Cara Kerja Shin Tae-yong Tuai Kritik, Gerbong Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia Dicap Mubazir
Legenda Singapura, Fandi Ahmad mengkritisi cara kerja Shin Tae-yong yang banyak melakukan naturalisasi pemain demi hasil instan Timnas Indonesia.
Penulis: Drajat Sugiri
Editor: Dwi Setiawan
TRIBUNNEWS.COM - Cara yang ditempuh Shin Tae-yong untuk memperkuat Timnas Indonesia melalui jalur naturalisasi, dipandang miring oleh legenda sepak bola Singapura, Fandi Ahmad.
Fandi Ahmad yang juga merupakan mantan pemain klub era Galatama, NIAC Mitra, menyebut langkah naturalisasi merupakan jalur cepat untuk meningkatkan level permainan.
Namun jika goal dari Timnas Indonesia ialah tampil di Piala Dunia, naturalisasi pemain bukan cara yang tepat. Fandi Ahmad meminta Timnas Indonesia maupun tim-tim Asia Tenggara lainnya berkiblat kepada Jepang dan Korea Selatan.
Baca juga: Mantan Pelatih Timnas Indonesia dan Bhayangkara FC Resmi Berpisah dari Klub Liga Kamboja
Kedua negara ini mengandalkan talenta lokal untuk bisa bersaing di level dunia. Cara yang dipergunakan, oleh Fandi Ahmad, dapat ditiru oleh tim-tim ASEAN untuk menaikkan level permainan tim.
Baginya, naturalisasi ialah cara sampingan, dan bukan yang utama untuk menciptakan sebuah timnas yang solid dan mampu berbicara banya di level dunia.
Sebagaimana diketahui, Timnas Indonesia memang lagi getol-getolnya melakukan naturalisasi pemain.
Terbaru, tiga amunisi siap diambil sumpah sebagai WNI dalam waktu dekat. Ketiganya adalah Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, dan Justin Hubner.
"Saya tidak mengatakan itu cara terbaik bagi tim untuk berpartisipasi di Piala Dunia," kata Fandi Ahmad, seperti yang dikutip dari laman Z-News.
"Namun penggunaan pemain naturalisasi akan membantu meningkatkan kualitas timnas."
"Saya masih skeptis dengan kemampuan tim-tim Asia Tenggara untuk berpartisipasi di Piala Dunia," sambung pria yang pernah membela klub Eredevisie Belanda, groningen fc
"Mungkin perlu waktu 15 atau 20 tahun lagi sebelum kita melihat tim Asia Tenggara memenangkan tiket ke Piala Dunia."
"Namun, menggunakan pemain naturalisasi untuk menaikkan level timnas tidak menutup kemungkinan."
"Kalau untuk mengikuti Piala Dunia atau lebih jauh lagi untuk mendapatkan hasil bagus di ajang ini, saya tidak yakin," tambahnya.
Ia menilai negara-negara Asia Tenggara bisa meniru Jepang dan Korea Selatan yang terus meningkatkan kualitas kompetisinya.
Mantan pelatih Pelita Jaya itu menambahkan, fisik merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan oleh tim-tim ASEAN. Masalah stamina yang berujung kepada intensitas permainan, menjadi faktor paling krusial saat ini.
"Fisik dan intensitas (kompetitif) pemain Jepang dan Korea Selatan sangat berbeda dengan pemain di Asia Tenggara."
"Belum lagi teknik mereka juga luar biasa. Mereka juga punya banyak pemain yang berlaga di Eropa, bermain di turnamen top dunia," terang pria yang pernah menjebol gawang Arsenal, semasa masih bermain bagi NIAC Mitra.
"Setiap tahunnya, kompetisi sepak bola di negara-negara tersebut terus berkembang."
"Sepak bola Asia Tenggara bergerak seperti grafik sinusoidal. Tim kurang berkembang secara konsisten."
"Misalnya, Thailand dulunya sangat kuat, namun kini menunjukkan tanda-tanda melambat. Hal serupa juga terjadi di Vietnam dan Indonesia."
"Namun menurut saya, hal terpenting untuk membantu Korea atau Jepang berkembang secara berkelanjutan terletak pada kejuaraan nasional itu sendiri."
"Sistem turnamen di negara-negara ini selalu meningkatkan standarnya seiring berjalannya waktu."
"Selain itu, semakin banyak pemain Korea dan Jepang yang pergi ke luar negeri, sehingga memberikan keuntungan bagi tim nasional," ucap Fandi.
Disarankan untuk Abroad
Salah satu cara lain untuk mengerek kualitas individu pemain ialah untuk berkarier di luar negeri alias abroad. Dengan demikian, seorang pemain dapat meningkatkan etos kerja dan permainannya.
"Saya mendorong pemain-pemain Asia Tenggara untuk lebih banyak ke luar negeri karena dengan begitu mereka bisa meningkatkan kedisiplinan dan profesionalitasnya."
"Di Asia Tenggara, menurut saya banyak pemain yang mendapatkan kontrak menarik."
"Mereka memimpin turnamen dalam negeri, lalu menjadi terlena dan puas dengan dirinya sendiri. Mereka juga tidak lagi menginginkannya," pungkas Fandi.
(Tribunnews.com/Giri)