Don’t Cry For Me Argentina
Kenyataannya Piala Eropa memang membuat Copa America berhenti pada gaung sekadar. Magnet Piala Eropa jauh lebih kuat.
“Ini final keempat. Saya lelah. Ini gelar yang saya inginkan. Dan saya kira saya bisa mendapatkannya, tapi ternyata tidak. Jadi saya kira semuanya sudah berakhir,” ujarnya lagi.
Kekalahan atas Chile agaknya memang memukul Messi terlalu keras. Barangkali ia tidak terlalu memikirkan perkara kesetaraan dengan Maradona. Barangkali bagi Messi itu tidak penting. Barangkali yang ditangisinya adalah kesempatan.
Kegagalan keempat Messi terjadi saat ia berusia 29. Usia emas seorang pesepakbola. Mungkin dia masih punya kemampuan untuk masuk skuat Argentina di Piala Dunia Rusia 2018 dan Copa Amerika Brasil 2019. Tapi usia emas itu sudah lewat. Di Rusia usianya 31, di Brasil 32.
Fakta bahwa tidak sedikit pemain meraih gelar puncak justru di usia yang hampir senja, dalam kasus Messi mungkin tidak berlaku.
Dia tidak bisa dibandingkan dengan Dino Zoff, misalnya. Tahun 1982, Zoff datang ke Piala Dunia Spanyol sebagai pemain tertua. Saat Italia bermain di final dan menang atas Jerman Barat, usianya 40 tahun, empat bulan, dan 13 hari. Jauh lebih tua dari Messi sekiranya masuk skuat Argentina di Rusia dan Brasil.
Zoff, juga kompatriotnya Fabio Cannavaro dan Filipo Inzaghi yang sama-sama meraih gelar juara dunia di usia 32, atau Laurent Blanc (32), Cafu (31), atau Daniel Pasarela (33), atau Miroslav Klose (36), membuktikan bahwa pemain-pemain tua juga bisa banyak berguna. Mereka boleh tidak lagi jadi andalan. Bahkan tak lagi mampu bermain penuh. Namun keberadaan mereka sudah cukup sebagai sumber motivasi. Pelecut semangat.
Messi berada dalam situasi berbeda. Situasi yang jauh lebih pelik dan kompleks, karena terkaitpaut erat dengan mental dan psikologis. Final adalah pencapaian yang tinggi, tapi gagal di final sakitnya berlipat dua kali. Kesakitan yang membuat seorang lelaki paling gagah perkasa sekalipun bisa bersikap melankolis macam pemuda roman.
Maka ketika Lionel Messi kalah dan akhirnya menyerah, seperti pada tahun-tahun ketika ia juga gagal membawa tim nasional Argentina ke singgasana juara, foto- fotonya, rekaman-rekaman videonya, ditayangkan dengan iringan lagu Don’t Cry for Me Argentina.
Perkembangan pesat media sosial, dalam hal keragaman dan jumlah pengikut, membuat penyebaran foto dan rekaman video tersebut makin lebar dan luas.
Tapi ada yang sedikit berbeda. Kali ini tidak banyak kemeriahan. Tidak di Brasil, musuh turun-temurun Argentina di panggung sepakbola. Tidak di Uruguay, Paraguay, atau Kolombia. Tidak juga di Madrid, bebuyutan Barcelona, klub yang diperkuat Messi sejak masih remaja.
Banyak yang ikut menyanyikan lagu yang diciptakan untuk menghormati mantan ibu negara dan pemimpin Argentina, Evita Veron, ini. Dan entah dalam versi Julie Covington, Olivia Newton-John, atau versi Madonna, Don’t Cry for Me Argentina dinyanyikan dengan nada lebih syahdu.
T Agus Khaidir