Bos Uber Sindir Perusahaan Taksi Selalu Minta Proteksi tapi Enggan Berkompetisi
Protes terhadap Uber menurutnya bukan disebabkan sopir taksi melainkan perusahaannya yang memilih tidak mau berkompetisi dan hanya bisa protes
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM – Uber salah satu layanan mobilitas online memang jadi kontroversi di banyak negara, tak hanya Indonesia.
Namun, sang pendiri tetap bersikukuh Uber harus tetap eksis meski dianggap mengganggu bisnis taksi tradisional.
Menurut pendirinya, Travis Kalanick dan Garret Camp memang itu tujuan Uber diciptakan.
Uber menyatakan mereka adalah perusahaan teknologi yang menghubungkan antara penumpang dan pengendara, sehingga tak selayaknya diperlakukan sebagai perusahaan taksi.
Travis yang berkali mengungkapkan kritik terhadap industri taksi pun menyatakan bisnisnya adalah legal, sehingga ia juga membela diri mengapa kadang Uber tak mengurus izin.
"Kami tidak harus meminta maaf karena kami ini legal. Tapi ada begitu banyak korupsi dan kronisme di industri taksi dan begitu banyak regulasi sehingga jika kamu meminta izin untuk sesuatu yang sudah legal, kamu malah takkan mendapatkannya," kata Travis seperti dilansir Guardian.
Travis menilai industri taksi terlalu proteksionis.
Dan protes terhadap Uber menurutnya bukan disebabkan sopir taksi melainkan perusahaannya yang memilih tidak mau berkompetisi dan hanya bisa protes begitu saja.
David Autor, profesor ekonomi di Massachusetts Institute of Technology juga punya pendapat yang mirip dengan Travis.
"Industri taksi di AS karakterisasinya adalah ongkos tinggi, servis rendah dan tidak ada akuntabilitas. Sehingga rentan untuk dimasuki startup karena semua orang membencinya," katanya.
Sementara Uber yang diklaiam sebagai perusahaan baik karena menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan dan khususnya membuka jalan bagi siapapun yang terhalang oleh monopoli perusahaan taksi.
Berkat Uber, pemilik kendaraan pribadi bisa menjadikan mobilnya bak taksi dan memperoleh pendapatan tambahan.
Tapi Uber kerap dianggap ilegal dan beroperasi di wilayah abu-abu di banyak negara.
Masalahnya bukan karena ilegal, tapi regulasi belum siap menampung model bisnis baru ini dan sopir taksi konvensional berkurang pendapatannya gara-gara Uber.
Nah, wacana penutupan aplikasi Uber cs di Tanah Air pun sedang jadi pembicaraan hangat di tataran pemerintah, perusahaan dan para pengemudi angkutan umum, termasuk taksi.
Sedang masyarakat, yang sebenarnya paling merasakan tiap-tiap layanan transportasi massal tersebut, yang seharusnya menjadi tujuan awal diciptakannya berbagai model transportasi massal, justru berharap kisruh ini segera selesai--dengan pemerintah memberikan transportasi umum yang memadai.