Mamadou Sakho: Sorak-Sorai Itu Sebenarnya Untuk Ayah
Sakho remaja sempat tidak kerasan dengan model pendidikan PSG yang disiplin. Namun pesan terakhir sang ayah mengubah semuanya.
Editor: Dewi Pratiwi
TRIBUNNEWS.COM - Mamadou Sakho bercucuran air mata di TV, dan disaksikan orang banyak, saat diwawancara oleh presenter Alexandre Ruiz.
Pahlawan Les Bleus itu teringat akan ayahnya, yang selalu menjadi idolanya saat ini.
"Saya datang dari tempat yang jauh, saya tahu akar saya, dan saya berterima kasih untuk orang-orang yang membnatu saya tumbuh dan mencapai tahap ini, selain pendidikan dari keluarga saya," katanya sebagaimana dilansir Le Parisien.
Bagi masyarakat Eropa tentu adalah hal yang aneh seorang anak ikut bertanggung jawab soal masalah keluarga. Namun Sakho adalah keturunan imigran dari Senegal, di pantai barat Afrika, yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Makanya, setelah ayahnya meninggal dunia saat Sakho berusia 13 tahun, hidup Sakho berubah.
"Waktu ayah saya sangat sakit, dia memanggil saya mendekat dan berbicara, 'Saya tinggalkan uang untuk ibumu untuk membayar apartemen ini. Saya akan pergi tak lama lagi, dan saya hibahkan tanggung jawab ini kepadamu.' Itu pesan terakhir ayah saya," kata Sakho, dengan bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipinya.
Sejak saat itu dia berubah dari anak badung yang sering membuat onar, menjadi pria yang bertanggung jawab. Prestasinya di sepak bola disebutnya sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada sang ayah.
Meski pun dia sudah berlatih sepak bola sejak usia 6 tahun di Paris FC, dia tidak disiplin. Namun karena bakatnya luar biasa di sepak bola, dia dapat masuk akademi sepak bola Paris Saint Germain (PSG).
Sakho remaja sempat tidak kerasan dengan model pendidikan PSG yang disiplin. Namun pesan terakhir sang ayah mengubah semuanya.
"Sampai sekarang, saya masih merasa sorak-sorai pendukung kepada saya sebenarnya ditujukan ke ayah saya," kata bek yang sekarang bermain untuk Liverpool itu.
Selengkapnya baca edisi cetak Berita Kota Super Ball, Rabu (27/11/2013)