Lamine Yamal Incar Kado 'Sweet Seventeen', Ulang Tahun Ke-17 Sehari Sebelum Final EURO 2024
Lamine Yamal bersama timnas Spanyol mengincar trofi EURO 2024, yang akan terasa spesial buatnya karena akan menjadi kado ulang tahun Ke-17
Penulis: Muhammad Barir
Lamine Yamal Incar Kado 'Sweet Seventeen', Ulang Tahun Ke-17 Sehari Sebelum Final EURO 2024
TRIBUNNEWS.COM- Setelah mencetak rekor sebagai pemain termuda yang mencetak gol di Piala Eropa, Lamine Yamal bersama timnas Spanyol mengincar trofi EURO 2024, yang akan terasa spesial buatnya karena akan menjadi kado ulang tahun Ke-17 atau populer dengan sebutan 'Sweet Seventeen'.
Yamal akan segera berulang tahun Ke-17 pada Sabtu (13/7) atau hanya berselang satu hari sebelum final yang digelar Minggu (14/7) waktu Eropa, atau Senin (15/7) WIB.
Di usianya yang menginjak 16 tahun 362 hari, Lamine Yamal telah mencetak gol ke gawang Prancis di babak semifinal, golnya itu telah mencetak rekor baru di Euro 2024.
Pemain sayap remaja ini menjadi pemain termuda yang pernah mencetak gol di turnamen tersebut, melampaui rekor sebelumnya milik Johan Vonlathen dari Swiss yang mencetak gol pada EURO 2004 pada usia 18 tahun dan 141 hari.
Gol pemecah rekor Yamal terjadi pada babak pertama semifinal melawan Prancis di menit ke-21 melalui tendangan melengkung indah ke sudut atas gawang untuk membuat skor menjadi 1-1 setelah tim asuhan Didier Deschamps sempat unggul terlebih dahulu.
Sebelum golnya, Lamine Yamal telah mencetak rekor lain hanya dengan melangkah ke lapangan. Menjelang ulang tahunnya yang ke-17, ia menjadi pemain termuda yang pernah bermain di semifinal turnamen besar, melampaui rekor yang dibuat pada tahun 1958 oleh Pelé yang hebat di Piala Dunia di Swedia.
"Aku bilang pada ibuku dia tidak perlu membelikanku apa pun, memenangkan final bersama Spanyol sudah lebih dari cukup!" kata Lamine Yamal tentang kado ulang tahun terindah yang diinginkannya pada ulang tahun yang Ke-17 seperti dikutip akun X, dw_sports.
Dibanding tim-tim lain, Spanyol adalah tim yang kurang dihiasi oleh para pemain bintang. Mereka diperkuat oleh beberapa pemain muda, bahkan sangat muda seperti Lamine Yamal. Kekuatan inilah yang membuat mereka di awal turnamen tidak diperhitungkan sebagai favorit juara, bahkan oleh penggemarnya sendiri.
Tapi mereka membuktikan bahwa Spanyol yang dulu dikenal dengan tiki-taka, telah berkembang menemukan gaya permainannya sendiri. Kekuatan mereka adalah yang terhebat di babak fase grup. Menyapu bersih kemenangan, dengan tanpa kebobolan satu gol pun. Menang 3-0 vs Kroatia, 1-0 vs Italia, dan 1-0 vs Albania.
Tapi, prestasi Spanyol melakukan sapu bersih kemenangan dengan tanpa kebobolan di fase grup masih belum meyakinkan publik Spanyol, hingga akhirnya mereka menang secara meyakinkan dengan skor 4-1 vs Georgia di Babak 16 Besar, 2-1 vs Jerman di Perempatfinal, dan menang 2-1 vs Prancis di babak Semifinal.
Terakhir kali Spanyol berada di final turnamen besar itu terjadi pada 12 tahun delapan hari lalu. Saat mereka menghancurkan Italia di Kyiv untuk memenangkan Euro 2012 hari itu dengan diperkuat para pemain bintang yang bermain untuk Real Madrid atau Barcelona.
Dan itu juga merupakan masa puncak El Clasico era Pep Guardiola dan Jose Mourinho.
Sebagian besar pemainnya pernah menjadi bagian dari tim pemenang Euro 2008 dan juga tim pemenang Piala Dunia 2010.
Spanyol saat itu adalah tim dengan banyak superstar yang tangguh dalam pertempuran, para bintang yang bersaing namun mengesampingkan perbedaan sehingga mereka bisa menguasai dunia, mirip seperti pahlawan super yang bekerja sama dalam serial crossover buku komik fantasi. Dengan kata lain, mereka bersama dan kompak.
Tim Spanyol yang pada hari Senin ini bisa memenangkan EURO 2024 kali ini adalah gambaran yang berlawanan dari situasi yang terjadi pada 12 tahun lalu.
Tim Matador sekarang dihuni para pemain yang masih muda dan belum terlalu populer sebagai bintang sepak bola. La Roja sekarang, lebih banyak pemain-pemain sepak bola jenius yang dianggap biasa saja daripada dihuni para pemain sepak bola elite yang telah banyak dipuja.
Barcelona dan Real Madrid masih terwakili dalam susunan pemain Spanyol yang mengalahkan Prancis 2-1, namun jumlahnya hanya sedikit: Nacho pemain berusia 34 tahun, secara teknis bahkan bukan pemain Madrid lagi sejak kontraknya berakhir.
Selain itu, ada Lamine Yamal, pemain sensasional Barca berusia 16 tahun yang mencetak gol yang akan Anda lihat berulang kali di media sosial.
Memang, Prancis memiliki lebih banyak pemain gabungan Real Madrid dan Barca di starter mereka, jika Anda menghitung Kylian Mbappé. Namun, di sinilah kekuatan Spanyol.
Mereka mungkin tidak terlalu unggul dalam hal kekuatan bintang, namun mereka bisa dibilang telah ditempa dalam perjalanan terberat menuju final, mengalahkan kedua lawan yang memiliki nama besar ( Prancis, Kroasia, Italia, Jerman) dan juga menaklukkan tim-tim underdog (Albania, Georgia).
Dan melakukan semuanya tanpa perlu menjalani adu penalti dan bermain dengan kemenangan denga selisih tertentu menjadikan mereka sebagai tim sepak bola yang secara statistik merupakan tim terbaik di turnamen.
Mereka juga mempunyai pelatih yang cocok dengan kelompok pemain ini, sama seperti pelatih tahun 2012, Vicente Del Bosque yang telah memenangkan Piala Dunia dan dua gelar Liga Champions. Luis de la Fuente terlihat seperti guru pengganti berkacamata kutu buku.
Dia belum pernah berhasil di klub sepak bola lapis pertama atau kedua. Selama 12 tahun terakhir, ia telah bekerja untuk FA Spanyol dalam berbagai peran kepelatihan, mulai dari berbagai kelompok umur.
Pada usia 61 tahun, dia tidak ditunjuk untuk menggantikan Luis Enrique setelah Piala Dunia Qatar karena dia dianggap sebagai pelatih yang sedang naik daun. Ia ditunjuk karena sudah mempunyai pekerjaan di Federasi sepak bola Spanyol.
Dia adalah tipe pria yang selalu sibuk dengan berbagai hal, yang melipat serbetnya dan mendorong kursinya ke dalam setelah makan, yang menjalani hari-harinya apa adanya.
Separuh pemain di lini pertahanan awalnya (Dani Carvajal dan Robin Le Normand) ditangguhkan untuk pertandingan ini, jadi dia puas dengan prajurit tua Nacho dan prajurit yang lebih tua Jesús Navas.
Dia berusia 38 tahun dan tugasnya untuk pertandingan ini adalah meredam Mbappé. Ketika Mbappé membekukan Navas dan melepaskan umpan silang itu untuk gol pembuka Prancis, Anda takut apa yang mungkin terjadi. Namun Navas terus berkembang, bahkan ketika Mbappé mulai melemah.
Pedri, yang cedera di awal pertandingan melawan Jerman, digantikan oleh Dani Olmo. Dia adalah mantan produk pemain muda Barcelona yang menjadi berita utama ketika, pada usia 16 tahun, dia memilih pindah ke Kroasia dan Dinamo Zagreb untuk memajukan perkembangan sepak bolanya.
Apalah ini adalah pilihan tepat? Kita mungkin tidak akan pernah tahu, karena Olmo sering mengalami cedera sepanjang kariernya: dalam lima musim terakhir sejak bergabung dengan Leipzig, ia hanya tampil sekali sebagai starter di lebih dari 17 pertandingan liga.
Tapi Olmo adalah pilihan yang tepat untuk De la Fuente pada malam semifinal, pergerakannya di antara lini mengganggu pertahanan Prancis dan dia bertanggung jawab atas gol kedua Spanyol.
"Sungguh luar biasa bisa mencapai final. Tidak masalah siapa yang mencetak gol saya (yang terdefleksi ke gawang Jules Kounde) itu penting bagi tim. Kami pantas untuk itu di final ini. Kami selangkah lagi dari kejayaan," kata Olmo dikutip dari AFP.
Orang-orang seperti Olmo membuat tim Spanyol ini tidak hanya sukses tapi juga disukai. Dia memiliki bakat tapi banyak juga ketidaksempurnaan.
Mirip dengan Fabián Ruiz, yang terkenal di klub-klub lapis kedua seperti Real Betis dan Napoli sebelum akhirnya menjadi sorotan di Paris Saint-Germain dua tahun lalu.
Atau Marc Cucurella, yang keluar dari Barcelona pada usia 21 tahun, yang kembali melanjutkan kariernya di Brighton dan kemudian di Chelsea dalam 18 bulan pertamanya di sana sebelum pulih pada akhir musim lalu.
Lalu ada Álvaro Morata, yang paling banyak dikhianati dari semuanya. Tinggi, tampan, atletis, cepat, kuat, terampil, dia seharusnya menjadi pemain besar di Real Madrid.
Sebaliknya, dia menjalani karier keliling di mana ia tampil bagus dan mencetak gol untuk klub-klub besar namun tidak pernah mampu mencapai performa terbaiknya. Itu mungkin menjelaskan mengapa Atletico Madrid ingin memindahkannya Lagi.
De la Fuente mengambil para pemain skuad Spanyol dengan kondisi yang beraneka ragam setelah selesai era Luis Enrique.
Akibatnya, hilang sudah gaya penguasaan bola dengan pengumpan yang menyamar sebagai pemain sayap; masuklah dua pelari mudanya, Nico Williams di kiri dan Yamal di kanan dan, bersama mereka, kemampuan untuk tiba-tiba menembus pertahanan lawan, sesuatu yang tidak dimiliki tim Spanyol sebelumnya.
Hilang juga beberapa keeksentrikan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari cara Luis Enrique, mulai dari gaya jawaban berbelit-belit dalam konferensi pers hingga siaran Twitch malam hari yang ia tayangkan saat di Qatar. De la Fuente menjaga segala sesuatunya tetap sederhana dan memanfaatkan kekuatannya daripada ide filosofis besar.
Tentu saja hal ini membantu karena Spanyol nyatanya, masuk ke turnamen EURO kali ini tidak datan sebagai favorit, sebuah konsekuensi tak terelakkan dari cedera yang dialami para pemain bintang (Gavi dan Alejandro Balde adalah dua pemain yang jelas terlihat) yang seharusnya tidak bisa tampil dalam pertandingan tersebut.
Ini juga membantu ketika Yamal melakukan apa yang dia lakukan. Melawan barikade pertahanan Prancis yang sebelumnya tidak dapat ditembus, ia menunjukkan kepercayaan diri dan keyakinan diri yang biasa terlihat dari para superstar yang pernah melakukannya.
Dengan Spanyol tertinggal satu gol dan prospek Prancis untuk bisa bermain dalam masa transisi di tempat yang paling nyaman, golnya lah yang membalikkan keadaan dan memperkuat pesan De la Fuente: "Semuanya seimbang sekarang, mari terus lakukan apa yang harus kita lakukan," katanya dilansir dari Reuters.
Begitu banyak gagasan bahwa pengalaman membuat Anda tidak bisa diganggu. Bintang Spanyol yang paling berprestasi selain Rodri adalah Yamal, seorang pemain muda yang bahkan masih berusia 16, ibaratnya, dia masih belum selesai menulis kata pengantar biografinya.
Spanyol asuhan De la Fuente mengingatkan kita bahwa begitu pemain melewati garis putih di lapangan, pemain akan menorehkan pengalaman itu dalam bagian dari daftar riwayat hidup. Dan yang penting adalah apa yang ada di hati dan kepala. Dan apa yang dapat pesepak bola lakukan dengan kakinya.
Luis de la Fuente memuji kualitas dan kohesi timnya dalam bangkit dari ketertinggalan satu gol untuk mengalahkan Prancis. Timnya memiliki fleksibilitas dan kualitas individu yang luar biasa, yang jika digabungkan akan menciptakan merek sepak bola khusus yang ditampilkan di final.
"Ide kami tentang sepak bola didasarkan pada kepercayaan diri kami. Inilah yang ingin kami mainkan, kami ingin bermain sesuai kekuatan kami. Saya tahu kami mampu bermain sepak bola, kami sudah melihatnya sepanjang turnamen," ujarnya.
“Secara individu mereka luar biasa namun mereka memberikan manfaat kolektif dari kualitas individu mereka… mereka selalu bekerja demi kebaikan bersama, untuk upaya kolektif".
“Mereka sangat murah hati dalam upaya dan tingkat kerja mereka. Ini hanyalah satu lagi tanda bahwa ini adalah tim yang tidak pernah puas, bahwa mereka ingin terus berkembang dengan semangat pengorbanan,” katanya.
(Tribunnews/mba)