Ponsel Xiaomi Dirakit di Batam
Produksinya dipercayakan kepada Sat Nusapersada, emiten dengan kode saham PTSN.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Produsen ponsel asal China, Xiaomi, bersiap meluncurkan ponsel 4G perdana buatan Indonesia. Melalui mitranya di Indonesia, PT Erajaya Swasembada Tbk, Xiaomi merakit ponsel tersebut di pabrik milik PT Sat Nusapersada Tbk di Batam.
Smailly Andy, Hubungan Investor PT Sat Nusapersada Tbk, menjelaskan, saat ini Xiaomi telah diproduksi di dalam negeri.
"Produksi telah dimulai sejak beberapa pekan terakhir," kata Smailly, kepada KONTAN, Senin (6/2/2017).
Untuk melancarkan bisnis di Indonesia, Xiaomi mempercayakan kepada PT Erajaya Swasembada Tbk, yang nantinya akan melakukan pembaruan produk setiap tahun.
Produksinya dipercayakan kepada Sat Nusapersada, emiten dengan kode saham PTSN.
Soal nilai atau besaran kontrak Erajaya dengan Xiaomi tersebut, akan disesuaikan dengan jumlah pesanan ponselnya.
Pada produksi awal, PTSN akan memproduksi Xiaomi sebanyak 50.000 unit per bulan dengan menggunakan dua line produksi.
Baca: Smartphone Blaupunkt Mulai Dirakit Lokal
Meski begitu, pihak PTSN mengalokasikan tiga line produksi dengan kemampuan memproduksi sebanyak 60.000 unit. Kapasitas produksi maksimum dari tiga line produksi mencapai 100.000 unit per bulan.
"Sementara ini masih jalan dua line saja dulu, satu lagi di set up. Belum jalan penuh karena masih masa training," jelas Smailly.
Untuk diketahui, saat ini Xiaomi belum memenuhi regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) minimum 30%.
"Model yang didaftar sebelum tahun 2017, jadi masih kategori TKDN 20%," kata Smailly.
Pemenuhan TKDN 20% diperoleh dari proses manufaktur, tenaga kerja, packaging dan aksesori. Sementara komponen hardware-nya masih impor dari China.
"Aksesori kami peroleh dari beberapa pabrik lokal di Jakarta dan Batam," kata Smailly.
Pemenuhan TKDN dari segi hardware sulit dilakukan karena banyak komponen sulit diperoleh.
"Seperti LCD itu tidak ada di Indonesia, itu pasti dari luar negeri. Prosesor seperti Qualcomm juga tidak ada di Indonesia. Padahal yang paling mahal itu prosesor," kata Smailly.
Reporter: Pamela Sarnia