Leicester City, Roman Si Rubah Bergaun Cinderella
BAHKAN sampai detik ini pun masih banyak yang tidak percaya klasemen Liga Inggris yang begitu gemerlap dipimpin oleh Leicester City.
BAHKAN sampai detik ini pun masih banyak yang tidak percaya klasemen Liga Inggris yang begitu gemerlap dipimpin oleh Leicester City. Kompetisi musim 2015-2016 menyisakan empat pertandingan, dan Leicester unggul lima poin bersih dari Tottenham Hotspur.
Iya, Leicester dan Tottenham. Komposisi yang sungguh tak lazim dan boleh dibilang tak pernah terjadi sejak FA, federasi sepakbola Inggris, menggulirkan Premier League di musim 1992-1993.
Pada musim 1993-1994 dan musim 1994-1995, Blackburn Rovers mencuat sebagai kekuatan mengejutkan. Mereka berakhir sebagai pemenang kedua di musim 1993- 1994 dan meraih tropi kejuaraan di musim berikutnya. Namun yang menjadi lawan mereka adalah Manchester United, klub elite dan langganan juara.
Dua musim selanjutnya muncul Newcastle United. Dibesut Kevin Keagen, The Magpies --julukan Newscastle United-- yang diperkuat pemain-pemain bertalenta hebat semacam David Ginola, Les Ferdinand, Alan Shearer, Faustino Asprilla, serta gelandang berpengalaman Peter Beardsley, menjelma kekuatan yang ditakuti di Inggris. Tapi tak seperti Rovers, mereka gagal memenangkan persaingan dengan Manchester United.
Musim-musim sesudahnya tidak ada lagi kejutan. Persaingan hanya milik klub- klub elite. Manchester United, Arsenal, Liverpool, dan dua kekuatan baru yang tumbuh dan berkembang sangat cepat lantaran kekuatan uang pemiliknya, Chelsea dan Manchester City.
Hanya dua klub yang mampu menembus dominasi. Newcastle sekali lagi melakukannya di musim 2002-2003 dengan keberhasilan bercokol di posisi tiga. Serta Leeds United yang juga menduduki peringkat tiga di musim 1999-2000.
Maka dari itu, apa yang terjadi musim ini terasa sangat istimewa. Tottenham Hotspurs bertahun-tahun hanya dianggap sebagai kuda hitam. Semenjana yang menyimpan bahaya namun tidak pernah benar-benar meledak sejak terakhir kali meraih gelar juara Liga Inggris di musim 1960-1961.
Leicester City lebih buruk dari sekadar semenjana. Mereka bukan siapa-siapa di medan persaingan Liga Inggris. Sejak berdiri tahun 1884, Leicester tidak pernah benar-benar dipandang sebagai pesaing serius untuk memenangkan gelar.
Sepanjang 132 tahun, pencapaian tertinggi The Foxes --julukan Leicester City-- adalah peringkat kedua di musim 1928-1929. Kala itu mereka terjungkal di penghujung musim dan harus merelakan gelar melayang ke klub yang sekarang beredar di Divisi Championship, Sheffield Wednesday.
Pasar-pasar taruhan pun berpandangan serupa. Alih-alih gelar juara, angka taruhan terbesar bagi Leicester City adalah perihal mampukah klub ini bertahan di liga. Terdegradasi atau tidak. Awal musim ini, taruhan untuk gelar juara (odds) merujuk pada angka yang sangat spekulatif, 5.000/1.
Seorang lelaki bernama John Pryke, 59 tahun, tercatat sebagai satu dari 47 orang yang memasang taruhan untuk angka spekulatif tersebut. Bukan taruhan yang nekat pula. Melainkan lebih kepada semacam "iseng-iseng berhadiah".
Suporter Leicester City ini memasang taruhan 20 poundsterling atau sekitar Rp 380 ribu (kurs Rp 19 ribu) di situs taruhan online, Labrokes.
"Saya sudah menjadi suporter Leicester City selama 45 tahun, dan sepanjang waktu itu, saya, atau kami, suporter-suporter Leicester, sudah merasa cukup senang jika tim ini terhindar dari degradasi. Saya tidak berharap Leicester juara. Saya kira itu cuma mimpi dan karenanya saya memasang taruhan tanpa tendensi apa-apa. Saya memasang 20 pound tanpa berharap apa-apa. Tapi yang terjadi sekarang sungguh luar biasa. Kami di puncak klasemen, meninggalkan seluruh favorit," katanya dalam wawancara dengan Mirror.
John Pryke sekarang diburu oleh media-media Inggris. Sebab jika Leicester mampu bertahan di puncak klasemen hingga pekan ke 38, Pryke akan memenangkan uang sebesar 100 ribu poundsterling (setara Rp 1,9 miliar).
Keberhasilan Leicester memimpin klasemen paruh musim, membuat angka taruhan berubah menjadi 1.000/1, dan kurang lebih 100 orang memasang taruhan dengan besaran beragam, antara 50 poundsterling sampai 200 poundsterling.
Angka yang --sekali lagi-- masih mencerminkan keragu-raguan. Angka yang menunjukkan bahwa para petaruh sepakbola Inggris yang dikenal nekat sekali pun ternyata tidak terlalu percaya jika cerita Cinderella Leicester City akan terus berlanjut.
Tapi begitulah, jika memang Leicester benar-benar berhasil memenangi Liga Inggris, BBC mencatat, para petaruh yang ragu-ragu ini akan membuat rumah-rumah taruhan di Inggris kehilangan uang sebesar 10 juta Poundsterling.
Now or Never
"It is this year or never more." Kalimat Claudio Ranieri, pelatih Leicester City, dalam wawancaranya dengan editor olahraga BBC, Dan Roan, banyak dikutip media tidak hanya di Inggris, tapi juga di seluruh dunia.
Now or never. Sekarang, atau tidak sama sekali. Satu kalimat yang bertendensi optimistis. Iya, empat pekan terakhir Premier League 2015-2016, nada bicara Ranieri telah berubah.
Tidak ada lagi harapan yang diungkapkan dengan separuh ragu. Saat Leicester City memuncaki klasemen tengah musim, Ranieri memandangnya sebagai cerita Cinderella. Mimpi upik abu yang menjadi puteri cantik pujaan pangeran tampan.
Dan Ranieri bilang. "Mimpi ini sangat indah. Kami masih menikmatinya. Tolong, jangan bangunkan kami terlalu cepat."
Sekarang, Ranieri, para pemain Leicester dan pendukungnya, berharap apa yang terjadi saat ini bukan mimpi. Mereka ingin tetap menjadi Cinderella di dunia luar mimpi. Pertanyaannya, mampukah mereka melakukannya?
Empat klub yang akan menjadi lawan Leicester adalah Swansea City. Bentrok berlangsung malam nanti di Stadion King Power, kandang Leicester. Selanjutnya, mereka bertandang ke Old Trafford, kandang Manchester United (1 Mei 2016), lalu kembali ke kandang untuk menjamu Everton (7 Mei 2016), dan melakoni laga terakhir versus Chelsea, di Stamford Bridge (15 Mei 2016).
Dua kandang dan dua tandang. Hotspurs pun begitu. Di White Hart Line mereka menjamu West Bromwich Albion (26 April 2016) dan Southampton (8 Mei 2016), sedangkan di luar kandang bentrok dengan Chelsea (3 Mei 2016) dan Newscastle United (15 Mei 2016).
Dari maksimal 12 poin, Hotspurs kemungkinan hanya bisa meraih delapan poin. Masing-masing tiga poin dari West Bromwich Albion dan Southampton, serta satu dari Chelsea dan Newscastle. Chelsea memang tidak lagi memiliki "kepentingan" di liga. Permulaan yang amat buruk membuat mereka mesti puas berakhir di papan tengah. Tapi bagaimana pun, laga ini adalah derby dan ada gengsi tersendiri yang dipertaruhkan di sini. Chelsea tentu saja tidak ingin kehilangan muka lagi.
Newscastle pun akan memberikan perlawanan keras. Terutama apabila hingga pekan terakhir, mereka masih punya peluang untuk lolos dari jerat degradasi. Tapi sekiranya tidak, Hotspurs kemungkinan bisa meraih poin penuh. Apabila hitung-hitungan ini tak meleset, maka Hotspurs akan mengoleksi 76 poin (68+8) atau maksimal 78 poin (68+10).
Cukupkah untuk melewati Leicester? Bercermin dari kedigdayaan Leicester sepanjang musim ini, semestinya tidak. Manchester United dan Chelsea kemungkinan akan berakhir imbang jika tidak kalah. Terutama dari Manchester United yang masih menyimpan ambisi lolos ke Liga Champions.
Tapi Swansea dan Everton tentu dapat ditekuk. Dengan demikian, dari maksimal 12 poin, Leicester bisa meraih tujuh atau maksimal delapan poin. Pun jika ternyata hanya enam poin, itu sudah cukup untuk membawa pulang dan menyimpan tropi Premier League. Leicester mengumpulkan 79 poin, unggul satu poin dari Tottenham Hotspurs.
Hitung-hitungan di atas kertasnya begitu. Akan tetapi, hitung-hitungan ini bisa saja berantakan. Pasalnya, satu di antara figur terpenting dalam perjalanan ajaib Leicester City, Jamie Richard Vardy, harus menepi karena sanksi kartu merah.
Seperti Leicester, kisah Vardy adalah kisah Cinderella juga. Publik Inggris menyebutnya Cinderella Man, persis sebutan untuk James J. Braddock, petinju "kurang terkenal" yang menjadi juara dunia di tahun 1935. Dipilih untuk pertandingan "tidak berimbang", menjadi sansak hidup bagi juara dunia Max Baer, Braddock malah menang.
Tahun ini, Vardy berusia 29 dan nyaris separuh dari karier sepakbolanya dihabiskan untuk bertualang dari satu klub kecil ke klub kecil lain, sebelum berlabuh di Leicester pada tahun 2012. Tiga tahun di Leicester, Vardy lebih banyak jadi penghangat bangku cadangan.
Tapi tahun ini, Vardy tiba-tiba berubah sakti. Kaki-kakinya bergerak lincah layaknya pemain belasan tahun. Bola-bolanya melesat menghujam gawang, kepalanya tajam. Dari pemain yang sama sekali tidak dianggap, Vardy dipanggil ke tim nasional Inggris dan berpeluang besar tampil di Euro 2016 di Perancis. Pencapaian yang barangkali tidak pernah dibayangkan oleh Vardy sendiri.
Tapi bisakah Leicester tetap menggigit tanpa Vardy? Seharusnya bisa. Vardy memang elemen terpenting dari skema racikan Ranieri, namun di saat sekarang, seharusnya, yang lebih mengemuka adalah semangat, bukan ketergantungan.
Kecemerlangan Leicester City juga berangkat dari andil pemain-pemain lain. Ada Kasper Schmeichel di bawah mistar. Ada dua benteng tangguh, Wes Morgan dan Robert Huth. Juga gelandang-gelandang yang tiada kalah "sakti": Danny Drinkwater, N'Golo Kante, Marc Albrighton, dan --tentu saja-- Riyad Mahrez. Di depan, jangan dilupa, ada Shinji Okazaki yang mampu mempertahankan performa bagus sejak dibeli dari klub Jerman, Mainz 05.
Jadi seperti dikemukakan Ranieri, now or never. Jika tidak sekarang kapan lagi. Sebab entah karena faktor teknis atau faktor bisnis, belum tentu musim depan Leicester akan bisa kembali seajaib ini.
twitter: @aguskhaidir