Ghana vs Amerika Serikat, Antara Mitos dan Dendam
Pertandingan perdana di turnamen besar seperti Piala Dunia selalu menjadi sesuatu yang sulit
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM - Pertandingan perdana di turnamen besar seperti Piala Dunia selalu menjadi sesuatu yang sulit bagi setiap kontestan termasuk Amerika Serikat. Sejarah berbicara, The Yanks gagal lolos dari fase grup apabila tidak mendapatkan poin di partai pembuka.
Misi meraih kemenangan diusung Amerika Serikat ketika berhadapan melawan Ghana di Arena Das Dunas, Natal, Selasa (17/6/2014) pagi, dalam pertandingan babak penyisihan grup G. Selain mematahkan mitos, raihan tiga poin juga merupakan upaya untuk menuntaskan dendam.
The Black Stars menjadi tim pengganjal laju Amerika Serikat.
Setidaknya, hal itu terjadi sejak mereka tampil perdana di Piala Dunia 2006. USA gagal melaju ke fase knock-out setelah dikalahkan Ghana 2-1 di pertandingan terakhir. Padahal mereka sempat menahan imbang Italia dengan skor 1-1.
Empat tahun kemudian, USA bertemu Ghana di babak 16 besar. The Yanks merupakan juara grup C, sementara The Black Stars runner-up grup D. Asamoah Gyan mencetak gol pada babak perpanjangan waktu untuk mengantarkan negaranya menang 2-1 sekaligus meraih tiket ke perempatfinal.
Gelandang Amerika Serikat, Michael Bradley, merupakan pemain yang percaya terhadap statistik. Setidaknya, dia berharap kemenangan atas Ghana mengantarkan tim melaju ke fase knock-out seperti yang terjadi pada Piala Dunia 1930 dan 2002, kemudian hasil imbang pada 1994 dan 2010.
“Kami sudah pasti tak merahasiakan fakta bahwa semua fokus di laga melawan Ghana. Kami memastikan bahwa dapat melakukan segala yang dibisa dilakukan sehingga melangkah ke lapangan dalam kondisi siap. Hasil bagus akan membawa kita ke posisi lebih baik,” tutur Bradley dilansir AP.
Peluang meraih kemenangan atas Ghana cukup terbuka mengingat Amerika Serikat datang dengan kondisi yang lebih siap. Pelatih Jurgen Klinsmann, menerapkan formasi 4-2-3-1 dengan menekankan pada keseimbangan tim.
Keyle Bekerman dan Jermaine Jones berperan dalam posisi sentral sebagai gelandang bertahan. Bekerman pintar dalam membaca perminan lawan, sementara Jones meng-cover wilayah ketika Ghana, yang mengandalkan kecepatan melakukan serangan dari kedua sisi sayap.
Sementara, berdiri lebih ke depan ditempati Clint Dempsey dan Alejandro Bedoya di kedua sisi sayap. Gelandang Toronto, Michael Bradley, berperan sebagai playmaker. Jozy Altidore berperan sebagai target man.
“Ini adalah tim penuh bakat individu. Pemain yang dapat menyulitkan tim lawan dalam hitungan detik, jika mereka tidak mewaspadai,” kata Jurgen Klinsmaan yang melatih timnas Jerman di Piala Dunia 2006.
Sementara gaya bermain Ghana berbeda dengan Amerika Serikat. Pelatih Ghana, James Kwesi, menerapkan formasi 4-3-3. The Black Stars, bertumpu pada trio gelandang Kevin Prince Boateng, Sulay Muntari dan Michael Essien.
Kreativitas trio Boateng-Muntari-Essien sangat diperlukan untuk membantu pergerakan Asamoah Gyan, Andre Ayew, dan Jordan Ayew yang mengandalkan kecepatan.
Pemenangan di laga ini mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk lolos ke babak 16 besar. Di grup G, selain dihuni Amerika Serikat dan Ghana, dua negara raksasa di Eropa berada di grup tersebut, yaitu Jerman dan Portugal.