Don’t Cry For Me Argentina
Kenyataannya Piala Eropa memang membuat Copa America berhenti pada gaung sekadar. Magnet Piala Eropa jauh lebih kuat.
Berlangsung hampir bersamaan dengan Piala Eropa, berimbas besar pada kejuaraan sepakbola negara-negara benua Amerika. Padahal kejuaraan tersebut, Copa America, kali ini istimewa. Yakni penyelenggaraan ke 100, Centenario.
PADAHAL, Copa America bukan tak menghadirkan banyak bintang. Jika dibandingkan jumlahnya tidak kalah banyak. Bintang-bintang yang membela negaranya di Copa America juga beredar di klub-klub terkemuka Eropa.
Kenyataannya Piala Eropa memang membuat Copa America berhenti pada gaung sekadar. Magnet Piala Eropa jauh lebih kuat. Apa pasal? Sulit dijelaskan. Barangkali kemasan. Piala Eropa, dijual dengan cara yang lebih baik. Terutama dari sisi promosi.
Di sisi yang lain, negara penyelenggara Copa Amerika ikut memperparah level kepopuleran kejuaraan. Copa America Centenario digelar di Amerika Serikat, negara yang rakyatnya, sebagian besar, lebih suka menonton bisbol dan hoki es ketimbang sepakbola. Di Amerika, sepakbola punya nama lain. Bukan football, tetapi soccer. Mereka punya sepakbola sendiri. Sepakbola yang lebih banyak dimainkan dengan tangan ketimbang kaki.
Tapi begitulah, menjelang fase akhir, Copa America tetap menjemput takdirnya yang sejati: sepakbola Amerika yang menghibur dan dicintai. Dan puncak dari takdir itu adalah final yang mempertemukan Argentina dan Chile. Ulangan Copa America edisi sebelumnya, sekaligus panggung bagi seorang pembesar sepakbola era modern, Lionel Messi.
Panggung pembuktian, tepatnya. Messi dengan segenap kedigdayaan yang menyelimuti dirinya, akankah dapat mengakhiri penantian untuk ditahbiskan sebagai pahlawan bangsa?
Dalam segala hal, Lionel Messi sudah menyamai, bahkan melebihi, pencapaian Mario Kempes dan Diego Maradona, dua pahlawan Argentina dari era terdahulu. Kecuali satu, gelar untuk tim nasional.
Kempes, yang hanya bermain 43 kali untuk tim nasional Argentina dan melesakkan 20 gol, menjadi pahlawan di Piala Dunia 1978. Maradona, tentu saja, tak perlu dipapar lagi. Meksiko 1986 telah menjadi kisah klasik –Piala Dunia (mungkin satu-satunya) yang dikenang melulu karena aksi fenomenal seorang pemain ajaib.
Dua tahun lalu di Brasil, Lionel Messi berpeluang melewati Maradona. Iya, melewati, karena sepanjang kariernya, Maradona tidak pernah meraih medali emas olimpiade dan tropi Liga Champions. Peluang ini pupus. Di final, Argentina kalah dari Jerman lewat gol semata wayang Mario Gotza di menit 113.
Tak apa, masih ada Copa America. Gelar yang juga belum pernah diraih Maradona. Pascagagal mengatasi Chile di final kejuaraan nomor 99 di Estadio Nacional, Santiago, 4 Juli 2015, kesempatan itu datang lagi. Berduel di tempat netral, dengan keunggulan faktor teknis dan nonteknis, Argentina diperkirakan bisa melakukan pembalasan.
Namun yang menyeruak adalah drama. Bukan pembalasan melainkan kembali kekecewaan. Argentina yang bermain dominan, menciptakan banyak peluang, gagal menceploskan satu pun gol dan harus kalah lewat drama adu penalti.
Lebih menyesakkan, Lionel Messi berandil besar atas kekalahan ini. Menjadi eksekutor pertama, Messi gagal menuntaskan tugasnya.
Di lapangan, Messi menangis. Brewok yang makin tebal di wajahnya, tak mampu menutup kesedihan. Ia yang biasanya acuh dan dingin, tegar menerima kekalahan, melangkah gontai menuju bangku cadangan lantas terduduk lemas di sana, menyembunyikan wajah di balik kostum nomor 10 yang terkenal itu. Kamera televisi yang menyorot dari jarak dekat memperlihatkan betapa bahu Messi terguncang hebat.
“Sangat sakit ketika kita dihadapkan berkali-kali pada kegagalan. Saya sudah berupaya memberikan segala yang saya miliki,” kata Messi pada wartawan televisi Argentina, kurang satu jam setelah pertandingan. Pernyataan yang menyebar cepat dan dikutip banyak media di seluruh dunia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.