Pelajar SMP dan SMA BPK Penabur Berhasil Taklukan Puncak Kilimanjaro
Tim pendaki cilik kakak beradik dari SMP dan SMA BPK Penabur Jakarta, Jonathan Philip berusia 13 tahun dan Matthew Richard berusia 15 tahun
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim pendaki cilik kakak beradik dari SMP dan SMA BPK Penabur Jakarta, Jonathan Philip berusia 13 tahun dan Matthew Richard berusia 15 tahun berhasil menggapai Puncak Kilimanjaro, Uhuru Peak 17 Maret 2019 setelah mendaki selama 5 hari lamanya.
Seperti diketahui, Kilimanjaro merupakan gunung tertinggi di Benua Afrika dengan ketinggian 5.895 mdpl yang masuk ke dalam jajaran 7 gunung tertinggi di dunia. Beriklim tropis, suhu rata-rata di permukaan adalah 25-30 derajat Celcius, dan di puncaknya bisa mencapai -20 derajat Celcius. Gunung yang berada di negara Tanzania ini merupakan salah satu destinasi favorit para pendaki dunia.
Untuk dapat mencapai puncak tertinggi di benua Afrika itu tentu dibutuhkan fisik dan mental yang kuat agar berhasil mencapai puncak Kilimanjaro. Menurut statistik, hanya 40% pendaki yang berhasil mencapai Puncak Kilimanjaro dalam pendakiannya.
"Sebelum pendakian, kami harus berlatih fisik selama tiga bulan dengan jogging, trekking, naik turun Gunung Gede," ungkap Jonathan didampingi Matthew, Kamis, (3/9/2019).
Dijelaskan Jonathan, perjalanan dimulai dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta Senin malam, 11 Maret 2019 menuju Bandara Kilimanjaro di Tanzania. Ketika tiba keesokan harinya, Jonathan dan Matthew langsung ke Moshi untuk bermalam dan memeriksa kelengkapan pendakian.
"Pendakian sendiri dimulai pada hari Rabu pagi pukul 10.00 ke kaki gunung Kilimanjaro," ujar Jonathan.
Rabu siang, rombongan pendaki yang terdiri para pelajar BPK Penabur, guide dan porter memulai pendakian ke camp pertama, yaitu Mandara Hut di ketinggian 2.720 mdpl dengan melalui hutan yang mirip hutan di Indonesia, seperti di gunung Gede atau Pangrango. Hanya saja disana udaranya terasa sangat kering.
"Ketika malam tiba, kami melakukan evaluasi tentang perjalanan pada hari itu dan mengecek tingkat oksigen di darah kami. Ternyata kesehatan kami tetap prima usai melakukan perjalanan yang lumayan mudah karena belum terlalu dingin dan tidak terlalu terjal," jelas Matthew.
Pada malam hari, suhu di Mandara Hut sangat dingin jika dibandingkan dengan ketinggan serupa seperti di Lembah Suryakencana, Gunung Gede. Awalnya suhu tidak terlalu dingin sehingga Jonathan dan Matthew tidur hanya menggunakan jaket polar dan selimut.
Tapi, ternyata saat tengah malam suhu berubah sangat dingin dan terpaksa harus masuk kedalam sleeping bag untuk menahan suhu -20 Celcius.
Hari kedua pendakian, para pendaki berjalan menuju ke camp 2, yaitu Horombo Hut di ketinggian 3.700 mdpl, yang ketinggiannya setara dengan gunung Rinjani dan Semeru.
Perjalanan hari itu sangat berangin dan parapendaki harus memakai flannel dan jaket windbreaker. Perjalanan kali ini terbilang susah, karena harus naik turun banyak bukit dan jalur yang dinaiki sangat terjal.
"Dan kita belum bisa melihat tujuan, sehingga sempat membuat frustasi kapan akan sampai," keluh Jonathan.
Setelah berjalan 6-7 jam, akhirnya sampai juga di Horombo Hut. Semua wajah orang yang tiba di tempat ini terlihat sangat lelah. Suhu di sore hari sudah mulai terasa dingin disertai angin yang bertiup cukup kencang sehingga memaksa untuk segera istirahat tidur di dalam hut agar dapat memulihkan tenaga kembali.
Pagi terasa cerah, pada hari ketiga ini para pendaki harus melakukan proses aklimatisasi ke Zebra Rock di ketinggian 4.100 mdpl. Proses aklimatisasi harus dilakukan agar tubuh dapat menyesuaikan diri terhadap kadar oksigen yang lebih tipis dan suhu yang dingin. Diatas ketinggian 4.000 mdpl, kita tidak boleh berjalan terlalu cepat agar badan dapat menyesuaikan diri pada kondisi oksigen yang sudah mulai menipis.