Orangtua Tak Mau Buka Puasa Sebelum Syahrul Selesai Tanding
Cukup menonton di televisi dan selalu berpuasa untuk mendoakan anak saya dan teman-temannya
Editor: Ravianto
TRIBUNNEWS.COM, NGAWI - Pasangan suami istri, Nyartomo (57) dan Pariyem (51) warga RT 01, RW 03, Dusun Genggong, Desa/Kecamatan Jogorogo, Kabupaten Ngawi tak pernah menyangka jika prestasi anaknya membawa Tim Nasional U-19 menjadi juara Piala AFF 2013 dan masuk putaran final Piala Asia 2013.
Pasalnya, kedua orangtua Muhamad Syahrul Kurniwan (18) ini tidak menyangka jika anak bungsunya yang sudah mencintai permainan bola sejak duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) itu, bakal membawa nama Indonesia di kancah permainan sepak bola kelas dunia.
Hal ini disebabkan berbagai keterbatasan yang dimiliki pasangan suami istri yang hanya bekerja sebagai buruh tani di pelosok desa di lereng Gunung Lawu itu.
Kini kedua orangtua Syahrul yang sebelumnya sangat kesulitan dan kesusahan untuk membelikan sepatu sepak bola ketika masuk Sekolah Sepak Bola (SSB) di Ngawi itu, bisa tersenyum lebar.
Sejak masuk SSB di Jogorogo, setiap kali sepatu anaknya jebol, Nyartomo hanya menyarakankan Syahrul bersabar dan meminta membawa sepatunya ke tukang jahit atau sol sepatu yang tak jauh dari rumahnya.
"Bakat dan kecintaan anak saya saya itu sudah terlihat sejak di bangku TK sekitar Tahun 2001 lalu di kawasan Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat. Saat itu Syahrul sangat suka bermain bola, ketika saya dan ibunya merantau menjadi buruh serabutan dan juru cuci baju," terang Nyarmoto kepada Surya (Tribun Online) di rumahnya yang cukup sederhana sembari menunggu kepulangan anaknya, Senin (14/10/2013).
Tak berselang lama atau sekitar setahun kemudian, karena kondisi sebagai pekerja serabutan di kota besar sepi, Nyartomo dan istrinya memutuskan pulang kampung ke Jogorogo. Kendati demikian, tanggung jawabnya sebagai ayah dari empat anak tidak menyurutkan untuk kembali bekerja sebagai buruh tani di kampung halamannya.
Sejak itu, anak bungsunya, Syahrul yang duduk di kelas V SDN 01 Jogorogo dimasukkan ke Sekolah Sepak Bola (SSB) Jogorogo dibawah asuhan Pelatih SSB Jogorogo, Surawan.
Setapak demi setapak Syahrul meraih berbagai prestasi bersama timnya di kampung halamannya itu. "Sejak masuk SSB itu hingga masuk ke Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga), anak saya baru bisa masuk ke tim nasional pasca-mengikuti seleksi," ucapnya.
Sedangkan Ny Pariyem mengungkapkan, tidak jarang pasca-bermain bola, sepatu anaknya sobek dan jebol karena lapangan di kampungnya cukup memprihatikan dan apa adanya.
Namun karena tidak memiliki biaya untuk membelikan sepatu bola yang berkualitas baik, Pariyem meminta Syahrul menjahitkan sepatunya ke tukang sepatu yang tidak jauh dari rumahnya.
"Kami bisa memenuhi kebutuhan makan saja sudah bersyukur, makanya tak bisa membelikan sepatu baru saat sepatu Syahrul rusak. Untungnya Syahrul anak penurut dan mau menjahitkan sepatunya yang rusak daripada membeli sepatu baru layaknya teman-temannya itu," ungkapnya.
Meski anaknya bertanding berkali-kali dan disiarkan live di televisi, Pariyem mengaku tak pernah memikirkan sesuatu yang menonjol bagi anaknya yang berlaga di Piala AFF U-19 dengan posisi center back (pemain belakang).
Nyartomo dan Pariyem hanya bisa menonton penampilan anaknya dari televisi saja. Namun kakak Syahrul, Amir Suwanto beberapa kali melihat langsung penampilan adiknya di final Piala AFF U-19 di Gelora Delta Sidoarjo dengan naik bus.
"Cukup menonton di televisi dan selalu berpuasa untuk mendoakan anak saya dan teman-temannya dalam membela tim nasional itu. Saya baru buka puasa kalau anak saya sudah selesai bertanding," pungkasnya.(sudarmawan/surya)