Oetari mengakui merelakan saja lahannya tergerus. "Itu untuk kepentingan sosial,," papar ibu Oetari saat menerima kunjungan Ketua Harian KONI Jawa Timur Dhimam Abror Djuraid dan Pimpinan Proyek Berkuda Jatim untuk PON XIX-2016, Singky Soewadji, Senin (18/11/2013).
DIANGGAP LAHAN TIDUR
Dari total 14 hektar lahan milik PEC, area sebelah kiri dimanfaatkan untuk sarana pembiakan, pemeliharaan atau perawatan kuda yang jumlahnya mencapai 70-an.
Sisi sebelah kanan, dari arah Ciputat ke Pamulang, dipakai untuk arena equestrian dengam berbagai sarana penunjang termasuk kandang-kandang.
Hingga era 1980-an sarana alahraga di PEC ini masih kerap dipakai untuk pertandingan-pertandingan equestrian tingkat nasional.
Namun, saat ibu Oetari akhirnya memilih untuk lebih fokus dalam proses pengembang-biakan, peternakan dan pembibitan kuda, PEC tak lagi rutin menggelar kejuaraan equestrian.
Tetapi, tempat itu setiap tahunnya rutin menjadi arena bursa dan pameran kuda, bekerjasama dengan Dinas Peternakan Departemen Pertanian.
Dengan segala kebaikan dan kerendahan hati yang sudah ditunjukkannya untuk kepentingan umum dan perkembangan berkuda nasional, tentulah sangat wajar jika ibu Oetari patut diapresiasi.
Pada kenyataannya, ibu Oetari justru harus menerima kenyataan pahit lainnya ketika sebagian lahannya kembali tergerus untuk apa yang diidentifikasikan sebagai 'kepentingan umum'.