Potret Militansi NJ Mania: Garis Miring Dari Utara, Tak Padam Meski Persitara di Kasta Bawah
Bukan cuma Liga 1, Liga 3 yang jadi kompetisi resmi terbawah pun ternyata punya fenomena suporter fanatik klub. Mereka bahkan mengaku sableng
Penulis: Abdul Majid
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kehadiran suporter dalam sebuah pertandingan sepakbola merupakan hal yang tak pernah terpisahkan bagai kuku dan daging.
Adanya suporter di dalam Stadion membuat para pemain yang didukungnya pun merasa dapat tenaga tambahan.
Tak heran, istilah pemain ke-12 yang disematkan kepada suporter dalam pertandingan juga jadi penentu klub saat mendapatkan hasil positif.
Baca: NJ Mania Sebut Persitara Harus Ikut Liga 3 Oktober Mendatang
“Suporter sangat berpengaruh dalam pertandingan. Hadirnya suporter di Stadion pastinya membuat para pemain lebih termotivasi,” kata Teuku Muhammad Ichsan, gelandang Bhayangkara FC saat dihubungi Tribunnews.
“Kita tahu ada Persija, Persib dan Arema yang punya suporter besar. Itu buat pemain-pemain lawan merinding. Tapi kalau kami di Bhayangkara itu juga jadi tantangan mental,” sambungnya.
Baca: Pesan Pemain Persib Buat Bobotoh: Mohon Pengertiannya, Jangan Antusias Minta Foto
Belakangan, pecinta sepakbola di Indonesia membuat dunia terkagum-kagum. Tak heran, Indonesia kini jadi pasar sepakbola terbesar di Asia Tenggara bahkan Asia.
Suporter dalam mendukung klub pun terbagi stratanya. Mereka yang punya kecintaan sangat dalam dengan klub yang ia bela umumnya menamakan dirinya dengan ultras atau garis keras.
Kehadiran suporter garis keras di Indonesia ini juga jadi identitas baru di sepakbola Indonesia.
Bukan cuma Liga 1, Liga 3 yang jadi kompetisi resmi terbawah di Indonesia pun ternyata punya fenomena suporter fanatik klub.
Baca: Lama Tak Terdengar, NJ Mania Berharap Ada Sosok Manajemen Baru yang Serius Mengurus Persitara
Garis Keras NJ Mania
Persitara Jakarta Utara. Klub yang berdiri sejak tahun 1979 itu bukan klub sembarangan terutama di periode 2004 hingga 2014 – sebelum akhirnya terjun ke Liga 3 sampai saat ini.
Klub yang memiliki julukan Laskar si Pitung itu kini terus berupaya untuk kembali naik ke kasta ternama. North Jak Mania, sebutan dari suporter Persitara ikut turun tangan membantu klub kebanggaan warga Jakarta Utara kembali bersinar.
“Bulan kemarin kita sudah audiensi dan minggu kemarin baru diterima pengurus Askot Jakut, di situ kita sampaikan untuk segera membentuk manajemen dan setelah itu membentuk tim,” kata Farid, Ketua Umum North Jak saat dihubungi Tribunnews.
Baca: Saran Richard Achmad untuk Selesaikan Perseteruan The Jakmania dan Viking yang Terus Berlanjut
“Target, ya kalau kita suporter tidak mau begini-begini terus dan memang tidak pantas Persitara ada di Liga 3 Provinsi kan. Kita minta supaya ya minimal bertahan dulu di Liga 3 nasional,”
“Pokoknya begitu jalan kita langsung suport, dari NJ (North Jak) siap menjadi pion bersama-sama manajemen untuk mengembalikan Persitara ke kancah sepakbola nasional,” jelasnya.
Dukungan NJ Mania kali ini untuk mengembalikan Persitara kembali berlaga di kasta tertinggi memang tak main-main. Farid mengatakan hal yang ia lakukan bersama dengan anggotanya adalah bentuk kesetian dan kegilaannya.
Baca: Awal Mula Perseteruan The Jakmania dan North Jakarta Mania
Semenjak turun ke Liga 3, NJ Mania mengalami penurunan anggotanya. Namun, ia yakin begitu klub bertahap naik kasta, akan banyak lagi NJ Mania yang kembali bergabung.
“Kalau sekarang karena tim kami turun jadi ikut turun (anggota NJ Mania) tapi kalau tim naik lagi pasti banyak lagi. Sekarang kami masih di angka seribu lebih, itu yang anggotanya, tapi kalau sama yang lainnya itu bisa 2000 lebih,”
“Di situ saja sudah luar biasa, mana ada tim Liga 3 ada 1000 suporter yang konsisten,” kata Farid.
Sejak menjadi Ketua Umum NJ Mania pada 2014 silam atau saat Persitara terjun ke Liga 3. Farid terus mengontrol anggotanya.
Ia paham betul tak sedikit dari anggotanya yang kini ikut-ikutan suporter lain – memberikan julukan lain seperti Ultras atau apa pun itu. Farid sebenarnya tak setuju dengan itu. Namun ia tak bisa pungkiri keinginan dari anggotanya.
Yang terpenting, Farid ingin anggotanya tidak bertindak bar-bar; hanya mendukung di dalam lapangan, fanatik di dalam lapangan setelah laga usai mereka harus bertindak seperti biasa dengan sesama suporter lawan.
“Nama NJ mania saja, tapi kan kita tahu anak-anak milenial sekarang kan ada nama-nama lain, nama-nama Eropa gitu. Jujur kalau saya kan orang dulu lah, tidak paham bahasa gini-gitu, kalau ultras kan ale-ale nyanyinya, kita ini orang Indonesia, budaya kita saja lah. Tapi kan kalau kita kekeh sama ego kita kan pasti anak-anak sekarang berontak,” ujarnya.
Bagi Farid, penamaan ultras atau apa pun itu julukan suporter fanatik di sebuah klub memang pasti ada. Tapi bagi kelompoknya yang berasal dari wilayah Utara Jakarta, julukan garis miring adalah julukan yang tepat.
Garis miring sendiri punya makna berbeda dengan garis keras atau ultras. NJ Garis miring binaannya kini tengah berjuang kembali membawa Persitara untuk bisa kembali ke kancah nasional.
“Kalau di NJ itu semuanya keras, dari 2005 – 2013 itu bahasanya suporter lain itu garis keras, tapi kalau kita di NJ ini bukan garis keras tapi garis miring. Kalau sudah orang miring itu sudah pasti keras, kalau orang keras belum tentu dia itu keras, miring itu sableng kalau bahasa betawi. Dan yang kita lakuin sekarang itu sableng, tim tetap di bawah tapi kita terus dukung,” katanya.
Makna Suporter di mata Pelatih
Asisten pelatih PSIS Semarang, Imran Nahumarury mengatakan kehadiran suporter dalam sebuah pertandingan akan membuat atmosfer berbeda. Bahkan suporter menguji pula mental para pemain yang bermain di dalamnya.
Lebih lanjut, adanya suporter dalam sebuah klub dinilai Imran adalah satu keuntungan sendiri. Selain tiket, klub juga bakal dapat pemasukan dari penjualan merchandise.
“Suporter penting untuk klub. Mereka jadi pemain ke-12. Saat memberikan dukungan langsung mereka memberikan motivasi kepada pemain dengan yel-yelnya,” kata Imran.
‘Tapi suporter juga berperan dalam sisi finansial. Melalui penjualan tiket pertandingan dan penjualan jersey serta merchandise, sebuah klub mampu menghidupi klub dengan keuntungan yang diperoleh dari hal tersebut,” jelasnya.
Akan tetapi, eks-pemain Timnas Indonesia itu juga masih menyoroti adanya kekurangan suporter klub-klub di Indonesia.
Kecintaan yang kebablasan kepada klub tanpa didasari rasa saling menghargai sesama masyarakat Indonesia kadang jadi sumber utama terjadinya insiden.
Ia pun berpesan kepada suporter klub-klub di Indonesia agar semakin dewasa kedepannya dan tak lagi mencoreng citra sepakbola Indonesia di kancah dunia.
“Memang demikian lah potret sepakbola di Indonesia sekarang ini, manis atau pahitnya cerita yang diukir tentu kita sendiri yang merasakannya,” kata Imran
“Masih banyaknya suporter yang belum berpikir dewasa, mudah terprovokasi dan hal lain menjadikan wajah sepakbola Indonesia sedikit tercoreng. Tetapi sekarang banyak aksi damai ko yang dilakukan serentak oleh seluruh suporter dan membawa angin positif dalam perkembangan sepakbola Indonesia,” pesan Imran.