Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Techno

Dialektika Digital atau Imperialisme?

Sony Subrata dalam pengantarnya bahkan menyebut belum ada studi platform di Indonesia seperti yang dilakukan Gusdib.

Editor: Hendra Gunawan
zoom-in Dialektika Digital atau Imperialisme?
istimewa
Trilogi digital karya Agus Sudibyo; ‘’Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan (2019), ‘’Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara’’ (2021), dan ‘’Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital’’ (2022). 

BUKU ini merupakan serial ketiga dari trilogi digital karya Agus Sudibyo; ‘’Jagat Digital, Pembebasan dan Penguasaan (2019), ‘’Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara’’ (2021), dan ‘’Dialektika Digital, Kolaborasi dan Kompetisi Antara Media Massa dan Platform Digital’’ (2022).

Pada buku pertama Gusdib—begitu koleganya memanggil Agus Sudibyo—mengulik kemunculan teknologi digital sebagai pedang bermata dua, atau Dewa Janus yang bermuka dua. Di satu sisi teknologi digital membebaskan manusia, tapi di sisi lain revolusi digital membuat manusia berada dalam penguasaan teknologi.

Pada sekuel kedua Gusdib memotret pertarungan digital dan persaingan komputasional dalam kehidupan sosial-politik di berbagai negara. Teknologi digital dan manipulasi komputasional merasuk jauh ke jantung politik internasional dan mempunyai andil dalam kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2014. Manipulasi komputasional juga menjadi salah satu faktor yang membuat pendukung Brexit Inggris menang pada referendum 2016.

Baca juga: Erick Thohir Sebut Potensi Ekonomi Digital Indonesia Tembus Rp4.500 triliun

Pandemi Covid-19 rupanya menjadi berkah tersendiri bagi Gusdib. Dalam kurun waktu 2 tahun dia berhasil menyelesaikan 3 buku. Masih ada satu buku Gusdib lagi yang terbit pada 2019 yaitu desertasi doktornya di STIF Driyarkara ‘’Demokrasi dan Kedaruratan, Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben’’. Menyelesaikan empat buku dalam dua tahun, berarti satu buku dalam setengah tahun, adalah produktifitas yang sangat patut dijempoli.

Buku ketiga ini lebih fokus pada persaingan antara media massa dengan platform digital. Ketekunan Gusdib dalam melakukan riset dan mengumpulkan data-data dari berbagai negara di Eropa, Australia, dan Amerika membuktikan profesionalisme intelektualnya. Selama ini, bahkan di level internasional pun, belum banyak penulisan studi platform seperti yang dilakukan Gusdib. Sony Subrata dalam pengantarnya bahkan menyebut belum ada studi platform di Indonesia seperti yang dilakukan Gusdib.

Buku ini diberi judul dialektika. Sebagai sarjana filsafat Gusdib tentu merujuk pada konsep Hegel mengenai dialektika. Ada tesa, antitesa, yang kemudian menghasilkan sintesa baru. Tetapi, dalam praktiknya belum lahir sintesa baru dalam pergulatan antara platform digital melawan penerbit. Yang terjadi adalah hubungan yang timpang di antara keduanya, dengan posisi platform digital yang dominan dan penerbit yang terdominasi.

Kemunculan teknologi digital menjadi disrupsi besar terhadap praktik manajemen media yang selama puluhan tahun sudah mapan. Semua media besar di seluruh dunia—termasuk raksasa media seperti The Washington Post, The New York Time, CNN, The Guardian—harus membongkar praktik manajemennya untuk menghadapi disrupsi digital.

Baca juga: Meta Kenalkan Token dan Layanan Pinjaman Mata Uang Digital ke Aplikasi

Berita Rekomendasi

Platform digital menjadi berkah dan sekaligus bencana dari perusahaan media yang sudah menikmati status quo puluhan atau bahkan ratusan tahun. Kemunculan platform digital merevolusi praktik distribusi dan sirkulasi media, termasuk praktik pencarian iklan yang selama ini menjadi jantung kehidupan media.

Ada tiga platform digital yang menjadi raja dalam bisnis digital global sekarang ini. Mereka adalah Facebook yang menguasai jagat media sosial, Google yang menjadi raja mesin pencari atau search engine, dan Amazon yang mendominasi dunia e-commerce. Trio FGA (Facebook, Google, Amzon) itu bukan perusahaan media, tetapi memperoleh keuntungan triliunan dolar dari bisnis media.

Tiga perusahaan trans-nasional itu mengklaim sebagai perusahaan teknologi dan tidak mau disebut sebagai perusahaan media dengan segala konsekuensi profesional dan etiknya. Padahal dalam praktiknya ketiga perusahaan itu telah menjarah lahan garapan media konvensional.

Inilah ciri khas disrupsi digital yang membuat dunia tunggang langgang. Muncul banyak perusahaan teknologi yang menyerobot lahan garapan perusahaan-perusahaan yang sudah mapan. Gojek dan Grab menjadi perusahaan layanan transportasi terbesar di dunia tanpa memiliki satu unit kendaraan pun. Bukalapak dan Tokopedia menjadi penjual ritel terbesar di Indonesia tanpa punya satu gerai toko pun. Airbnb menjadi perusahaan penyedia akomodasi terbesar di dunia tanpa punya satu hotel pun.

Kemunculan platform-pltaform ini menjungkirbalikkan praktik bisnis yang sudah mapan di masing- masing dunia industri dan memaksa para raksasa industri untuk bertekuk lutut menyerah kepada praktik baru yang didiktekan oleh perusahaan platform itu.

Industri media juga menghadapi disrupsi yang sama. Trio FGA menjadi ‘’perusahaan media’’ yang tidak mempunyai satu media penerbitan pun. Nasib perusahaan media di seluruh dunia sama saja dengan nasib hotel, perusahaan transportasi, dan outlet penjualan di seluruh dunia, yang harus menyesuaikan diri dengan praktik bisnis baru yang dikembangkan oleh platform digital.

Inilah fenomena globalisasi yang menjadi keniscayaan yang tidak bisa lagi dihindarkan. Perusahaan media menghadapi ketidakpastian dalam kepastian, dan harus bermain dalam lapangan baru kapitalisme global yang aturan pertandingan dan wasitnya didominasi oleh platform digital.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas