Pakar Legislasi Ini Sebut OTT Perlu Diatur UU Penyiaran
Pakar Kebijakan dan Legislasi Teknologi Informasi Danrivanto Budhijanto memperingatkan adanya penjajahan model baru, yaitu kolonialisme digital.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Kebijakan dan Legislasi Teknologi Informasi Danrivanto Budhijanto memperingatkan adanya penjajahan model baru, yaitu kolonialisme digital.
Danrivanto memaparkan kita tentu tidak mau Indonesia kembali terpuruk akibat ulah Over-the-Top (OTT) yang memanfaatkan celah hukum.
Karena itu, negara harus benar-benar hadir dalam rangka melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
"Saya berharap bentuk ekonomi digital yang sudah terbentuk sejak 5 tahun lalu dan kita rasakan sekarang manfaatnya ini, kemudian [jangan sampai] digarong oleh global tech dunia. Karena dia tahu, di Indonesia kita belum memiliki convergence norms terhadap penyiaran berbasis teknologi Internet," kata Danrivanto.
Baca: DPR: Kaum Milenial Jadi Kunci Kesuksesan Ekonomi Digital di Indonesia
Pernyataan itu disampaikan Danrivanto saat hadir sebagai saksi ahli dari Pemohon, yaitu RCTI dan iNews dalam persidangan virtual uji materi (judicial review/JR) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) di Mahkamah Konstitusi, Kamis (1/10/2020).
Dia mencontohkan layanan streaming Netflix, saat ini sudah melakukan pembayaran melalui digital currency. Di sinilah, tanpa disadari telah terjadi manipulasi digital.
Tanpa disadari pula, setiap transaksi yang dilakukan di Indonesia, pada kenyataanya aktivitas tersebut diproses di negara lain. Mereka mengeksploitasi data masyarakat Indonesia.
"Kemudian data itu dijadikan sebagai nilai di perusahaan mereka, sehingga nilai investasinya begitu banyak dan sangat menarik investor," katanya.
Baca: Ada Pandemi, Pasar Rakyat Didorong Gunakan Teknologi Digital
Amerika Serikat, kata Danrivanto, bisa menjadi contoh ketegasan dalam menindak perusahaan-perusahaan asing yang 'nakal'. Karena, aturan di negara tersebut menyebutkan ketika terjadi persoalan hukum, korporasinya harus bisa diseret ke pengadilan.
"Contohnya, Tik Tok itu bukan semata-mata hanya perusahaan konten, tapi Amerika mengatakan kamu adalah platform asing. Kamu kalau mau masuk ke Amerika, pemegang saham, pengendalinya, harus berbadan hukum Amerika," kata Danrivanto.
Dalam kasus ini, secara jelas ditunjukkan adanya kedaulatan virtual. Hal itu juga ditunjukkan Singapura. Begitu tahu potensi dari kedaulatan virtual, negara tersebut buru-buru membuat aturannya.
Selanjutnya, China dan India juga melakukan proteksi luar biasa terhadap aplikasi masing-masing. Artinya, pada pendekatan ini, negara-negara tersebut mengetahui masa depan mereka ada di ekonomi digital.
Pengajuan uji materi UU Penyiaran, menurutnya, merupakan langkah untuk mendapatkan artikulasi konstitusional yang dapat menjadi norma konvergensi (convergence norm).
“Karena itulah saya meyakini hari ini merupakan sejarah terbaik buat bangsa bahwa kita tidak mau dijajah secara digital. Kita tidak mau ada kolonialisme baru, sementara mereka [negara lain] membuat kita tidak bisa masuk ke sana,” kata Danrivanto.