Survei Ungkap Pelajar Tak Bisa Bedakan Berita Hoax dan Asli di Internet
Laporan dari Sue Shellenbarger di situs wsj.com (Wall Street Journal) mengenai kondisi ini cukup mengejutkan.
Editor: Fajar Anjungroso
Kedua, berikan penjelasan mengenai kredibilitas sumber informasi.
Hampir 88% pelajar yang berusia 18 tahun memperoleh informasi dari Facebook dan media sosial lainnya. Bayangkan betapa banyak anak terpapar informasi setiap hari.
Setelah tadi memberi pemahaman pada anak bahwa kemungkinan berita palsu menyebar luas di media sosial, biarkan anak memperhatikan cara orangtua dalam mencari sumber informasi.
Ajari anak untuk mencari tahu informasi dari berbagai sumber. Misalnya menonton TV bersama dan kemudian mendiskusikannya.
Bisa juga dengan melakukan perbandingan berita dari satu berita dengan berita lainnya.
Jelaskan juga pada anak untuk memperhatikan struktur dari situs berita itu. Misalnya dengan mengklik pranala “about” atau “profile” dari situs tersebut.
Bimbing ia untuk langsung meninggalkan situs itu ketika kedua pranala tersebut tidak memberi informasi bahwa situs itu bisa dipercaya.
Mereka juga perlu tahu bahwa informasi top ranking di mesin pencarian Google belum tentu bisa dipercaya sepenuhnya.
Ketiga, ajari anak untuk membedakan fakta dan opini. Kadang, dengan mengikuti emosi dan rasa penasarannya, para pelajar itu pun tidak bisa membedakan berita yang faktual atau informasi yang berisikan opini.
Hal ini juga bisa terjadi karena mereka tidak begitu tertarik untuk membaca berita yang panjang. Namun tanpa membaca berita keseluruhan kita tidak akan mengenali apakah berita itu palsu atau tidak, bukan?
Sebisa orangtua sering berdiskusi dengan anak mengenai hal ini. Sebab jika anak tidak melek media, hal tersebut bisa mempengaruhi cara pandang dan kehidupannya. Yuk, jadi orangtua yang bijak.