Tak Semua Rider di Equestrian Bisa Tekuni Jumping dan Dressage Secara Bersamaan
Tak semua rider di equestrian bisa menekuni jumping dan dressage secara bersamaan
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak semua rider di equestrian bisa menekuni jumping dan dressage secara bersamaan.
Sebagian besar memilih fokus atau mengkhususkan diri di satu disiplin, entah jumping atau dressage.
Walau demikian, tak sedikit pula yang loyal untuk terus berlatih jumping dan dressage.
Terkait dengan kuda, secara umum tak ada kuda yang hanya bisa untuk jumping atau dressage. Kuda equestrian secara spesifik dapat ditampilkan untuk jumping dan dressage sekaligus.
Jika di kompetisi jumping sukses yang diraih sepenuhnya dari hasil kerja keras rider dan kudanya, di pentas dressage keberhasilan itu seringkali tergantung pada tinggi atau rendahnya penilaian juri.
Oleh karena, selera atau 'taste' dari juri kadang menentukan nilai yang diperoleh, meskipun juri sudah bersikap 'fair' dalam memberikan penilaian.
Elemen untuk penilaian itu sendiri beragam, misalnya keserasian gerakan kuda, langkah-langkah kuda yang disesuaikan dengan ketentuan.
Menurut James Momongan, bagi rider yang sudah sangat menguasai kelasnya maka tak sulit untuk memperhitungkannya sebagai kandidat juara pada kelas yang diikutinya.
Untuk pemula yang tampil di Walk Trot, panggung untuk penampilannya adalah 40 x 20, sedangkan untuk kelas Preliminary dan seterusnya, 60 x 20. Rider dan kudanya rata-rata 'berpentas' selama 6 atau 7 menit.
Semakin tinggi tingkatannya, kian sulit gerakan-gerakan atau langkah yang harus dilakukan.
"Itu bedanya dengan di jumping, ada faktor untung-untungan di sana. Kalau kudanya lagi nggak mood, jadi nggak lucky untuk melewati rintangan," papar James Momongan, yang terakhir tampil di Porda Jabar 2014 lalu.
Karena sukses atau tidaknua penampilan 'duet' di dressage sering tergantung pada selera atau 'taste' dari juri, maka diperlukan cara untuk meminimalisasi faktor subyektifitas itu, karena untuk menghilangkannya tentu sangat sulit, sebab kembali kepada manusianya.
Salah satu cara mengeliminir subyektifitas penilaian itu adalah dengan menerapkan sistem lebih dari satu juri. Itu pulalah yang dilakukan Rafiq Hakim Radinal pada 'Skill & Elegance Dressage Cup' ini.
Dia mendatangkan juri internasional asal Jerman, Margit Hoffman, dan menduetkannya dengan juri asal Indonesia, Nico Pelealu.
Persentase penilaian dari kedua juri dikonversikan, dan pemenangnya adalah yang mendapatkan 'average' persentase tertinggi.
Sebagai konsekuensi menghadirkan Margrit Hoffman, Rafiq harus mengeluarkan dana berlebih, sebab dia harus menanggung sepenuhnya biaya transportasi, penginapan dan uang saku untuk Margrit Hoffman.
"Kalau bisa balik modal saja saja sudah bagus," kata Rafiq.
Namun, sejak awal Rafiq memang sudah menafikan keuntungan.
"Semua yang saya lakukan untuk pembinaan, jadi walau tak ada sponsor pun kita harus tetap jalan," tegasnya. tb