Dirugikan, Pemilik TikTok Minta Pengadilan Blokir Perintah Divestasi Donald Trump
Pemerintah AS pernah mengklaim bahwa TikTok telah digunakan Pemerintah China untuk memata-matai warga Amerika.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengeluarkan perintah eksekutif pada Agustus lalu, yang memaksa pemilik TikTok, ByteDance, menjual layanan video viral populer itu kepada investor Amerika sebelum 12 November 2020.
Pemerintah AS pernah mengklaim bahwa TikTok telah digunakan Pemerintah China untuk memata-matai warga Amerika.
TikTok, ByteDance dan China pun secara tegas membantah tuduhan tersebut.
Dikutip dari laman Sputnik News, Jumat (13/11/2020), Perusahaan induk TikTok, ByteDance, telah mengajukan petisi ke Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia.
Baca juga: Viral Video TikTok, Pegawai McDonalds Sebut Semua Ukuran Gelas Miliki Jumlah Minuman yang Sama
Mereka menentang perintah eksekutif Trump yang memerintahkan untuk melepas layanan jejaring sosial berbagi video itu dengan tenggat waktu pada Kamis, 12 November 2020.
Baca juga: Cara Live di TikTok dengan Mudah dan Praktis, Simak Panduan serta Syaratnya Berikut
Dalam memori bandingnya, ByteDance menyatakan bahwa argumen pemerintah AS yang menyebut TikTok sebagai ancaman keamanan merupakan pelanggaran hukum dan melanggar hak perusahaan berdasarkan Konstitusi AS.
Selain itu, perusahaan berpendapat, meskipun Gedung Putih secara tentatif menyetujui kesepakatan divestasi yang dicapai September lalu, ByteDance belum menerima tanggapan untuk perpanjangan 30 hari yang diminta pada tenggat waktu divestasi dari Komite administrasi, tentang Penanaman Modal Asing di Amerika Serikat (CFIUS).
Dalam kesepakatan divestasi itu, Walmart dan Oracle akan mengawasi operasi TikTok di AS.
"Selama setahun, TikTok secara aktif terlibat dengan CFIUS dengan itikad baik untuk mengatasi masalah keamanan nasionalnya, meskipun kami tidak setuju dengan penilaian ini," kata perusahaan itu dalam sebuah pernyataan.
Perusahaan tersebut menegaskan bahwa pihaknya telah menawarkan solusi terkait kekhawatiran pemerintah AS, namun belum ada tanggapan.
"Dalam waktu hampir dua bulan sejak Presiden (Trump) memberikan persetujuan awal atas proposal kami terkait kekhawatiran tersebut, kami telah menawarkan solusi terperinci untuk menyelesaikan perjanjian itu. Namun tidak menerima umpan balik substantif tentang privasi data dan kerangka keamanan kami yang luas," tambah perusahaan itu, mengacu pada kesepakatan dengan Walmart dan Oracle.
ByteDance menambahkan bahwa mereka menghadapi permintaan baru yang berlangsung terus-menerus dan tidak ada kejelasan tentang apakah solusi yang mereka usulkan itu diterima atau tidak.
"Kami meminta perpanjangan 30 hari, tanpa perpanjangan tangan, kami tidak punya pilihan selain mengajukan petisi ke pengadilan untuk membela hak-hak kami," lanjut perusahaan.