Facebook Dapat Membuka Skandal Privasi Lebih Dalam
Diketahui, ada sekitar 500 juta pengguna Facebook di kawasan Asia-Pasifik termasuk sekitar 300 juta pengguna di Asia Tenggara.
Penulis: Rina Ayu Panca Rini
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, NEW YORK -- Skandal bocornya data 87 juta pengguna Facebook beberapa waktu lalu membuat kekhawatiran kembali untuk menumbangkan dua miliar pengguna facebook di seluruh dunia.
Dilansir dari Asian Times pada Jumat (6/4/2018), meski pendiri Facebook Mark Zuckerberg telah meminta maaf atas hal itu, menurut Chief Technology Officer Mike Schroepfer, kemungkinkan hal besar untuk mengorek informasi publik lebih dalam dapat terjadi.
Mike mengutip beberapa pernyataan pendiri media sosial Facebookk itu dalam konferesi pers Facebook pada Rabu (4/4/2018) lalu.
"Ketika membangun sesuatu seperti Facebook yang belum pernah ada sebelumnya di dunia, maka akan ada hal-hal yang anda ganggu," kata Zuckerberg.
Diketahui, ada sekitar 500 juta pengguna Facebook di kawasan Asia-Pasifik termasuk sekitar 300 juta pengguna di Asia Tenggara.
Baca: Siap-siap Cek, Data Pengguna Facebook di Indonesia yang Bocor Diumumkan
"Mengingat skala dan kecanggihan aktivitas yang telah kami lihat, kami yakin sebagian besar orang di Facebook memiliki profil publik mereka. Jadi sekarang kami telah menon-aktifkan fitur itu yang memiliki keuntungan pasar hampir US$ 450 miliar," mengutip pernyataan Zurkberg beberapa waktu lalu.
Bukti baru muncul dan membuktikan Facebook gagal dalam melindungi informasi pribadi serta meraih keuntungan dari data-data itu.
Facebook telah mengakui kesalahan tersebut dan menghapus fitur yang memungkinkan pengguna memasukkan nomor telepon atau alamat email ke dalam alat pencarian flatform.
Secara signifikan, Zuckerberg membela kebijakan perusahaan yang mengumpulkan data pengguna untuk model bisnis yang menguntungkan.
Sebelumnya, CEO Zuckerberg mengakui 'kesalahan dibuat' setelah Cambridge Analytica konsultan politik telah menggunakan data facebook sekitar 87 juta pengguna termasuk lebih dari 3,5 juta pengguna di Asia Tenggara secara tidak layak.