Terkait Gas Air Mata, Pengamat Sebut Ada Dua Perspektif Hukum Berbeda di Tragedi Kanjuruhan
Pengamat sepak bola Ilhamzada menyebut ada dua perspektif hukum yang berbeda di Tragedi Kanjuruhan terkait penggunaan gas air mata.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat sepak bola Ilhamzada menyebut ada dua perspektif hukum yang berbeda di Tragedi Kanjuruhan terkait penggunaan gas air mata.
Pertama, ada perspektif hukum milik FIFA yang melarang penggunaan gas air mata.
Hal itu tertuang di FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Isinya mengenai larangan membawa dan menggunakan senjata api dan gas pengontrol kerumunan.
“Kalau pakai perspektif regulasi keamanan FIFA pasal 19, ya jelas enggak boleh ada penanganan dengan gas air mata,” kata Ilhamzada ketika dihubungi Tribunnews, Selasa (4/10/2022).
Ia kemudian menyebutkan tragedi di pertandingan sepak bola yang bermula dari penggunaan gas air mata.
Baca juga: Polisi Dinilai Tidak Tegas Karena Sepakati Pertandingan Arema FC Vs Persebaya Digelar Malam Hari
Ada kejadian di negara Peru pada 1964 yang memakan 328 korban.
“Dalam insiden yang ada banyak korban di stadion, itu melibatkan gas air mata. Termasuk peringkat pertama (korban terbanyak) di Peru yang penyebab salah satunya gas air mata.
Ada kejadian di Ghana itu juga gas air mata. Sehingga dalam regulasi keamanan FIFA itu tidak boleh ada gas air mata,” ujar Ilhamzada.
Kedua, ada perspektif hukum dari pihak kepolisian yang memperbolehkan mereka menggunakan gas air mata apabila situasi sudah tidak terkendali.
“Mereka punya SOP. Ini pandangan mereka ya. Ketika ada gejolak seperti ini, diperbolehkan bagi mereka untuk menggunakan gas air mata,” kata pemilik akun Twitter @ilhamzada itu.
Ilhamzada kemudian mempertanyakan tugas panitia pelaksana (panpel) pertandingan dalam menjembatani dua peraturan yang berbeda itu.
Ia menganggap tidak ada komunikasi yang baik antara panpel dan pihak keamanan terkait standar keamanan FIFA.
“Bisa jadi ada kesalahan dari panpel yang tidak melakukan komunikasi dengan baik mengenai standar keamanan dalam stadion menurut FIFA,” ujar Ilhamzada.
Mengenai prosedur gas air mata, Kapolda Jatim pernah menyatakan mereka sudah sesuai prosedur karena suporter mengarah ke anarkis.
Baca juga: PSSI Sebut Panpel Arema FC Tak Buka Pintu Keluar Jelang Pertandingan Berakhir
Kemudian, Aremania meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencopot Kapolres Malang dan Kapolda Jatim.
Kapolri sudah mencopot Kapolres Malang dan sejumlah komandan kepolisian, Senin (3/10/2022).
Lalu, Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta didampingi Wagub Jatim dan Ketua PWNU Jatim menggelar jumpa pers dan minta maaf kepada masyarakat.
Mereka meminta maaf karena adanya kekurangan dalam aspek pelaksanaan pengamanan massa di dalam stadion saat kerusuhan terjadi.