Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Sport

Dede Yusuf dan Ikapan Asian Games 2018 Memperjuangkan Pencairan Honor

Dede Yusuf dan Ikatan Keluarga Panitia Pelaksana (Ikapan) Asian Games 2018 yang memperjuangkan pencairan honor

Editor: Toni Bramantoro
zoom-in Dede Yusuf dan Ikapan Asian Games 2018 Memperjuangkan Pencairan Honor
dpr.go.id
Dede Yusuf 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tertundanya honorarium Panitia Pelaksana Asian Games 2018 (Inasgoc) di periode kerja Januari-Agustus 2016, serta insentif bonus yang dijanjikan sejak Desember 2018, jelas mencederai hak azasi personil panpel yang sudah membuktikan kerja keras dengan sukses penyelenggaraan Asian Games 2018.

Oleh karena itu, Komisi X DPR RI berencana akan memanggil Kemenpora, Kemenkeu, cq, Dirjen Anggaran, BPKP, dan Kejaksaan Agung dalam Rapat Dengar Pendapat untuk mencari solusi bersama agar masalah yang sudah diderita Panpel Asian Games 2018 sejak empat tahun lalu bisa tuntas.

Hal itu ditekankan dalam kesimpulan saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi X DPR R, yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR, Ri, Dede Yusuf dengan Ikatan Keluarga Panitia Pelaksana (Ikapan) Asian Games 2018 yang memperjuangkan pencairan honor dan insentif bonus yang berlarut-larut tak kunjung selesai, di Ruang Rapat Komisi X, DPR RI, Jakarta, Kamis (9/7/2020).

"Saya miris mendengar hal tersebut.Kami mendesak Kemenpora, Dirjen Anggaran, BPKP, dan Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan secepatnya masalah honorarium dan bonus panitia pelaksana Asian Games 2018,” ungkap Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi X DPR.

RDP atlet Kresna Bayu
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi X DPR RI dengan Ikatan Keluarga Panitia Pelaksana (Ikapan) Asian Games 2018

Politikus dari Partai Demokrat di komisi yang membidangi pendidikan, olahraga, dan sejarah itu menilai berlarut-larutnya masalah honorarium tersebut mencederai semangat untuk memajukan olahraga nasional karena upaya masyarakat yang ingin membantu penyelenggaraan tidak mendapat penghargaan.

Usaha intensif pertama mengenai permohonan honor Panpel di tahun 2016, sebesar Rp 12.371.350.000,-, dimulai ketika Sekjen INASGOC, atas nama Ketua Inasgoc pernah mengirimkan surat kepada Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan pada 10 Desember 2018. Surat yang mempertanyakan kembali hak-hak saat menjadi garda pertama di periode awal kepanitiaan Asian Games 2018 itu juga dikirimkan ke Wakil Presiden, Menpora, dan Menkeu.

Setelah menunggu setahun lebih, bukan pencairan honorarium yang terjadi. Namun, munculnya hasil reviu dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)pada 28 November 2019 yang mempermasalahkan dua hal.

Pertama, tidak adanya dasar kebijakan pembayaran honorarium yang ditetapkan Ketua Panitia Pelaksana Inasgoc.

Kedua, tidak diterimanya keluaran (output) dari setiap uraian tugas/jabatan yang menjadi bukti kinerja masing-masing Panpel.

Atas dasar reviu itu, BPKP melalui Deputi Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Hukum Keamanan, Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memutuskan untuk mempertimbangkan pembayaran honor hanya sebesar Rp 5.943.400.000,-, atau selisih Rp 6.427.950.000 dari total kekurangan yang diajukan Panpel Inasgoc.

Sesuai peraturan di BPKP, reviu itu terbatas pada kesimpulan berdasarkan dokumen yang diterima. Tujuannya pun untuk memberi pertimbangan kepada Menteri Pemuda dan Olahraga sebagai PA, sekaligus penanggung jawab dalam penyelesaian kekurangan honorarium tersebut.

"Pertimbangan BPKP tersebut hingga kini belum juga direalisir oleh Kemenpora. Belum ada satupun personel yang menerima honorarium tahun 2016 tersebut. Reviu BPKP itu juga tidak sesuai karena tidak seluruh Panitia mendapatkan haknya atas gaji Panitia Inasgoc 2016. Oleh sebab itu, kami terus memperjuangkan," ungkap Johanna Ambar, juru bicara Ikapan AG 2018 yang di tahun 2016 bertugas di Direktorat Akomodasi Asian Games 2018.

Ketidaksesuaian itu terjadi karena reviu BPKP hanya mempertimbangkan akan membayar
penuh gaji tiga departemen saja, yakni General Affairs, Finance, dan Procurement. Padahal tiga departemen tersebut merupakan departemen pendukung.

Sementara tujuh departemen yang terlibat secara teknis dan benar-benar bekerja, bahkan dengan dana sendiri, di tahun 2016 itu, justru tidak dipertimbangkan untuk dibayar gajinya sama sekali.

“Tujuh departemen yang direviu BPKP tidak dicantumnya besaran gajinya, alias hanya Rp 0,- yakni Departemen Transportation, Accommodation, Catering, Accreditation, Media PR, Promotion, Games Look & Socialization, dan Arrival Departure. Padahal mereka bekerja keras dalam menyiapkan enam kegiatan besar persiapan Asian Games 2018 di tahun 2016 tersebut. Hal ini jelas melukai profesionalisme panpel Inasgoc,” jelasnya.

Sebenarnya, dasar kebijakan pembayaran honorarium itu sudah kuat dan sangat jelas. Para personil Panpel Asian Games 2018 ditunjuk berdasarkan 3 Surat Keputusan (SK) Panitia Penyelenggara, yakni SK No: 001a/KEP-PP/PN-INASGOC/I/2016, SK NO : 010/PANNAS INASGOC/VI/2016, dan SK NO : 012a/KEP-STAFF/PN-INASGOC/VII/2016.

Berita Rekomendasi

Lalu besaran honor yang harus diterima juga sudah sesuai dengan Surat Menteri Keuangan No. S.1084/MK.02/2016 tanggal 5 Desember 2016 tentang Satuan Biaya Masukan Lainnya (SBML) Honorarium Kepanitiaan Asian Games XVIII.

Tak hanya itu, output kinerja juga terlihat dengan dilaksanakan enam kegiatan utama, dan kegiatan lain yang dilakukan selama periode, Januari-Agustus 2016. Antara lain, dua kali Coordination Committee Meeting dengan Dewan Olimpiade Asia (OCA), dua kali rapat pleno panitia Inasgoc, OCA TV Audit Meeting, dan OCA IT Audit Meeting.

Perwakilan Panpel Inasgoc pada 18 Februari 2020 pernah menemui pihak BPKP. Dari pertemuan tersebut BPKP bersedia mengubah reviu dengan berdasarkan bukti baru yang diberikan Kemenpora. Namun upaya-upaya yang dilakukan Panpel Inasgoc untuk memberikan bukti-bukti baru selalu menemui hambatan.

Bahkan, keinginan untuk bertemu Menpora, Zainuddin Amali yang disampaikan melalui surat pada tanggal 6 April 2020, hingga kini belum terwujud.

Kisah tak kalah trenyuh justru terjadi terkait pemberian insentif bonus kepada seluruh personel yang berjasa mensukseskan Asian Games 2018. Bonus yang dilontarkan Wakil Presiden RI (2014-2019), Jusuf Kalla saat acara pembubaran Panitia Pelaksana Inasgoc, 19 Desember 2018, hingga dua tahun belum jelas rimbanya.

Padahal dasar hukum, surat persetujuan dari lembaga tinggi negara, dan alokasi dana, yang sama sekali tidak menggunakan APBN, sudah tersedia.

"Dasar hukumnya, Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 1684 Tahun 2015 di pasal 6, ayat 1 dan 2, lalu dua surat persetujuan dari Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan. Sedangkan alokasi dana sudah tersedia di BLU LPDUK yang mengelola dana-dana sponsor atau non APBN. Tapi, setelah dua tahun, masih belum dibayarkan," paparnya.

Ia menambahkan, bahkan dalam surat persetujuan dari Setwapres ditetapkan besaran insentif bonus sebanyak 2 (dua) kali honorarium bulanan.

"Pendanaannya bersumber dari Pendapatan Rupiah Murni yang dikelola Satuan Kerja Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Dana dan Usaha Keolahragaan (Satker BLU-LPDUK) Kemenpora selama periode penyelenggaraan Asian Games tahun 2018." Bunyi surat persetujuan Setwapres bertanggal 8 Januari 2019 itu.

Bahkan, Surat Plt Dirjen Anggaran yang dikeluarkan pada 8 Juli 2019 juga sudah menyetujui penggunaan Saldo Awal BLU LPDUK tahun 2019 dan menegaskan Menpora selaku Pengguna Anggaran untuk menggunakan saldo awal tersebut untuk pembayaran bonus yang total berjumlah Rp 14,8 Miliar.

Gagalnya bonus dibayarkan karena adanya Tanggapan atas Pendapat Hukum (Legal Opinion) dari Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung yang menyatakan bahwa pemberian bonus kepada perorangan (Panitia Pelaksana Asian Games 2018) tidak sesuai dengan Pasal 30 Permenpora no: 1684/2015 tentang Persyaratan Pemberian Penghargaan Olahragawan kepada Olahragawan, Pembina Olahraga, Tenaga Keolahragawan, dan Organisasi Olahraga. Oleh karenanya, Tim Jaksa Pengacara Negara mengusulkan agar ada revisi Permenpora tersebut.

Namun ternyata dasar hukum legal opinion Tim Jaksa Pengacara Negara itu tidak tepat dan kurang teliti. Karena di Pasal 34 Permenpora No:1684/2015 jelas-jelas dinyatakan bahwa perseorangan berhak menerima penghargaan. Pasal 34 ayat (1) berbunyi: "Penghargaan berbentuk bonus berupa uang dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat diberikan sebagai pembinaan kepada lembaga pemerintah/swata, organisasi olahraga, atau perseorangan yang berjasa dalam memajukan olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan internasional"

Hingga kini, usaha eks Panpel Inasgoc 2018 dan juga Kemenpora meminta kepada Kejaksaan Agung untuk mengubah pendapat hukum (legal opinion) berdasarkan pasal yang sesuai, masih menemui jalan buntu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas